Ketika buku harus “hidup”
Akar kecintaan Nguyen Thu Huong pada buku berawal dari warisan intelektual keluarganya. Tumbuh besar di rumah bersama kakek seorang diplomat , masa kecilnya dikelilingi oleh ruang istimewa: rak buku keluarga yang besar. Bagi Huong kecil di masa kecilnya, rak itu adalah harta pertama dalam hidupnya, tempat yang diam-diam memelihara jiwanya melalui setiap halaman buku.
Di antara harta karun itu, ia masih ingat betul emosi murni yang meluap saat membaca "Totto-chan di Jendela". Meskipun cetakan berharga itu telah hilang seiring waktu, kisah Totto-chan si gadis kecil masih menanamkan keyakinan abadi di hatinya: Dunia di dalam halaman-halaman buku selalu mengandung keajaiban.
“Jika sebuah buku hanya tergeletak di rak, ia tak ada bedanya dengan buku mati.” Dengan filosofi itu, Ibu Nguyen Thu Huong telah mengabdikan seluruh jiwanya untuk membangun “Balkon Ibu”. |
Ia masih ingat rasa bersalah masa kecilnya, karena begitu bergairahnya membeli begitu banyak buku sehingga di akhir bulan ibunya harus membayar tagihan sebesar 500.000 VND—jumlah yang sangat besar 25 tahun yang lalu. Kenangan itu terpatri kuat dalam dirinya, perasaan seorang anak yang mendambakan ilmu pengetahuan tetapi terhambat oleh kondisi ekonomi .
Ketika ia menjadi ibu dari dua anak kecil, perasaan lama mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Melihat rak buku keluarga yang semakin besar, ia melihat pemborosan yang tak terlihat. "Saya pikir, kalau saya biarkan buku-buku itu di rak dan membacanya sendiri, itu akan sia-sia," ujarnya.
Gagasan perpustakaan komunitas bernama "Balkon Ibu" (36 Lot B, 7,2 hektar, Jalan Vinh Phuc, Distrik Ngoc Ha, Hanoi) mulai terbentuk sebagai solusi sempurna. Baginya, hanya ketika buku-buku "diedarkan", melewati tangan banyak pembaca, siklus hidupnya akan diperpanjang dan nilainya akan berlipat ganda.
Sudut balkon kecil di rumah ibu Ibu Huong, tempat kecintaan dua generasi terhadap buku bertemu, telah menjadi simbol bagi perpustakaan masyarakat "Balkon Ibu". |
Ia memutuskan untuk mengorbankan ruang bersama di rumah ibunya, menyingkirkan sofa yang familiar demi rak buku pertamanya. Tindakan berani itu tak hanya mendapat perlawanan, tetapi juga mendapat dukungan penuh dari ibunya, Doan Thi Bich Van. Karena baginya, filosofi "mengetahui cara memberi dan membantu sesama" adalah hal terpenting yang ingin ia ajarkan kepada anak-anaknya.
Nama "Balkon Ibu" lahir, merangkum cinta dari dua generasi. Balkon ini merupakan balkon ibunya—yang selalu melindungi dan mendukungnya—dan tempat di mana ia, sebagai seorang ibu, membangun fondasi pengetahuan dan menabur benih-benih berbagi dengan anak-anaknya.
Titik temu bagi komunitas pecinta buku
Pengunjung pertama "Balkon Ibu" sebagian besar adalah teman-teman Facebook Bu Huong, yang datang karena rasa ingin tahu dan dukungan. Awalnya, perpustakaan itu cukup sepi.
Ia mengenang dengan jujur: "Pada beberapa tahun pertama, saya merasa orang-orang agak acuh tak acuh. Membaca buku gratis sepertinya tidak cukup untuk menciptakan daya tarik luar biasa yang saya harapkan." Baru pada tahun 2023, para ibu dan keluarga yang belum pernah ia temui mulai menghubunginya, yang menurutnya, mungkin berkat interaksi diam-diam di dalam grup.
Meskipun ruangnya tidak terlalu luas, setiap sudut kecil di perpustakaan dapat menjadi dunia pribadi bagi ibu dan anak untuk menjelajahi halaman-halaman buku bersama. Foto: Sumber Fanpage Balkon Ibu |
Namun, seiring berkembangnya komunitas, muncul tantangan praktis. Ibu Huong bercerita bahwa selama operasi, ada kalanya ia menerima buku-buku yang robek atau terdapat grafiti, yang membuatnya terkejut: "Anak-anak itu polos, mereka bisa meremas buku, merobeknya, mencoret-coretnya, atau menempelkan stiker."
