Tuntutan terhadap mahar, pendidikan, dan aset sebelum menikah membuat kaum muda di pedesaan China sulit menemukan pasangan.
Sebuah survei yang dilakukan pemerintah Tiongkok pada awal tahun 2024 terhadap hampir 1.800 rumah tangga di 119 desa di 26 provinsi menemukan bahwa hampir 43% pejabat daerah dan lebih dari 46% rumah tangga mengaku mengalami kesulitan mencari istri bagi pria berusia di atas 30 tahun. Jumlah pria di provinsi Henan , Hubei, dan Anhui yang tidak dapat menikah merupakan proporsi tertinggi.
Profesor Huang Zhenhua dari Institut Penelitian Pedesaan Cina, yang memimpin tim peneliti, juga menemukan bahwa krisis pernikahan di kalangan pria lajang telah meningkat selama 10 tahun terakhir, terutama di kalangan mereka yang berusia di atas 30 tahun.
Lu Dewen, seorang profesor di Sekolah Sosiologi Wuhan yang mengkhususkan diri dalam pemerintahan pedesaan, melakukan survei serupa pada tahun 2023. Lebih dari 65% responden mengatakan jumlah pria lajang di desa tersebut telah melampaui 10% dari total populasi.
Data dari Biro Statistik Nasional China menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2023, negara itu akan memiliki 30 juta lebih banyak pria daripada wanita.
Meningkatnya tuntutan mahar, kepemilikan properti, dan ketimpangan gender telah membuat banyak pria lajang di pedesaan Tiongkok kesulitan menemukan istri. Foto ilustrasi: VCG
"Kesenjangan gender inilah yang membuat pria sulit menemukan pasangan. Terutama mereka yang berada di daerah tertinggal menghadapi tekanan yang lebih besar akibat migrasi," ujar Profesor Lu.
Statistik resmi menunjukkan bahwa pada tahun 2022, hampir 172 juta orang pindah ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Dari jumlah tersebut, 30% adalah perempuan, dan hampir 70% berasal dari Tiongkok bagian tengah atau barat. Tren ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2023 ketika jumlah migran melampaui 176 juta.
Para ahli memperingatkan bahwa meninggalkan rumah untuk memulai bisnis tidak hanya memengaruhi pasar tenaga kerja lokal, tetapi juga pasar pernikahan. Perbedaan faktor-faktor inilah yang merugikan pria lajang dari daerah tertinggal.
"Di antara pria berusia di atas 30 tahun, banyak di antara mereka yang tersingkir dari pasar perkawinan, bahkan tidak dapat menikah seumur hidup karena kurangnya aset yang terkumpul dan mahar yang tinggi," ujar pakar tersebut.
Pemerintah Tiongkok telah menerapkan serangkaian langkah untuk meningkatkan angka pernikahan, tetapi belum efektif. Foto ilustrasi: Zhao Ming/VCG
Untuk memperbaiki situasi, pemerintah, pemerintah daerah, dan unit pengelola desa serta kelurahan telah menerapkan serangkaian kebijakan untuk mengurangi tantangan di pasar. Salah satunya adalah menghapuskan adat pernikahan yang mahal, mempromosikan budaya pernikahan yang sehat, dan mengurangi beban ekonomi keluarga mempelai pria.
Selain itu, banyak pemerintah daerah juga telah memperkenalkan inisiatif untuk mempromosikan pernikahan di Tiongkok, seperti membuat platform dan acara untuk pertemuan, perjodohan, menyediakan biaya pengasuhan anak, dll.
Meskipun efektif, Profesor Lu mengatakan langkah-langkah di atas tidak dapat membantu 30 juta pria surplus mendapatkan istri. Menurut para ahli, urbanisasi adalah kunci untuk memecahkan masalah yang tersisa seperti mempersempit kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan, terutama meningkatkan layanan publik dan kualitas hidup.
"Seiring berkembangnya perekonomian dan urbanisasi, generasi muda pedesaan akan menemukan kondisi kehidupan yang lebih baik di perkotaan, sehingga membuka lebih banyak peluang bagi masa depan mereka," ujar Lu.
Minh Phuong (Menurut Nada Keenam )
[iklan_2]
Sumber






Komentar (0)