Dalam rangka peringatan 100 tahun Jurnalisme Revolusioner Vietnam (21 Juni 1925 - 21 Juni 2025), Bapak Vinod Moonesinghe, Direktur Institut Marxis (Sri Lanka), memberikan penilaian mendalam tentang peran dan nilai abadi jurnalisme revolusioner Vietnam dalam konteks masa kini dan masa depan.
Dalam sebuah wawancara dengan reporter VNA di Asia Selatan, Bapak Vinod Moonesinghe menyatakan bahwa Revolusi Industri Keempat, yang berbasis pada teknologi digital , berkembang pesat berkat perkembangan luar biasa dari kecerdasan buatan (AI).
Sama seperti teknologi pengolah kata yang sepenuhnya merevolusi teks cetak pada tahun 1980-an dan internet yang memicu ledakan media massa pada awal tahun 2000-an, AI secara mendalam mengubah bidang jurnalisme.
Dalam proses ini, pers dan jurnalis memainkan peran penting: menjembatani kesenjangan antara kemajuan teknologi modern dan publik, sekaligus memastikan bahwa informasi disampaikan secara akurat, etis, dan mendalam.
Menurut Moonesinghe, teknologi baru ini membuka banyak peluang bagi jurnalis, meningkatkan efisiensi, karena alat-alat berbasis AI mengotomatiskan tugas-tugas berulang seperti pencatatan, pengecekan fakta, dan analisis data, sehingga memungkinkan jurnalis untuk fokus pada investigasi mendalam.
AI juga membantu dalam menganalisis data besar—sesuatu yang sulit dilakukan manusia secara manual—untuk mengidentifikasi tren dan memberikan perspektif baru.
Lembaga berita dapat mempersonalisasi konten dan meningkatkan keterlibatan pembaca dengan menyesuaikan berita dengan preferensi individu.
Teknologi penerjemahan otomatis dan pengubah suara menjadi teks juga berkontribusi dalam memperluas akses terhadap informasi.
Namun, bersamaan dengan peluang tersebut, muncul pula berbagai tantangan, terutama isu-isu etika seperti misinformasi, bias, dan akuntabilitas untuk konten yang dihasilkan oleh AI. Alat AI terkadang memberikan informasi yang tidak akurat.
Isu lain yang mengkhawatirkan adalah tren menjadikan berita sebagai hiburan, yang mengaburkan fungsi sebenarnya dari media. Transparansi juga dipertanyakan, terutama karena sistem AI mengaburkan sumber dan keputusan editorial, yang berpotensi mengikis kepercayaan publik.
Selain itu, seiring dengan semakin banyaknya pekerjaan yang diotomatisasi, peluang karier bagi jurnalis mungkin akan berkurang, sehingga mereka perlu menjalani pelatihan ulang yang ekstensif untuk beradaptasi. Akses yang tidak merata terhadap teknologi AI dan peluang pelatihan ulang di berbagai wilayah juga dapat menciptakan ketidaksetaraan.
Masa depan jurnalisme kemungkinan besar terletak pada kombinasi efisiensi AI dan kreativitas manusia. Oleh karena itu, jurnalis perlu mendekati AI sebagai alat pendukung yang ampuh, sambil tetap menjaga standar etika dan pengawasan manusia.
Namun, pada kenyataannya, menjaga keseimbangan ini tidaklah mudah, terutama dalam lingkungan yang penuh tekanan.
Mengenai transformasi digital dalam jurnalisme, Bapak Moonesinghe percaya bahwa hal itu bukan lagi sekadar tren, tetapi telah menjadi kenyataan yang mencakup seluruh industri.
Ruang redaksi saat ini telah menjadi pusat teknologi, menggabungkan AI dengan penceritaan dinamis di platform seluler, mendefinisikan ulang cara cerita diceritakan, dibagikan, dan diterima.
Jurnalis seringkali perlu memperbarui informasi secara real-time dari lokasi kejadian menggunakan perangkat pintar.
Teknologi realitas virtual (VR) dan realitas tertambah (AR) memungkinkan masyarakat untuk mengalami informasi dengan cara yang hidup dan interaktif. Analisis data dan umpan balik pembaca secara bertahap menggeser fokus jurnalisme dari "penyampaian informasi" ke "dialog" dengan publik.
Perubahan-perubahan ini tidak menggantikan jurnalisme, melainkan membantunya menjangkau lebih luas, meningkatkan efektivitasnya, dan terhubung dengan pembaca. Meskipun alat-alat jurnalistik berubah, misi inti jurnalis – merefleksikan kebenaran dan melayani publik – tetap tidak berubah.