Sejak saat itu, ia mulai mengunggah artikel yang mengingatkan orang tua agar membimbing anak-anaknya membalik halaman buku dengan benar, tidak mencoret-coret buku, dan mengajak semua orang untuk "memperbaiki" buku yang rusak.
Perubahan itu terjadi secara alami. Ketika para ibu meminjam buku, mereka akan membantunya memperbaiki sudut-sudut yang bengkok. Anak-anak, setelah diingatkan oleh ibu mereka, juga tahu cara merawat dan lebih berhati-hati.
Ia menyadari bahwa komunitas yang berkelanjutan tidak hanya memiliki penerima, tetapi juga pemberi. "Berikan semangat melestarikan buku, bergandengan tangan untuk memperbaiki buku yang rusak dan cacat," ujarnya. Dari hubungan ini, pertemuan dan pertukaran kecil pun terjalin secara alami, menjadikan "Balkon Ibu" sebagai ruang interaksi yang hidup, tempat keluarga tidak hanya meminjam buku, tetapi juga bersama-sama memupuk rasa tanggung jawab bersama.
Pertemuan di perpustakaan "Balkon Ibu". Foto: Sumber: Fanpage Balkon Ibu |
Penyebaran hati
Ketika ditanya tentang apa yang diterimanya sebagai balasan, Ibu Huong tidak berbicara tentang kata-kata terima kasih, tetapi tentang cerita dan perubahan.
Ibu Nguyen Thi Nga, seorang orang tua di daerah Hoang Dao Thuy (kelurahan Thanh Xuan, Hanoi), datang ke perpustakaan melalui jejaring sosial dengan kebutuhan yang sangat praktis: Menemukan sumber buku berkualitas untuk anaknya tanpa menghabiskan terlalu banyak uang.
"Di Hanoi, menemukan sumber buku yang beragam, sesuai kebutuhan anak, dan gratis tidaklah mudah. Oleh karena itu, menemukan "Balkon Ibu" sungguh merupakan keberuntungan besar bagi keluarga saya," ujar Ibu Nga.
Berkat sumber buku yang melimpah dan kegigihan ibunya, anak keduanya mampu membaca buku ketika usianya baru dua tahun lebih. Ia menjelaskan bahwa itu bukan cara membaca dan mengeja yang biasa, melainkan kemampuan otak anak yang luar biasa untuk menghafal gambar. "Dia menghafal huruf dengan sangat baik, seperti memotret. Setiap kali dia melihat huruf itu lagi, dia langsung mengenalinya dan membacanya."
Berawal dari sebuah ide kecil, perpustakaan kini telah menjadi ruang bersama bagi komunitas pecinta buku, tempat ayah, ibu, dan anak-anak bersama-sama memupuk budaya membaca. Foto: Sumber: Fanpage Balkon Ibu |
Daya tarik "Balkon Ibu" tidak berhenti di pusat kota Hanoi. Karena tidak banyak perpustakaan dengan beragam buku di provinsi-provinsi tersebut, Ibu Hoang Thi Dam, seorang ibu dari empat anak di Bac Ninh, tidak mempermasalahkan jarak yang jauh dan secara teratur pergi ke Hanoi untuk meminjam buku. "Karena rumah saya jauh, setiap kali saya datang, saya biasanya meminjam sekotak besar buku, sekitar 100 buku untuk dibaca anak-anak saya secara bertahap selama beberapa bulan," ujar Ibu Dam.
Dan mungkin, hal yang paling ajaib, "balasan" yang paling berarti bagi Ibu Huong, datang dari para penerimanya sendiri. Dari sosok yang terinspirasi, Ibu Dam kini sedang mendambakan ide untuk membangun perpustakaan kecil serupa di kota kelahirannya bersama teman-temannya.
Benih yang ditabur di sebuah perpustakaan di Hanoi kini siap bertunas di negeri baru. Itulah mungkin penghargaan terbesar bagi perjalanan Ibu Huong, ketika "memberi" tak hanya menghadirkan kegembiraan membaca, tetapi juga menyalakan api berbagi, sehingga perpustakaan-perpustakaan lain dapat terus dibuka.
Artikel dan foto: YEN NHI
Sumber: https://www.qdnd.vn/phong-su-dieu-tra/phong-su/ban-cong-cua-me-noi-tinh-yeu-noi-dai-nhung-trang-sach-840994
Komentar (0)