Ngo Duc Hanh telah menerbitkan banyak kumpulan puisi, yang masing-masing meninggalkan kesan mendalam bagi para pembacanya. Mudah terlihat bahwa dalam puisi-puisinya selalu terdapat poros vertikal, yaitu cinta akan tanah airnya, akarnya, dan wilayah Tengah yang dicintai. Goi Dong (Penerbit Sastra, 2025) juga merupakan bagian dari urat nadi tersembunyi ini. Sebagaimana ia ungkapkan di Facebook: "Dalam 57 puisi tersebut, terdapat puisi-puisi yang digubah dalam 10 tahun terakhir, tetapi sebagian besar dalam 2 tahun terakhir. Itu juga potret ingatan saya - seseorang yang berlumuran lumpur, menceburkan diri ke setiap sudut dunia manusia yang telah saya dedikasikan, berharap untuk datang." Memasuki kumpulan puisi ini, para pembaca akan menemukan suara puitis yang sederhana, berpengalaman, tulus, dan tak kalah menghantui, persis seperti cara ia mengabdikan diri pada kehidupan, tekun berkarya dengan kata-kata.
![]() |
| Kumpulan puisi "Memanggil Perunggu" karya penulis Ngo Duc Hanh - Foto: TA |
"Memanggil Ladang" terdiri dari tiga bagian: Sumber, Memanggil Ladang, dan Hal-hal Sederhana. Sumber dianggap sebagai peta kenangan, yang mengarah kembali ke akar, menciptakan kembali pegunungan, sungai, desa, dan tradisi budaya wilayah Tengah. Puisi Ngo Duc Hanh menghubungkan pengalaman pribadi dengan kenangan bersama untuk membentuk medan asosiatif yang dijiwai oleh cinta tanah air. Nama-nama tempat yang familiar seperti Nghen Ru, Sungai Nghen, Sumur Cha, Hong Linh, Trao Nha... masuk ke dalam puisi sebagai sinyal kenangan, dijiwai oleh seruan pertama kehidupan, napas rakyat, ritme kehidupan yang dipenuhi cinta tanah air.
Membaca syair: Akarku melekat erat di bukit Nghen/Di hadapanku sungai penuh bunga padi yang dingin/Di hadapanku eceng gondok hanyut tanpa memikirkan apa pun, tenggelam atau mengapung/Di seberang sana burung jalak kembali dengan mata lelah… (Sumber); atau "semangkuk nasi gosong yang basah kuyup oleh terik matahari dan hujan/Keringat cuka terasa asam manis di sisi desa" (Tet datang, mengenang ibu dan ayah), kita menyadari cinta kasih sedarah daging terhadap tanah air. Citra puitisnya yang sederhana menghubungkan dan mengawinkan manusia dengan alam, budaya, dan sejarah dalam aliran yang berkesinambungan.
Setelah lapisan akar, Ngo Duc Hanh mengembangkan kedalaman pengasuhan melalui citra ladang. Ladang hadir sebagai pusat kehidupan spiritual, menopang seluruh sirkuit emosional dan juga poros bagi penyair untuk memproyeksikan pemikiran eksistensial. Pedesaan telah dihembuskan ke dalam kehidupan, dipersonifikasikan dan dilambangkan olehnya. Citra "ladang berselendang di kepalanya" mengangkat pedesaan menjadi simbol keibuan, tanah air menawarkan nutrisi aluvial sekaligus menanggung duka yang tak berujung: "Ladang berselendang di kepalanya/besok/bangau putih tak akan kembali" (Tidurlah, ladang).
Bait "memanggil ladang bagai memanggil ibu dan ayah" dalam bait "Ladang desa/membesarkanku/ikan cupang, udang, udang-udang/memanggil ladang bagai memanggil ibu dan ayah" (Memanggil ladang)… menegaskan keterikatan tersebut, mengingat pedesaan sebagai asal muasal yang akrab. Oleh karena itu, ladang-ladang dalam bagian Memanggil ladang membangkitkan sumber kehidupan, perlindungan ibu pertiwi, dan mencerminkan tantangan berat, panasnya angin Laos, beban berat pangan dan sandang di pedesaan yang miskin, serta musim panen yang tak menentu dan tak menentu.