Dalam konteks saat ini, jurnalis perlu mahir dalam teknologi. Mereka perlu memahami alat digital seperti visualisasi data, riset berbasis AI, dan keterampilan penyuntingan multimedia.
Kolaborasi dengan para insinyur teknologi, desainer, dan pakar data sangat penting. Bersamaan dengan itu, etika profesional dan kredibilitas menjadi faktor kunci di era yang dipenuhi berita palsu dan manipulasi konten. Menjunjung tinggi integritas adalah nilai inti jurnalisme modern.
Direktur Institut Studi Marxis mencatat bahwa sejak awal perlawanan terhadap kolonialisme, pers revolusioner di Vietnam bukan hanya sekadar pencatat sejarah. Bersama rakyat Vietnam, pers menjadi kekuatan pendorong yang ampuh dalam perjuangan kemerdekaan nasional, pembangunan sosialisme, dan pengejaran kemakmuran. Pers memainkan peran penting dalam melindungi tanah air dan membentuk masa depan negara.
Sejak Presiden Ho Chi Minh mendirikan Surat Kabar Thanh Nien (Pemuda) pada tahun 1925, jurnalisme revolusioner telah menjadi suara massa revolusioner. Sebagai senjata ideologis yang tajam, pers telah menyebarkan cita-cita revolusioner dan menyerukan seluruh bangsa untuk bersatu dan bangkit.
Selama perang melawan kolonialisme, para jurnalis mempertaruhkan nyawa mereka untuk membangkitkan patriotisme dan kemauan rakyat untuk melawan invasi asing. Pada periode rekonstruksi pasca-perang, periode reformasi dan integrasi, pers terus memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan nasional, pemberantasan korupsi, dan promosi dialog sosial tentang modernisasi.
Di era digital saat ini, dengan maraknya berita palsu dan teknologi tiruan, jurnalisme tetap berkomitmen untuk memberikan informasi yang benar dan menjunjung tinggi nilai-nilai nasional.
Kantor Berita Vietnam (VNA), yang didirikan pada tahun 1945, adalah suara resmi revolusi, yang menyiarkan Deklarasi Kemerdekaan Presiden Ho Chi Minh dalam tiga bahasa: Vietnam, Prancis, dan Inggris.
Para reporter dari Kantor Berita Vietnam (VNA) bekerja langsung di garis depan, dan banyak dari mereka mengorbankan nyawa mereka dalam menjalankan tugas.
Bapak Moonesinghe menyatakan bahwa sejak didirikan, VNA telah menegaskan kedudukannya di dunia, menjaga akurasi dan objektivitas dalam pelaporan urusan domestik dan internasional. Pada saat yang sama, lembaga ini terus berinovasi, menerapkan teknologi modern seperti platform multibahasa, AI, dan metode penyampaian cerita yang menarik. VNA adalah model jurnalisme modern: bertanggung jawab, jujur, dan mampu beradaptasi secara efektif dengan era teknologi.
Selain itu, Bapak Moonesinghe menunjukkan bahwa filosofi jurnalistik Presiden Ho Chi Minh diungkapkan secara mendalam melalui pepatah: "Tidak ada yang lebih berharga daripada kemerdekaan dan kebebasan," dan penekanan bahwa jurnalis harus jujur, bertanggung jawab, dan beretika.
Pembaca surat kabar adalah alat revolusioner untuk membangkitkan patriotisme dan mendorong kemajuan sosial. Gagasan itu tetap menjadi prinsip panduan bagi standar editorial dan etika profesional di ruang redaksi Vietnam saat ini.
Ideologi ini terus membimbing media Vietnam dengan nilai-nilai inti seperti: melayani rakyat, kejujuran, dan persatuan nasional. Prinsip-prinsip seperti kebenaran dan integritas, bahasa yang jelas dan mudah dipahami, kesadaran politik dan etika profesional, serta pendekatan yang dekat dengan rakyat tetap menjadi landasan etika jurnalistik di Vietnam, terutama dalam proses transformasi digital dan integrasi global.
Dengan kata lain, filosofi jurnalistik Presiden Ho Chi Minh tetap menjadi prinsip panduan etis bagi jurnalisme Vietnam di era baru.
(VNA/Vietnam+)
Sumber: https://www.vietnamplus.vn/bao-chi-thuc-tinh-long-yeu-nuoc-and-y-chi-doc-lap-dan-toc-post1045384.vnp






Komentar (0)