Pada bulan Desember, di Zhangye, sebuah kota di Provinsi Gansu, cerobong asap pembangkit listrik tenaga sampah masih mengepulkan asap putih, tetapi di baliknya terdapat perubahan yang tenang namun drastis dalam seluruh industri. Seiring melambatnya laju pertumbuhan ekonomi domestik, yang menyebabkan jumlah sampah—sebuah "bahan baku" input penting—menjadi lebih sedikit dari yang diperkirakan, para pelaku bisnis di Tiongkok menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi berdiam diri di rumah.
Statistik terbaru menggambarkan gelombang "pergi ke luar negeri" ini dengan sangat jelas. Hanya dalam enam bulan hingga akhir November, jumlah proyek insinerator di luar negeri yang melibatkan perusahaan Tiongkok telah meroket dari 79 menjadi 101. Jejak perusahaan lingkungan Tiongkok kini telah menyebar dari negara-negara tetangga di Asia ke Eropa, Afrika, dan bahkan Amerika.
Bapak Guo Yungao, Sekretaris Jenderal Komite Energi dan Lingkungan Federasi Lingkungan Hidup Seluruh Tiongkok, berkomentar bahwa industri ini sedang mengalami lompatan kualitatif. Tidak lagi hanya mengekspor mesin dan peralatan individual, perusahaan-perusahaan Tiongkok kini menyediakan solusi lengkap, mulai dari teknologi, standar operasional, manajemen, hingga suntikan modal langsung ke proyek-proyek internasional.
Akan tetapi, kekuatan pendorong di balik ekspansi agresif ini bukan sekadar ambisi untuk mendominasi pasar, tetapi juga jalan keluar yang diperlukan dari krisis "keberlimpahan" di dalam negeri.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat telah membuat industri "pengolahan sampah menjadi energi" domestik kekurangan bahan bakar. Perusahaan-perusahaan Tiongkok semakin mencari sumber sampah dan keuntungan di luar negeri (Foto: SCMP).
Ketika "obat ajaib" menjadi "racun"
Untuk memahami asal-usul krisis saat ini, ada baiknya kita menengok kembali masa kejayaan industri energi sampah Tiongkok satu dekade lalu. Di awal tahun 2000-an, ketika tempat pembuangan sampah menipis dan kekhawatiran polusi meningkat, Beijing berinvestasi besar pada teknologi energi sampah. Didukung oleh kemitraan publik-swasta dan subsidi yang besar, ribuan pembangkit listrik bermunculan.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, Tiongkok telah mengalami revolusi pesat, meningkatkan kapasitas pemrosesannya dari 102 juta ton/tahun pada tahun 2018 menjadi 206 juta ton pada tahun 2024. Saat ini, negara tersebut memiliki dua pertiga kapasitas konversi sampah menjadi energi dunia, memproses hampir 80% sampah rumah tangga perkotaan.
Namun, pembangunan yang tergesa-gesa ini memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan: krisis surplus. Para perencana terlalu optimis ketika mereka memperkirakan sampah akan tumbuh secara linear seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Kenyataannya jauh lebih pahit. Kota-kota besar memiliki begitu banyak insinerator sehingga pabrik-pabrik bersaing ketat untuk mendapatkan sumber daya, sementara daerah pedesaan – tempat kebutuhan sebenarnya berada – tertinggal karena biaya pengumpulan sampah yang tinggi dan kepadatan penduduk yang rendah.
Ironisnya, upaya perlindungan lingkungan pemerintah justru menjadi pukulan telak bagi industri insinerasi. Kampanye "Kota Tanpa Sampah" dan peraturan pemilahan sampah yang ketat yang telah diterapkan secara luas telah menyebabkan jumlah sampah yang masuk ke insinerator menurun, baik dari segi kuantitas maupun nilai kalor.
Banyak pabrik saat ini hanya beroperasi pada kapasitas 60%, dan beberapa bahkan terpaksa mengambil pilihan ekstrem dengan menggali sampah dari tempat pembuangan sampah lama yang tertutup untuk dibakar.
Guncangan finansial dan panggilan untuk bangun
Citra bisnis industri energi sampah Tiongkok berubah dari cerah menjadi suram. Tiga pilar pendapatan utama yang dulunya membantu bisnis menghasilkan uang: subsidi negara, penjualan listrik, dan kredit karbon, semuanya berguncang hebat.
