Waktu kecil dulu, makan malam selalu jadi waktu berkumpul seluruh keluarga. Ibu duduk di tengah, memegang sumpit bambu yang menghitam karena asap dapur, mengambilkan makanan untuk Ayah sambil menyuruhku menghabiskan makananku. Setiap kali aku sibuk bercerita tentang sekolah, Ibu hanya tersenyum, senyum selembut angin sungai yang berembus di sela-sela pohon pinang di belakang rumah. Saat itu, aku belum sepenuhnya memahami arti tawa itu—itu adalah kedamaian seorang perempuan yang telah melewati begitu banyak kesulitan namun tetap menjaga hatinya tetap damai.
Lalu aku tumbuh dewasa, bersekolah, bekerja jauh di sana, dapur kecil masa itu perlahan menjadi kenangan. Sore-sore sepulang kerja, di tengah keramaian jalanan, terkadang jantungku tiba-tiba berdebar kencang hanya karena mencium aroma ikan bakar dari restoran...
Di hari kepulanganku ke kampung halaman, kulihat berat badan ibuku turun drastis. Rambut hitamnya kini beruban keperakan, tetapi tubuhnya masih lincah di dekat api unggun. "Kalau Ibu pulang sore nanti, Ibu akan masak sup asam lagi untuk menghangatkan perutku!" suaranya masih terdengar seperti sebelumnya. Aku hanya bisa mengangguk, tiba-tiba hidungku terasa perih. Ibu masih tersenyum, senyum yang menerangi dapur, seolah waktu tak pernah berlalu.
Makanan pun tersaji, tak istimewa, hanya semangkuk sup, sepiring sayur rebus, sepanci ikan bakar harum. Tapi mengapa makanan itu begitu lezat? Ayah duduk dan bercerita tentang desa, aku menambahkan beberapa lelucon dan Ibu tertawa. Tawa Ibu mengingatkanku pada masa kecilku, pada musim hujan ketika aku duduk meringkuk di dapur, mendengarkan Ibu bercerita dongeng... Makan malam berakhir ketika matahari terbenam di halaman. Ibu masih duduk di sana, diam-diam memperhatikanku mencuci piring. Tatapannya selembut angin sore di pedesaan. Tiba-tiba aku menyadari bahwa, selama bertahun-tahun jauh dari rumah, aku telah mencari sesuatu yang disebut kebahagiaan, dalam pekerjaan, dalam kesuksesan, dalam hal-hal besar. Tapi pada akhirnya, kebahagiaan ada di sini, di dapur kecil, dalam asap yang mengepul, dalam senyum Ibu setiap sore.
Saya mengerti bahwa bagi ibu saya, kebahagiaan bukanlah harta benda atau kemewahan, melainkan sekadar memiliki anak-anak yang hidup rukun dan damai. Bagi saya, kebahagiaan adalah ketika saya bisa duduk di samping ibu saya, mendengarkan tawanya saat makan malam, dan merasakan jantung saya berhenti berdebar di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Malam itu, sebelum tidur, aku mendengar ibuku menyanyikan lagu nina bobo dengan lembut di dapur. Lagu nina bobo dari masa lalu, seringan aroma asap beras, merasuki setiap serat ingatanku. Aku tersenyum, tahu bahwa ke mana pun aku pergi, berapa pun usiaku, aku akan selalu menjadi anak kecil di dapur bersama tawa ibuku.
Nguyen Thanh
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/chao-nhe-yeu-thuong/202510/bua-com-chieu-co-tieng-cuoi-cua-me-5af0681/
Komentar (0)