Rusia akan memberlakukan kembali beberapa kontrol modal yang diperkenalkannya pada awal perang, dalam upaya untuk mencegah mata uangnya jatuh lebih jauh.
Pemerintah Rusia mengumumkan akan memaksa puluhan eksportir untuk mengonversi pendapatan mata uang asing menjadi rubel. Lembaga pengawas keuangan Rusia, Rosfinmonitoring, akan memantau penerapan aturan baru ini bagi 43 perusahaan di sektor energi, logam, biji-bijian, dan sektor lainnya.
Rubel menguat 3,4% setelah berita tersebut pada 12 Oktober, menjadi 96 rubel per dolar, level terkuatnya dalam lebih dari dua minggu. Rubel juga menguat terhadap euro dan yuan.
"Tujuan utama dari langkah-langkah ini adalah untuk menciptakan kondisi jangka panjang guna meningkatkan transparansi dan prediktabilitas di pasar valuta asing. Di saat yang sama, hal ini juga akan mengurangi spekulasi," ujar Wakil Perdana Menteri Rusia Andrei Belousov dalam sebuah pernyataan.
"Pada akhir tahun, kami memperkirakan rubel akan naik menjadi 88-92 rubel per dolar AS," kata Yevgeny Kogan, profesor di Sekolah Tinggi Ekonomi (HSE).
Seorang karyawan menghitung 1.000 lembar uang rubel di sebuah bank di Rusia. Foto: Reuters
Kebijakan ini serupa dengan yang diberlakukan Moskow pada Februari 2022, hanya beberapa hari setelah melancarkan operasi militer di Ukraina. Saat itu, serangkaian sanksi Barat menyebabkan rubel anjlok ke rekor terendah, yaitu 135 rubel per dolar AS.
Rusia pada saat itu mewajibkan eksportir untuk mengonversi 80% pendapatan mata uang asing mereka ke dalam rubel, bukan menyimpannya dalam dolar atau euro. Warga negara juga tidak diizinkan mentransfer uang ke luar negeri. Investor asing juga tidak diizinkan menjual surat berharga Rusia.
Rubel telah kehilangan lebih dari sepertiga nilainya terhadap dolar tahun ini, karena perang di Ukraina telah menghantam ekonomi Rusia yang berorientasi ekspor. Para analis mengatakan pendapatan minyak dan gas Moskow kemungkinan besar tidak akan melonjak.
Hal ini menyebabkan surplus neraca berjalan Rusia menyusut, turun hampir 80% dalam sembilan bulan pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bank Rusia menyatakan bahwa kesenjangan yang semakin menyempit antara ekspor dan impor berkontribusi terhadap depresiasi rubel.
Defisit anggaran Rusia juga melonjak sejak awal konflik. Kementerian Keuangan Rusia menyatakan bahwa negara tersebut mengalami defisit sebesar 1,7 triliun rubel (US$17 miliar) dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Pada periode yang sama tahun lalu, Rusia mengalami surplus sebesar 203 miliar rubel.
Untuk mengatasi devaluasi rubel dan inflasi yang tinggi, Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga acuannya dari 8,5% menjadi 12% pada bulan Agustus. Bulan lalu, Bank Sentral Rusia menaikkannya kembali menjadi 13%.
Ha Thu (menurut Reuters)
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)