Beranjak dari asal ke pedesaan, Ngo Duc Hanh membawa pembaca kembali ke kehidupan keluarga yang sederhana. Dalam puisi-puisinya, Kebun Rumah, Menyaksikanmu Bekerja di Kebun, Rumah Tua, Harum Jerami yang Keemasan, ia membangkitkan suasana rumah yang hangat dengan pemandangan yang familier: Jerami keemasan, kebun sayur, kicau burung, aroma tanah pedesaan... Rumah tua itu, meski terbengkalai, masih tercium aroma ubi jalar, daun teh hijau, asam jawa, dan ketumbar yang harum. Kebun itu memiliki sosok ayah, sosok ibu, suara, senyum, kerja keras yang tertinggal di setiap kapalan tangan. Kebahagiaan tidak berada di tempat yang jauh, melainkan tepat di tengah kesulitan sehari-hari, dalam kesederhanaan hidup. Di sanalah jiwa puitisnya bersemayam, bersinar dengan kemanusiaan, terhubung dengan rumah masa kecil dan tanah leluhurnya.
Dengan menempatkan ketiga fragmen puisi berdampingan, kita melihat sebuah lingkaran terpisah yang bermula dari sumber, meluas ke ranah pengasuhan, dan berakhir dalam kesederhanaan. Puisi Ngo Duc Hanh dengan demikian membawa gema masa lalu yang berpadu dengan perspektif reflektif diri masa kini. Ladang, sungai, hujan, atap, kebun, jerami… memasuki tulisan-tulisan sebagai makhluk hidup yang tahu cara berbicara, tahu cara menyakiti, tahu cara melestarikan jejak kehidupan manusia.
Daya tarik kumpulan puisi ini juga terletak pada kemampuannya untuk mensintesis. Ia memadukan tempat-tempat dan tokoh bersejarah dengan permainan masa kecil; menempatkan rasa sakit perang berdampingan dengan aroma serai dan jeruk nipis; menghubungkan keringat wilayah Tengah dengan filsafat kreatif. Metode sintesis ini menciptakan keseluruhan intertekstual yang kaya, berakar kuat dalam nuansa rakyat, namun tetap efektif berdialog dengan semangat modern. Oleh karena itu, perjalanannya kembali ke masa lalu bertujuan untuk memahami dan merasakan lebih dalam nilai masa kini.
Puisi "The Simple Thing" menutup koleksi "Memanggil Ladang", yang menjadi manifesto artistik Ngo Duc Hanh. Ia menegaskan bahwa kreativitas sejati tak dapat meminjam emosi, setiap kata harus datang dari hati yang bergetar, dan hanya dalam kesederhanaan ia dapat menyentuh jiwa pembaca: "Kata-kata yang penuh air mata/mengalir dari hati dengan berbagai tingkatan/oh benar/tak hanya perlu hidup dengan hati-hati, tetapi juga dengan seluruh hidup//kata-kata sendiri dapat dengan mudah menyentuh hati!/Tak dapat meminjam/meminjam//emosi/menulis puisi/menyambung kata-kata tanpa membangkitkan simpati/Membaca puisimu/aku tahu/mengapa tungku penyair mati?". Kesederhanaan bukanlah kesederhanaan yang dangkal, melainkan hasil dari hidup dengan hati-hati, hidup sepenuhnya dengan kehidupan, sehingga puisi secara alami beresonansi dengan simpati.
Menengok kembali perjalanan kerja sastra yang tak kenal lelah, dari berbagi spontanitas awal di jejaring sosial hingga halaman-halaman puisi yang dipoles dengan cermat, kita menyaksikan jalinan yang nyaris mutlak antara kepribadian Ngo Duc Hanh dan puisinya. Ia menjalani hidupnya untuk menulis dan menulis sebagai cara hidup. Kreativitas baginya pertama-tama adalah sebuah pertanyaan diri, sebuah komitmen tanpa kompromi, yang di dalamnya kejujuran menjadi prasyarat untuk membangkitkan kenikmatan artistik. Tiga bagian dari Sang Sumber, Memanggil Komunitas, dan Hal-hal Sederhana membentuk sebuah lingkaran yang kembali ke diri, mulai dari akar, menelusuri kenangan akan karya, dan berhenti pada filsafat sederhana. Lingkaran ini telah menunjukkan perjalanan puitis Ngo Duc Hanh, perjalanan seorang penyair yang menuju ujung kesederhanaan untuk mengabdikan dirinya pada kata-kata dan mencari nilai puitis.
HTA
Sumber: https://baoquangtri.vn/van-hoa/202510/nguoi-tho-di-den-tan-cung-gian-di-4f8703d/







Komentar (0)