Saat seluruh dunia berlomba-lomba mengembangkan dan menerapkan kecerdasan buatan (AI), CEO Microsoft Satya Nadella percaya bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada teknologi, melainkan pada manusia.
Ia menyatakan bahwa AI secara mendalam mengubah sifat pekerjaan, memaksa proses operasional tradisional untuk bertransformasi dan beradaptasi.
"Saat Anda bekerja dengan 99 asisten AI, Anda tidak bisa hanya berpegang pada cara-cara lama," kata Nadella, menggunakan analogi. "Bahkan ruang lingkup pekerjaan Anda pun akan berubah."

Menurut Satya Nadella, hal tersulit tentang AI bukanlah teknologinya, tetapi mengubah cara orang bekerja (Foto: Getty).
AI mengubah setiap pekerjaan.
Salah satu contoh utama yang dikutip oleh CEO Microsoft adalah LinkedIn, jaringan sosial profesional milik perusahaan tersebut. Menurut Nadella, AI mendorong konsolidasi peran-peran yang sebelumnya terpisah seperti desain produk, pemrograman UI, dan manajemen produk menjadi posisi baru: "full-stack builder."
"Ini bukan sekadar perubahan teknologi; ini adalah pergeseran mendasar dalam struktur kepegawaian," katanya. "Pertanyaannya adalah bagaimana membangun kembali tim dengan peran dan tanggung jawab yang sepenuhnya baru?"
Hal ini juga sebagian menjelaskan langkah Microsoft untuk memangkas 6.000 pekerjaan (kurang dari 3% dari tenaga kerja globalnya) pada bulan Mei. Meskipun perusahaan mengklaim PHK tersebut tidak terkait dengan kinerja, menurut Business Insider, tujuannya adalah untuk merampingkan manajemen tingkat menengah dan meningkatkan proporsi programmer dalam proyek. Microsoft ingin setiap manajer mengawasi lebih banyak karyawan, dan memprioritaskan personel yang dapat menulis kode daripada hanya mengelola proyek.
Pendapat yang berbeda: Apakah AI merupakan peluang atau bencana bagi lapangan kerja?
Sementara Nadella berusaha mempertahankan sikap netral, para pemimpin teknologi lainnya terbagi menjadi dua kubu yang berbeda: optimis dan pesimis.
Jensen Huang, CEO perusahaan pembuat chip Nvidia, percaya bahwa AI akan mengubah pekerjaan semua orang, termasuk pekerjaannya sendiri. Pada konferensi Vivatech di Paris bulan lalu, Huang berbagi: “AI telah mengubah pekerjaan saya. Beberapa posisi akan hilang, tetapi pada saat yang sama, AI membuka peluang inovasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Sebaliknya, Dario Amodei, CEO Anthropic, salah satu perusahaan rintisan AI terkemuka saat ini, mengeluarkan peringatan yang mengerikan: AI dapat menghilangkan 50% pekerjaan kantor tingkat pemula dalam lima tahun ke depan.
"Kami, para pencipta teknologi ini, memiliki kewajiban untuk jujur tentang apa yang akan datang. Tetapi saya rasa tidak banyak orang yang benar-benar menyadari hal itu," kata Amodei kepada Axios.
"Setiap orang perlu belajar cara menggunakan AI."
Dalam konteks ini, para pemimpin bisnis mendesak karyawan di semua tingkatan untuk secara proaktif terlibat dan mengenal AI sedini mungkin.
CEO Amazon, Andy Jassy, baru-baru ini mengirimkan memo internal, mendesak semua karyawan untuk "secara aktif mempelajari, menghadiri lokakarya dan kursus pelatihan, serta bereksperimen dengan AI kapan pun memungkinkan."
Dia tidak ragu-ragu membahas kemungkinan pengurangan staf: "AI akan mengubah proses kerja, dan itu berarti tenaga kerja perusahaan akan dirampingkan dalam beberapa tahun ke depan."
Reid Hoffman, salah satu pendiri LinkedIn, berpendapat bahwa AI bukan lagi fenomena "teknologi tinggi" tetapi harus menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari setiap tim, mulai dari perusahaan rintisan kecil hingga perusahaan besar.
Sembari menciptakan peluang baru yang tak terhitung jumlahnya, AI juga menghadirkan dilema sulit bagi setiap organisasi: berubah atau tertinggal. Dan seperti yang dikatakan Satya Nadella, hambatannya bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan kebiasaan, pola pikir, dan kemauan orang untuk berubah.
Sumber: https://dantri.com.vn/kinh-doanh/lam-viec-kieu-cu-mat-viec-kieu-moi-canh-bao-tu-ong-chu-microsoft-20250627112822134.htm










Komentar (0)