Ketika saya pertama kali memulai karier, saya mendengar banyak orang berkata: "Mahasiswa zaman sekarang tidak lagi suka belajar Sastra. Mereka hanya suka belajar Matematika dan Bahasa Inggris." Hal itu tidak sulit dipahami, tetapi tetap saja membuat saya bertanya-tanya. Mungkinkah di tengah kesibukan hidup saat ini, orang-orang lupa bahwa Sastra adalah detak jantung, suara emosi, tempat jiwa manusia diterangi dan bertumbuh? Dan saya berjanji pada diri sendiri: Dengan kecintaan pada profesi ini, kecintaan pada sastra, dan dedikasi, saya akan membantu para mahasiswa menemukan kembali getaran itu.
Di awal-awal kuliah, saya bertemu banyak mata yang acuh tak acuh di kelas, tanpa sadar memperhatikan awan yang melayang di luar jendela. Yang paling sulit adalah PR, banyak esai siswa yang persis sama. Saya ingat dulu waktu sekolah dulu, tidak ada contoh esai untuk dilihat karena waktu itu belum ada buku teks. Seluruh kelas diberi 5 set buku teks oleh sekolah, dan harus bergantian membacanya. Sekarang, para siswa punya banyak contoh esai untuk dilihat dan disalin. Ketika mereka mendapat nilai 2, banyak siswa protes: "Pak Guru, esai teman mana yang mirip dengan esai saya?". Saya dengan tenang menjelaskan: "Kalian mirip dengan esai contoh itu," membuat seluruh kelas tertawa. Saya dengan lembut mengingatkan: "Saya beri nilai 2 karena kalian menjiplak. Mulai sekarang, ingatlah untuk menulis esai kalian sendiri, baik atau buruk, saya akan beri nilai tinggi. Sastra butuh kejujuran, tulislah dengan emosi kalian sendiri, dari hati dan jiwa kalian."
Sejak saat itu, saya mengajar Sastra dengan cara yang berbeda. Saya tidak ingin siswa hanya menghafal catatan yang saya berikan atau contoh analisis. Saya sering menceritakan kisah-kisah kecil di balik setiap karya - kisah tentang seorang penulis, sebuah kehidupan, sebuah perasaan... Melalui kisah-kisah ini, saya membiarkan siswa merasakan, memahami, dan mengekspresikan pikiran mereka sendiri. Pelajaran perlahan menjadi lebih hidup, dengan tawa bercampur debat. Beberapa siswa yang dulunya diam sepanjang jam pelajaran kini mengangkat tangan untuk berbicara. Beberapa siswa yang dulunya takut menulis kini berlari ke guru di akhir jam pelajaran untuk mengirimkan tulisan mereka kepadanya untuk dikoreksi. Dan sejak itu, hampir di akhir setiap jam pelajaran, beberapa siswa meminta guru untuk mengoreksi tulisan mereka, dan saya merasa senang dan gembira karenanya.
Tidak hanya belajar di kelas, saya juga menerapkan metode eksperiensial kepada para siswa. Saya ingat suatu tahun, sekolah saya berada di dekat persawahan yang subur, dan saya mengajak para siswa untuk mengamati, ketika belajar menulis deskripsi. Para siswa sangat gembira, bersemangat, dan bergairah seolah-olah menyentuh sesuatu yang indah di atas hamparan sawah yang subur dan berwarna keemasan. Saya ingin mereka memahami bahwa keindahan tanah air dan negara ini tidak hanya melalui gambar atau esai, puisi, lagu daerah... tetapi ada di sekitar kita - dalam setiap tetes keringat, setiap tawa, setiap ritme kehidupan. Saya dengan berani membiarkan para siswa merasakan tempat-tempat indah, situs-situs bersejarah di daerah Binh Phuoc kuno seperti: Gunung Ba Ra, Air Terjun No. 4... sehingga mereka dapat menulis esai yang menjelaskan tempat-tempat indah setempat.
Perjalanan itu penuh kegembiraan, kegembiraan, dan cinta kasih antara guru, siswa, dan sahabat semakin erat. Merasakan keindahan alam dengan mata dan telinga mereka membantu para siswa semakin mencintai tanah air mereka, dan tulisan-tulisan mereka pun penuh emosi. Di saat-saat inilah saya merasakan kehangatan kembali. Saya menyadari bahwa kebahagiaan seorang guru tidak datang dari pujian, melainkan dari perubahan yang terjadi pada diri siswa – dari mata yang bersinar penuh cinta, dari hati yang tersentuh oleh keindahan, kebaikan, dan kebenaran hidup. Ketika bertemu dengan seorang mantan siswa, saya bercerita: "Berkat kalian, saya semakin mencintai Sastra, saya mengerti bahwa belajar Sastra adalah belajar bagaimana hidup, belajar bagaimana mencintai, dan saya pun beralih mengikuti ujian Sastra, bertentangan dengan rencana awal saya." Pernyataan itu begitu menyentuh hati saya hingga saya tak bisa berkata-kata, hati saya dipenuhi kebahagiaan. Karena saya tahu bahwa saya telah berkontribusi kecil dalam menumbuhkan kecintaan terhadap Sastra dan keindahan pada diri para siswa.
Lalu, ada kalanya saya menerima kabar bahwa murid-murid saya memenangkan hadiah dalam lomba Sastra tingkat provinsi. Meskipun saya belum pernah mempersiapkan diri untuk lomba Sastra, mereka semua berkirim pesan dan menelepon untuk mengabarkan: "Berkat dorongan kalian, saya yakin bisa mengikuti ujian." Saya merasa sangat bahagia, semua itu seperti hadiah yang tak ternilai. Saya tahu saya telah melakukan apa yang diharapkan setiap guru: menabur benih kasih sayang di hati anak-anak.
Kebahagiaan bagi saya—terkadang bukan sesuatu yang luhur, melainkan sekadar melihat para siswa bertumbuh dewasa, melihat mereka tahu cara hidup yang baik, tahu cara mencintai, tahu cara tersentuh oleh keindahan hidup. Kebahagiaan adalah sore hari setelah mengajar, saya meluangkan waktu untuk membaca setiap halaman yang ditulis oleh para siswa saya, melihat sekilas gambaran diri saya dalam diri mereka—seseorang yang menabur kata-kata dengan iman dan cinta pada profesi, cinta pada sastra.
Aku menemukan kebahagiaanku sendiri dalam setiap pelajaran Sastra, kebahagiaan ketika aku hidup di antara jiwa-jiwa muda, ketika gairahku berkobar, ketika aku melihat murid-muridku mencintai keindahan, mencintai hidup ini sebagaimana aku mencintai mengajar, mencintai sastra. Kebahagiaan itu sederhana namun mendalam, tenang namun abadi seperti api kecil yang masih menyala di hati orang yang menabur kata-kata.
Ngoc Dung
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/chao-nhe-yeu-thuong/202510/hanh-phuc-voi-tung-tiet-day-van-8a7208f/










Komentar (0)