Suara pedesaan itu tidak hanya memikat pendengar, tetapi juga merupakan cara orang Bahnar melestarikan dan mewariskan kecintaan mereka terhadap pegunungan dan hutan, serta budaya leluhur mereka.
Suara Cinta dan Kehidupan
Pagi-pagi sekali di desa T2 (Komune Kim Son), kabut menyelimuti lereng gunung, suara ayam liar bergema di lembah yang dalam, berpadu dengan hiruk pikuk pegunungan dan hutan yang terbangun. Dari rumah panggung seniman Dinh Van Rat (63 tahun), suara dawai, gong, dan lagu bergema lembut, mengundang pengunjung dari kejauhan.

Banyak perajin dan warga desa tetangga telah berkumpul lebih awal. Ada yang memainkan monokord, sitar dua senar, seruling, dan gong; yang lain menabuh irama dan bernyanyi mengikuti alunan musik yang familiar.
Para seniman perempuan duduk bergantian, mendengarkan dan mengetuk pelan, lalu bersama-sama menyanyikan lagu: Menuju Ladang; Kasih dan Sambutan; Para Prajurit Berbaris; Suara gong di musim kemarau; Berterima kasih kepada Partai, berterima kasih kepada Negara, berterima kasih kepada Paman Ho... Suara alat musik dan syair berpadu menciptakan ruang musik yang hidup, menuturkan kisah-kisah lama tentang hutan, desa, dan musim pertanian yang makmur.
Baru saja selesai menyanyikan sebuah lagu dan menyeruput teh hangat, seniman Dinh Thi Nganh (65 tahun, desa T2) berkata, Saya mempelajari lagu-lagu ini sejak saya masih kecil, diajarkan oleh para wanita dan ibu-ibu di desa, tanpa buku apa pun.
Semenjak itu, setiap kali aku pergi ke ladang bersama ibuku atau di waktu luangku, duduk di alat tenun, aku bersenandung dan bernyanyi, meresapi setiap lirik dan setiap lagu tanpa menyadarinya.
"Musik bagaikan napas desa kami. Setiap lagu tak hanya bercerita tentang kerja keras, emosi, dan kenangan akan Paman Ho, tetapi juga mengajari saya untuk menghargai gunung dan hutan, serta tradisi yang telah diwariskan leluhur kami dengan susah payah. Oleh karena itu, selama masih ada lagu dan alat musik, jiwa desa dan jiwa masyarakat Bana akan tetap terpelihara dan berkembang," ungkap Ibu Nganh.
Di sudut lain, perajin Dinh Van Rat dan beberapa orang lainnya sedang menyetel senar monokord. Pak Rat mengatakan, monokord Bahnar memiliki dua versi: 6 senar dan 12 senar, terbuat dari inti kawat listrik, rem sepeda, atau senar gitar; badannya terbuat dari bambu, dirangkai dengan 1-2 labu kering yang dilubangi, menghasilkan suara yang jernih dan merdu. Pembuatnya harus memahami sejarah dan makna instrumen, memiliki kemampuan untuk merasakan musiknya, dan memiliki kecintaan yang mendalam terhadap musik tradisional.
Tetua desa Dinh Sinh (84 tahun, desa T2) bercerita: “Memainkan k'ni (juga dikenal sebagai “kecapi cinta” atau “kecapi Goong”) sangat sulit. Saat menarik senar, kita harus memegang alat musik tersebut di mulut dan membukanya agar suaranya bergema di seluruh rumah, lalu menyesuaikan nadanya. Meskipun masyarakat memiliki banyak alat musik modern, kami masih menggunakan alat musik tradisional dalam perayaan dan upacara keluarga.”
Melestarikan warisan musik
Para pengrajin dan penduduk desa di komune Kim Son semuanya menyatakan keprihatinan dan berkomentar bahwa generasi muda saat ini secara bertahap menjauh dari nilai-nilai budaya tradisional, termasuk musik Bahnar.
Suara tinggi dan rendah, irama gong, bunyi monokord, t'rung, k'ni… jika tidak dilestarikan, hanya akan tersimpan dalam ingatan para tetua dan pencinta musik desa. Kehilangan musik juga berarti kehilangan harta karun berupa pengetahuan, keterampilan, dan identitas budaya masyarakat.

Menyadari pentingnya pelestarian, perajin seperti Bapak Dinh Van Rat dan Ibu Dinh Thi Nganh, bersama penduduk setempat, aktif mengajarkan kepada kaum muda di desa-desa tentang tarian, lagu daerah, sejarah dan makna alat musik tradisional.
Mereka mengajarkan cara memainkan alat musik dengan terampil, membawa nilai-nilai budaya ke dalam kehidupan sehari-hari dan festival, dengan harapan melodi kuno akan bergema selamanya di pegunungan dan hutan.
Bapak Dinh Diu (33 tahun, desa T1) berkata: “Sejak kecil, saya diajari oleh para tetua desa dan pengrajin untuk memainkan preng, pră, dan gong. Setiap kali saya memainkan alat musik tersebut, saya semakin memahami ritme kehidupan, kisah, dan adat istiadat masyarakat saya, sekaligus menginspirasi generasi muda untuk menghormati dan melestarikan nilai-nilai tradisional.”
Dinh Van Nghiem (30 tahun, desa T6) berkata: “Ketika saya mempelajari setiap nada dan setiap ketukan gong, saya menyadari bahwa musik Bahnar bukan sekadar melodi, tetapi juga mengandung sejarah, adat istiadat, dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Belajar memainkan dan menyanyikan lagu daerah membantu saya terhubung erat dengan pegunungan, hutan, dan leluhur saya, melestarikan kenangan, adat istiadat, dan kebanggaan nasional.”
Dapat dikatakan bahwa melestarikan dan mengajarkan musik tradisional merupakan salah satu cara melestarikan jati diri bangsa yang unik, menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kebanggaan nasional.
Jika tidak dilestarikan, melodi, keterampilan bermain, dan nilai-nilai spiritual lama akan perlahan menghilang. Melestarikan musik tradisional merupakan tanggung jawab bersama, yang membutuhkan konsensus dari para seniman dan masyarakat.
Bapak Le Quang Thang, Kepala Departemen Kebudayaan dan Masyarakat Komune Kim Son, mengakui bahwa musik rakyat Bahnar merupakan bagian penting dari kehidupan spiritual dan aset berharga dari kekayaan budaya Vietnam.
Baru-baru ini, Dinas Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata telah mendaftarkan diri ke Dinas Kebudayaan, Olahraga , dan Pariwisata untuk membentuk mekanisme pelestarian desa kerajinan dan mendukung para perajin yang menguasai alat musik tradisional di daerah tersebut. Selain itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga akan memberikan masukan kepada komune tentang rencana perluasan kelas-kelas yang mengajarkan alat musik tradisional dan lagu daerah, serta mendorong kaum muda untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya daerah.
"Kami ingin musik tradisional hadir dalam kehidupan sehari-hari, dalam festival, dan kegiatan komunitas. Ketika generasi muda menikmati dan mencintainya, melodi-melodi lama akan terus bergema, memperpanjang perjalanan pelestarian identitas budaya Bahnar," tegas Bapak Thang.
Sumber: https://baogialai.com.vn/giu-mai-nhung-thanh-am-voi-nui-rung-post570250.html






Komentar (0)