Sejak kecil, Pak Krang sudah akrab dengan sosok para tetua desa yang mengukir kayu-kayu besar menjadi patung untuk upacara tersebut. Pada tahun 1988, ketika ia mengikuti para tetua desa ke hutan untuk mengumpulkan kayu, ia pun mulai mempelajari profesi tersebut. Ia belajar dengan mengamati cara para pendahulunya melakukannya, berlatih, dan mengumpulkan pengalaman. Pada tahun 1990, ia telah menyelesaikan patung monyet pertamanya.
"Ketika saya selesai mengukir patung pertama dan patung itu didirikan di tengah halaman upacara, saya merasa gugup sekaligus senang. Gugup karena saya tidak tahu apakah ada yang akan mengkritik saya, dan senang karena untuk pertama kalinya karya saya diterima. Perasaan itu membuat saya ingin belajar lebih banyak dan berbuat lebih banyak," kenang Pak Krang.

Menurut Bapak Siu Krang, untuk membuat patung, pertama-tama dibutuhkan kayu yang baik dan sesuai. Kayu yang dipilih biasanya kayu chay atau chit karena jenis kayu ini mudah diukir, awet, dan bebas rayap. Batangnya harus lurus, rata, dengan diameter 25-35 cm atau lebih agar dapat membentuk manusia atau hewan. "Dulu, kita masih bisa menemukan pohon-pohon besar di hutan. Sekarang hutan mulai mengering, tidak ada lagi kayu seperti dulu. Terkadang butuh waktu seminggu penuh untuk menemukan pohon yang tepat," ujar Bapak Krang.
Saat ini, karena menipisnya sumber daya kayu alami, Bapak Siu Krang terutama mengukir patung-patung berukuran kecil, baik untuk upacara pemakaman desa maupun untuk mengajarkan teknik mengukir patung kepada pemuda setempat. Setiap patung yang beliau buat dibuat dengan tangan menggunakan kapak, pisau, dan beberapa peralatan sederhana.
Pak Krang mengatakan bahwa memahat patung manusia adalah yang paling rumit karena membutuhkan perhitungan proporsi tubuh, wajah, dan postur berdiri yang presisi sesuai simbol budaya. Sementara itu, memahat patung hewan seperti monyet, burung, kodok... lebih sederhana dan mudah diselesaikan dalam waktu singkat. Rata-rata, setiap patung membutuhkan waktu sekitar 3 hari untuk diselesaikan, meliputi 3 langkah utama: membuat sketsa, mengukir, dan memoles detail. "Memahat patung hewan lebih mudah daripada memahat patung manusia. Seperti monyet, burung... tidak perlu fitur wajah, cukup lihat bentuknya dan Anda bisa melakukannya," kata Pak Siu Krang.

Banyak orang memanggilnya "artisan", tetapi ia menolak untuk menerimanya. Ia percaya bahwa mempertahankan keahliannya adalah kebahagiaan terbesar. Baginya, terus mengajarkan keahliannya bukanlah untuk mencari ketenaran, melainkan untuk melestarikan nilai budaya yang perlahan-lahan mulai terlupakan.
Menurut Bapak Siu Krang, semakin sedikit anak muda yang tertarik pada seni pahat atau keterampilan tradisional. Banyak anak muda di desa bekerja jauh atau menghabiskan waktu mereka di teknologi dan jejaring sosial. "Anak-anak sekarang kecanduan ponsel dan internet. Mengenai memahat patung dan bermain gong, hanya sedikit yang tertarik. Jika tidak ada yang merawatnya, semuanya akan hilang," Bapak Siu Krang khawatir.

Selain memahat patung, Bapak Siu Krang juga mahir dalam seni gong dan tenun tradisional. Selama periode 2017-2020, beliau aktif berpartisipasi dalam Kompetisi Budaya dan Olahraga Etnis Minoritas di Distrik Chu Se, menyumbangkan banyak pertunjukan seperti: pertunjukan gong, latihan memahat patung, dan memperkenalkan teknik tenun masyarakat Jrai.
Berbicara kepada wartawan, Bapak Siu Vong, Wakil Ketua Komite Rakyat Komune Hbong, mengatakan: Bapak Siu Krang adalah salah satu dari sedikit orang yang masih menguasai teknik ukiran makam tradisional di wilayah tersebut. Patung-patung yang beliau buat masih digunakan dalam ritual pelepasan kode etik suku Jrai. Setiap kali komune mengadakan acara budaya, beliau berpartisipasi sebagai seniman pertunjukan dan memandu masyarakat.
"Ke depannya, kami akan berkoordinasi dengan orang-orang yang memahami budaya tradisional seperti Bapak Siu Krang untuk menyelenggarakan kelas-kelas yang mengajarkan seni ukir patung dan bermain gong kepada kaum muda di desa. Ini bukan hanya cara untuk melestarikan warisan budaya tak benda, tetapi juga membantu generasi muda lebih memahami nilai identitas etnis mereka," tambah Bapak Vong.
Sumber: https://baogialai.com.vn/siu-krang-gin-giu-nghe-tac-tuong-post330066.html
Komentar (0)