Aku ingat waktu kecil dulu, ayahku biasa naik sepeda dan menunggu di depan gerbang sekolah hanya untuk menjemputku. Meskipun jarak sekolah ke rumah tidak terlalu jauh, aku ingin pergi bersama teman-temanku. Namun, ayahku tetap ingin mengantarku pulang agar merasa aman.
Duduk di belakang sepeda, setiap putaran rantai berderak. Suara gemerincing setiap putaran sepeda terdengar seperti lagu yang sumbang di antara suara-suara kehidupan yang tak terhitung jumlahnya. Saat itu, saya merasa sedikit malu karena ayah saya tidak seperti ayah "orang lain", tidak mengendarai mobil bermerek untuk anak-anaknya.
Ketika ayah dan anak saya tiba di rumah, mereka melihat ibu saya menunggu di depan teras. Ia berlari menjemput saya dari mobil dan bertanya tentang pelajaran saya di kelas, seperti yang biasa dilakukan ibu pada anak-anaknya. Seiring bertambahnya usia, saya menyadari bahwa pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan sederhana, tetapi juga mengandung kasih sayang dan perhatian ibu saya.
Saya ingat makan malam sederhana yang disiapkan ibu saya dengan susah payah. Lele rebus, makerel goreng saus ikan, dan sup asam dengan ikan teri. Hidangannya sederhana, tetapi ternyata lezat. Rasanya mungkin berasal dari bumbu khas ibu saya. Atau mungkin berasal dari bumbu "bahagia" saat semua orang berkumpul dengan gembira.
Waktu antara orang tua dan anak bagaikan dua garis sejajar, berjalan berlawanan arah dan tak pernah bertemu. Setiap orang pasti pernah merasa takut pulang tanpa orang tua. Itulah sebabnya kita semua menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama orang tua.
Kakiku tak sabar untuk pulang, mendengarkan ajaran ayahku, menyantap hidangan lezat masakan ibuku. Tiba-tiba aku merasa seperti anak kecil lagi. Selamanya dalam pelukan orang tuaku. Selamanya menikmati rasa bahagia di rumah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang.
Duc Bao
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/chao-nhe-yeu-thuong/202510/hanh-phuc-khi-tro-ve-nha-16f3e52/






Komentar (0)