
Terletak di kaki gunung, Desa Tro dalam beberapa tahun terakhir telah diselimuti hijaunya pepohonan yang sejuk oleh puluhan ribu pohon pinang yang tegak lurus. Di tengah kebun seluas lebih dari 5 hektar, Bapak Ha Van Dung sibuk memeriksa tempat pembibitan.
Dengan tangannya yang cekatan menyingkirkan lapisan jerami yang menutupi bedengan bibit, Pak Dung bercerita: “Sebelumnya, saya menanam lemon, buah gac, tebu, jeruk, leci, jeruk bali... tetapi tidak ada satu pun tanaman yang bagus. Ketika panen bagus, harganya anjlok, dan ketika panen buruk, tidak ada yang mau membeli. Saya bekerja keras sepanjang tahun tetapi tidak punya uang tersisa.”
Ia bercerita, pernah suatu kali ia menanam hingga 5.000 pohon gac dan 500 pohon lemon, dan memandangi buah merah matang di kebun, hatinya bergejolak. "Tidak ada seorang pun di desa yang membelinya, jadi saya harus membawa keranjang-keranjang berisi gac dan kantong-kantong lemon ke kota untuk dijual. Ada hari-hari di mana saya harus membawa semuanya, berdesakan di dalam bus, merasa lelah sekaligus sedih."

Tak ingin hidup terus-menerus sulit, Pak Dung mulai berpikir serius tentang tanaman yang jarang diperhatikan orang: pohon pinang. Sebagai seseorang yang telah menghabiskan hampir 20 tahun berkeliling desa untuk membeli tanaman obat, ia menyadari bahwa pohon pinang memiliki hasil panen yang cukup stabil, dengan para pedagang yang datang ke kebun untuk membeli. Buah pinang tua juga dapat dijual ke toko obat tradisional.
Dengan pemikiran tersebut, pada tahun 2006, ia dengan berani menanam 1.200 pohon pinang. Lima tahun kemudian, pohon-pohon itu berbuah. Hasil panennya memang tidak banyak, tetapi cukup baginya untuk melihat potensinya: "Tidak perlu banyak usaha untuk merawatnya, sedikit hama, modal kecil, dan bisa dijual langsung di kebun, tanpa harus berkeliling mencari tempat penjualan."
Dari tahun 2017 hingga 2019, ia memperluas lahan pinang menjadi 5 hektar, dengan total penanaman 14.000 pohon. Hingga saat ini, lebih dari 7.000 pohon telah dipanen secara rutin setiap tahun. Buah pinang dapat dijual sepanjang tahun, dengan harga stabil 20.000 VND/kg atau lebih, yang cukup menguntungkan.
Mengenang masa-masa menanam gac, Pak Dung masih menggelengkan kepala: “Setiap kali panen, saya dan istri selalu susah tidur karena bingung mau jual ke mana. Kami mengemasnya dalam karung dan mengirimkannya ke kota dengan bus. Tapi cara seperti itu ternyata kecil, sulit, dan tidak berkelanjutan.”
Setelah berkali-kali gagal, pohon pinang tampaknya menjadi pilihan yang paling tepat. Tanahnya tidak menjadi tidak subur, dan pohon pinang tetap kokoh melewati banyak musim hujan. Tidak perlu khawatir buahnya rontok, tidak perlu banyak disiram, hanya perlu menyiangi dan memupuk setahun sekali. "Mungkin pohon pinang memang terlahir untuk orang miskin, menanamnya tidak membutuhkan biaya besar tetapi tetap tumbuh subur," Pak Dung tersenyum lembut.

Tak hanya menanam pinang, ia juga menjadi peternak pinang ternama. Awalnya, ia menanam sendiri, lalu ketika melihat bibit pinang yang bagus, penduduk desa datang untuk membelinya, bahkan pelanggan dari provinsi lain pun berdatangan. Pada tahun 2024, ia melepas 30.000 bibit pinang ke pasar, dengan harga rata-rata 25.000 VND/pohon. Jika digabungkan dengan penjualan 5 ton pinang, total pendapatannya tahun itu mencapai 700 juta VND.
"Saya menjamin pohonnya sampai berbuah," ujarnya. "Bibit pinang harus diambil dari pohon induk yang berumur lebih dari 15 tahun, dan bibit yang baik akan menghasilkan buah. Orang yang membeli bibit saya akan diberikan instruksi terperinci tentang cara merawatnya dan cara mengatasi hama dan penyakit."
Selain itu, ia juga menanam 600 akar Cot Toai Bo, tanaman obat yang tumbuh di pohon pinang, yang tidak hanya menghemat lahan tetapi juga meningkatkan pendapatan. Saat ini, pedagang membeli akar Cot Toai Bo dengan harga 30.000 VND/kg. Ia sedang memperbanyak tanaman untuk menutupi sisa lahan pinang.
Melihat efektivitas model Pak Dung, puluhan rumah tangga di Desa Tro pun mengikutinya. Luas areal pinang desa kini melebihi 20 hektar, mengubah perbukitan yang dulu tandus menjadi hutan pinang yang rimbun.

Salah satu pelopor yang mengikuti jejak Bapak Dung adalah Bapak Ha Van Oanh, lahir tahun 1964. Dulu beliau menanam tebu, lalu beralih ke akasia, tetapi karena usia tua dan kesehatan yang buruk, beliau memutuskan untuk menanam 2.600 pohon pinang. "Sejak memiliki kebun pinang, saya dan istri tidak terlalu repot, kami hanya perlu sesekali menyiangi dan memupuk," ujar Bapak Oanh.
Bagi Pak Dung, kebahagiaan tak hanya datang dari keuntungan, tetapi juga dari kepercayaan masyarakat. Ia selalu bersedia berbagi pengalaman, memberikan dukungan teknis, dan bahkan membantu menyewa pesawat untuk menyemprot pestisida ketika kutu daun muncul. "Pinang juga punya hama, tetapi mudah diatasi, tidak seperti menanam gac yang harus disemprot saat bunga mekar, lalu buah mudanya rontok semua," kata Pak Dung.
Sumber: https://baolaocai.vn/nong-dan-mien-nui-thu-hang-tram-trieu-dong-moi-nam-tu-chuyen-doi-trong-cau-post649370.html
Komentar (0)