Perang dagang berisiko meluas dan banyak fluktuasi politik serta konflik terjadi, menyebabkan ekonomi global menghadapi tantangan besar.
Moody's Analytics (bagian dari Moody's Financial Services Group) baru saja mengirimkan kepada Thanh Nien laporan baru tentang situasi ekonomi dunia.
Harga konsumen di AS menunjukkan tanda-tanda kenaikan.
Kesulitan menjadi lebih sulit
Perekonomian global sedang memasuki periode ketidakpastian yang parah, menurut Moody's Analytics. Amerika Serikat telah mengungguli sekutunya selama tiga tahun terakhir, tetapi perekonomiannya mulai menunjukkan keretakan. Eropa masih terjebak dalam stagnasi, yang sangat dipengaruhi oleh masalah kapasitas, penurunan manufaktur, dan ketidakstabilan struktural yang mendalam. Sementara itu, perekonomian Inggris khususnya lemah.
Tiongkok hampir mencapai target pertumbuhannya di tahun 2024 (4,8% dibandingkan target 5%), tetapi permintaan domestik masih lesu, sehingga memberikan tekanan pada perekonomian. Jepang, Kanada, dan Australia masing-masing menghadapi kendalanya sendiri. India dan negara-negara berkembang lainnya di luar Tiongkok menunjukkan kinerja yang lebih baik, tetapi mereka tentu saja tidak kebal terhadap ketidakpastian ekonomi global.
Sementara itu, hanya beberapa minggu setelah menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump telah menerapkan serangkaian langkah tarif yang ditujukan kepada sekutu maupun lawan. Kenaikan pajak AS sebesar 20% untuk barang-barang Tiongkok sebanyak dua kali lipat hanyalah awal dari perang dagang. Gedung Putih juga menerapkan tarif pajak 25% untuk baja dan aluminium dari semua negara. Belum lagi, pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan untuk menaikkan pajak atas produk tembaga dan kayu, serta mempertimbangkan tarif baru untuk barang-barang dari Uni Eropa dan sekutunya di Asia. Hal ini membuat perang dagang benar-benar meledak, bukan hanya sekadar risiko potensial.
Banyak konsekuensinya
Perkembangan ini telah mengganggu pasar, dengan survei terbaru menunjukkan penurunan ekspektasi bisnis, melambatnya belanja konsumen, serta melemahnya pasar ritel dan tenaga kerja. Bahkan, PDB riil AS mungkin telah berkontraksi pada kuartal pertama tahun ini.
Hal itu memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan moneter dan pengendalian inflasi.
Inflasi di AS telah menurun selama dua tahun terakhir, tetapi perkembangan positif ini kini menghadapi tantangan. Inflasi AS kembali meningkat. Di saat yang sama, negara-negara lain menghadapi kenaikan biaya pangan dan energi serta penurunan nilai tukar mata uang, yang menyulitkan kehidupan masyarakat. Situasi ini terlihat jelas di Jepang, di mana inflasi pada Januari 2025 mencapai 4% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024.
Kondisi inflasi yang negatif dapat menyebabkan bank sentral membatasi pelonggaran kebijakan moneter. Federal Reserve AS (Fed) menunda pemotongan suku bunga acuan untuk menilai perkembangan, terutama ketika inflasi menunjukkan tanda-tanda kenaikan kembali akibat tarif, perang dagang, dan pemangkasan belanja pemerintah . Sikap Fed yang lebih hati-hati akan menyebabkan pelonggaran moneter global berlangsung lebih lambat dari perkiraan.
Namun, laporan tersebut memperkirakan bank sentral lainnya tidak akan terlalu terpengaruh oleh kebijakan Fed, dengan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Inggris kemungkinan akan terus memangkas suku bunga hingga akhir kuartal ketiga tahun 2025.
Menanggapi perekonomian Tiongkok, Moody's Analytics menilai target pemerintah untuk pertumbuhan sekitar 5% tahun ini sejalan dengan ambisi dan hasil tahun 2024. Namun, jika pada tahun 2024 ekspor menjadi faktor penting untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, pilar ini akan sangat sulit dicapai pada tahun 2025 akibat dampak perang dagang.
Selain itu, laporan tersebut juga menunjukkan sejumlah tantangan lain dalam perekonomian global, seperti konflik yang tidak dapat diprediksi di Ukraina yang telah berdampak signifikan pada pasar energi global, atau fluktuasi politik di Eropa yang juga berdampak signifikan.
Pasar saham AS kehilangan 5.000 miliar USD dalam 3 minggu
Tadi malam, CNBC mengutip statistik yang menunjukkan bahwa pasar saham AS telah kehilangan lebih dari $5 triliun nilai pasar hanya dalam tiga minggu terakhir. Lebih spesifik lagi, nilai pasar S&P 500 pada puncaknya pada 19 Februari adalah $52,06 triliun, tetapi pada 13 Maret, penurunan berkelanjutan tersebut membuat pasar hanya mencapai $46,78 triliun.
Penurunan ini terjadi di tengah perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Trump yang telah mengguncang pasar.
[iklan_2]
Sumber: https://thanhnien.vn/kinh-te-toan-cau-trong-con-dia-chan-185250314225705827.htm
Komentar (0)