Pertama, guncangan subsidi. Sejak 2023, anggaran pusat telah berhenti mendukung proyek-proyek baru, sehingga seluruh beban keuangan dibebankan kepada pemerintah daerah. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, banyak daerah mengalami penundaan pembayaran yang berkepanjangan. Hingga pertengahan 2024, perusahaan-perusahaan lingkungan yang terdaftar menunggak hingga 350 miliar yuan (setara dengan 49 miliar dolar AS), angka yang sangat besar yang melebihi total pendapatan operasional mereka.
Berikutnya adalah hilangnya kredit karbon. Insinerasi digunakan untuk mengurangi emisi metana dari tempat pembuangan akhir, menghasilkan pendapatan yang signifikan dari penjualan pengurangan emisi tersertifikasi (CCER). Namun, dengan metode akuntansi lingkungan baru yang lebih ketat yang mulai berlaku pada tahun 2024, arus kas ini hampir sepenuhnya hilang, menyapu bersih sekitar 10% laba bersih bisnis yang dikelola dengan baik.
Bahkan pendapatan dari penjualan listrik pun tak lagi menarik karena harga sertifikat listrik hijau (REC) telah anjlok akibat kelebihan pasokan. Faktor-faktor ini berpadu menciptakan "badai sempurna", yang menghapus margin keuntungan menggiurkan yang pernah dinikmati industri.

Penerapan pemilahan sampah berskala besar sejak tahun 2020 telah menyebabkan insinerator kehilangan sumber sampah yang sebelumnya melimpah. (Foto: Flickr).
Pelajaran mahal dalam perencanaan dan adaptasi
Kisah industri pengolahan sampah menjadi energi di Tiongkok merupakan "studi kasus" khas mengenai risiko ESG (Lingkungan - Sosial - Tata Kelola) dalam investasi.
Dari segi lingkungan, meskipun insinerasi lebih baik daripada penimbunan sampah, insinerasi tetap merupakan solusi "ujung pipa". Kelebihan insinerator bertentangan dengan prinsip ekonomi sirkular (Kurangi – Gunakan Kembali – Daur Ulang). Faktanya, tekanan untuk menggunakan insinerator justru dapat mendorong terciptanya lebih banyak sampah, alih-alih menguranginya.
Di bidang sosial, gerakan "Bukan di Halaman Belakang Rumahku" semakin meluas. Warga perkotaan semakin khawatir tentang emisi dioksin dan risiko kesehatan, sehingga sulit menemukan lokasi untuk proyek baru.
Menghadapi kenyataan pahit ini, raksasa industri seperti Everbright Environment terpaksa merestrukturisasi strategi bertahan hidup mereka. Masa-masa berpangku tangan dan menikmati manfaat mekanisme mengemis dan memberi sudah berakhir. Laporan tahunan perusahaan tahun 2024 menunjukkan pergeseran yang jelas menuju diversifikasi sumber pendapatan.
Mereka tidak lagi hanya mengandalkan sampah kota tetapi mulai memperluas ke pengolahan sampah industri, sembari mengalihkan basis pelanggan mereka dari pemerintah ke bisnis swasta dan rumah tangga.
Namun yang lebih penting, beralih ke lepas pantai menjadi satu-satunya cara untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas. Dengan menghadirkan teknologi, modal, dan pengalaman manajemen ke pasar negara berkembang—di mana kebutuhan akan pengolahan limbah sama tingginya dengan di Tiongkok 10 tahun lalu—bisnis-bisnis ini berharap dapat menemukan kembali "zaman keemasan" yang telah lama hilang.
Namun, perjalanan ini juga penuh tantangan karena mereka harus menghadapi tantangan hukum dan lingkungan bisnis yang kompleks di negara asing. Keberhasilan strategi mengekspor model "mengubah sampah menjadi emas" masih menjadi pertanyaan terbuka, tetapi satu hal yang pasti: era pembakaran sampah massal di Tiongkok telah resmi berakhir, dan digantikan oleh fase pembangunan yang lebih substansial dan berkelanjutan.
Sumber: https://dantri.com.vn/kinh-doanh/trung-quoc-xuat-khau-lo-dot-rac-cu-quay-xe-tim-vang-tu-phe-lieu-20251206090106634.htm










Komentar (0)