Sejak musim padi hijau, saya sudah membuat janji dengan Pak May untuk memanen padi di Desa Dang suatu hari nanti. Pak May sudah lama menunggu di gerbang kayu. Kawanan angsa di kebun tak lagi berisik seperti sebelumnya. Sambil menuntun sepeda saya ke bawah lantai, ia tersenyum: "Angsa punya ingatan yang baik, mereka agresif saat bertemu orang asing, tapi setelah beberapa kali bertemu, mereka sudah menganggap mereka sebagai keluarga!" Itulah kawanan angsa yang tersesat di halaman setelah banjir tahun lalu, dan dalam beberapa hari telah mematuk sekarung beras. Setelah sekian lama meminta tetapi tak seorang pun datang untuk mengambilnya, Pak May merasa kasihan pada mereka dan menyimpan mereka untuk dirinya sendiri.

Ilustrasi: QUANG HIEU

Saya dan penduduk desa menyusuri jalan setapak berliku menuju ladang, rerumputan berdesir di bawah kaki. Embun pagi masih setia menggulung di sepanjang jalan setapak. Di depan mata saya terbentang hamparan padi matang keemasan yang luas. Batang-batang padi itu setinggi manusia, ramping namun kokoh, menopang batang-batang padi yang sarat bulir keemasan bak ribuan tetes madu yang menetes, seolah berterima kasih kepada tanah dan pegunungan.

Panen padi tahun ini melimpah, lembah tampak cerah dan dipenuhi aroma padi baru. Di antaranya, bunga wijen berwarna gading dan ungu sejuk bunga morning glory. Keindahan itu menggetarkan hati saya dengan melodi yang jernih. Di kaki bukit, siluet orang-orang yang sedang memotong padi samar-samar terlihat, suara dan tawa bercampur angin, menyebar di lereng gunung, bergema menjadi alunan musik musim panen.

Berdiri di lapangan, aku memandang ke kejauhan—bukit-bukit hijau yang bergulung, jalanan yang semakin jauh, hiruk pikuk kehidupan. Langit biru, semua orang berhenti dan mendongak ketika sebuah pesawat melintas hingga hanya tersisa setitik kecil. Ba May berkata lirih, "Aku belum pernah naik pesawat sebelumnya, aku penasaran bagaimana rasanya terbang di langit?" Setelah berkata demikian, ia membelai tangkai padi di tangannya. Kata-kata Ba May yang tampaknya sederhana itu membuatku bernostalgia. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya, hari ketika aku pergi bersama kelompok kerja komune untuk memeriksa rumah tangga miskin di desa. Saat itu, tiba-tiba hujan turun, angin dingin bertiup masuk melalui jendela. Ba menyalakan kompor, menambahkan kayu bakar, lalu dengan ramah menuangkan semangkuk air jahe. Sejak hari itu, aku sering meneleponnya untuk mengobrol, kami menjadi dekat tanpa disadari.

Siang harinya, semua orang berkumpul di sebuah gubuk kecil di tengah ladang. Nasi ketan, daging asin, dan sayuran liar dibungkus daun dong hijau yang harum. Jeruk keprok liar matang di semak-semak, dikupas, minyak atsirinya masih terasa di jari-jari. Para tetua mengatakan bahwa tanaman dan pepohonan juga memiliki hubungan tersendiri, ketika jeruk keprok matang, musim padi telah tiba. Pak Pu berkata bahwa dalam beberapa tahun, ketika pohon tallow dan akasia di bukit ini tumbuh tinggi, orang-orang akan beralih menanam hutan dan sawah, menciptakan bukit terbesar di Desa Dang. Kata-kata itu membuatku bahagia sekaligus sedih, karena setiap musim yang berlalu berarti cara hidup yang perlahan berubah.

Menjelang sore, setelah seharian bekerja keras, semua orang membawa beras menuruni bukit menuju desa. Saya membantu Bu May membawa tasnya dan mencoba berjalan di belakang. Di tengah suara langkah kaki, terdengar suara seseorang bercanda: "Hari ini, ada kader komune yang membawa beras bersama saya, jadi berasnya pasti lebih berat!" Kata-kata sederhana namun menyentuh hati itu membuat semua kesulitan sirna.

Matahari sore bersinar di sungai, angin bertiup menembus hutan, dan serangga-serangga berkicau. Saat kami berpamitan, Paman May berkata: "Kamu harus pulang untuk Tet, dan ayo kita membuat ketan bersamaku!" Lalu ia menyodorkan sekantong besar jeruk keprok, jahe, dan bunga pisang ke tanganku... Aku menyeberangi celah gunung ketika langit sudah berkelap-kelip dengan bintang-bintang. Dalam cahaya yang berkilauan itu, hatiku juga ikut berseri-seri, seolah ada ribuan bintang yang bersinar, menyebarkan iman dan cinta di setiap jalan di depan.

    Sumber: https://www.qdnd.vn/van-hoa/van-hoc-nghe-thuat/nuong-doi-mua-goi-1014870