Melihat para prajurit yang menyamar sebagai wanita menari dengan sangat luwes di tengah sorak sorai para pemberontak dan penduduk desa, Raja Phung Hung berkelakar menyebut mereka "pelacur" (kata "pelacur" pada masa itu digunakan untuk menyebut laki-laki yang menyamar sebagai wanita dan tidak berkonotasi negatif).
Keistimewaan tarian ini adalah para penarinya adalah para pria muda yang belum menikah dan berparas rupawan, berasal dari keluarga terpelajar di desa. Para pemuda dipoles lipstik dan bedak, berbibir merah dan pipi kemerahan, mengenakan rok atau celana sutra hitam, kain sutra persik bersulam motif burung phoenix dengan rumbai-rumbai yang menjuntai di bahu, dan sorban paruh gagak di kepala mereka.
Di depan perut setiap orang ada drum merah kecil, diamankan dengan selembar sutra merah yang diikat rapi di belakang punggung.
Meski hanya berupa tarian sederhana berputar, merentangkan tangan, menekuk kaki, menyandarkan badan, dan menempelkan wajah di dada, namun berkat orkestra juggling, hentakan drum yang menghentak, tarian yang berirama dan menggoda, serta sorot mata yang ekspresif... para penonton di sekitarnya pun ikut terpukau dan bersorak kegirangan.
Bayangan gaun-gaun warna-warni yang berkibar tertiup angin dengan setiap gerakan tarian yang terampil mengikuti ketukan drum menciptakan kesan visual yang luar biasa. Ketika para pemuda itu berbalik, kain sutra warna-warni itu berputar, menciptakan lingkaran-lingkaran magis yang indah.
Meskipun mereka berpakaian seperti wanita dengan gerakan tarian yang lembut dan terampil, mereka tetap memancarkan sikap terbuka seorang pria dan semangat bela diri seorang prajurit.
Menurut penduduk desa Trieu Khuc, orang-orang yang telah memberikan kontribusi besar dalam melestarikan tarian ini adalah mendiang pengrajin Bui Van Tot, pengrajin Bui Van Luc, pengrajin Trieu Dinh Van dan pengrajin Trieu Dinh Hong.
Dengan semangat tari kuno yang tinggi, selama bertahun-tahun, Bapak Trieu Dinh Hong telah mengajak banyak anak muda di desa untuk belajar dan menampilkan tari guna melestarikan tari leluhur mereka. Pada tahun 2010, beliau dianugerahi gelar "Seniman Rakyat", dan pada tahun 2015, Klub Tari Bong, yang beliau pimpin, secara resmi diakui dan disponsori oleh Asosiasi Seni Rakyat Hanoi .
Tarian ini kini tak hanya digelar di desa, tetapi juga hadir di berbagai daerah, di berbagai festival di seluruh negeri, serta berpartisipasi dalam festival budaya berbagai suku Vietnam. Selama bertahun-tahun, masyarakat maupun wisatawan dari seluruh dunia masih mencintai dan menantikan tarian kuno yang memukau ini.
Dapat dikatakan bahwa festival desa Trieu Khuc dan tarian "con dy danh bong" merupakan jiwa, kebanggaan, dan dukungan spiritual sakral bagi masyarakat Trieu Khuc. Setiap kali musim semi tiba, semua orang merasa semakin bersemangat karena dapat ikut serta dalam kemeriahan festival tradisional ini. Oleh karena itu, makna mendalam dari festival ini bukan hanya untuk mengenang tradisi sebuah desa atau menciptakan suasana yang penuh sukacita dan kebersamaan, tetapi lebih dalam lagi, menyegarkan kembali kenangan berharga, berkilau, dan sangat unik dalam diri setiap orang.
Majalah Heritage
Komentar (0)