Bahasa Indonesia: Di masa lalu, tebu merupakan tanaman yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan di Quang Ngai . Saya menghabiskan masa kecil saya dipenuhi dengan aroma tebu dan lagu anak-anak yang ceria sepanjang musim yang diterangi cahaya bulan. Kemudian, ketika sinar matahari yang kering mengumumkan musim, ketika "tebu manis perlahan-lahan mencapai puncak", hati saya tenggelam dengan banyak emosi. Karena cuaca dan karakteristik tanah di wilayah Pantai Tengah, biasanya bulan lunar keenam kampung halaman saya mencapai musim panen tebu. Pada saat ini, di seluruh ladang, lereng, dan ladang tebu mulai mengering dan retak, daun-daunnya berubah menjadi perak, gemerisik tertiup angin. Di ruang kosong yang luas, bercampur dengan aroma rumput dan bunga di sepanjang pantai adalah manisnya gula tebu yang melayang dari tangan anak-anak penggembala sapi.

Tidak jelas kapan tebu ditanam di kampung halaman saya, tetapi buku "Dai Nam Thuc Luc" yang disusun oleh Institut Sejarah Nasional Dinasti Nguyen menunjukkan bahwa penanaman tebu dan pembuatan gula sangat makmur sejak zaman raja-raja pertama Dinasti Nguyen. Saat itu, istana menetapkan aturan untuk membeli gula dalam jumlah besar setiap tahun, beberapa tahun lebih dari seratus ribu kilogram, untuk digunakan dan diekspor oleh istana. Terutama ketika orang Minh Huong (dari Tiongkok) dari Co Luy datang untuk menetap, membentuk kota Thu Xa, berdagang banyak hal, termasuk gula dan permen cermin. Di sini juga, dalam dokumen-dokumen lama yang masih terlestarikan, penduduk setempat membuka pabrik pengolahan gula. Gula diekstraksi untuk membuat produk gula rafinasi, menciptakan spesialisasi yang masih kita dengar hingga saat ini seperti: gula batu, gula paru-paru, permen cermin... Jenis-jenis gula ini dijual, dan molase dianggap sebagai produk sampingan yang hanya digunakan sebagai bahan pengikat, yang disebut "tiga senyawa" (termasuk kapur, pasir, molase) untuk membangun dinding dan kolom ketika tidak ada semen.
Tebu merupakan tanaman industri bernilai ekonomi tinggi, sehingga industri tebu di kampung halaman saya dulunya sangat berkembang. Hingga saat ini, terdapat 2 pabrik gula yang beroperasi secara efektif, menciptakan lapangan kerja bagi ratusan pekerja. Sejak saat itu, lahan tebu telah diperluas. Pengolahan tebu secara manual dan spontan sudah tidak lagi aktif. Saat musim panen tiba, alih-alih harus membawa hasil panen dengan cara dibundel atau menggunakan gerobak sapi, kini kami tinggal menumpuknya di tepi sungai, dan truk-truk perusahaan tebu akan datang untuk mengambilnya.
Suatu hari, saat berkunjung ke rumah seorang kenalan desa, saya dikejutkan oleh ruang lama yang masih tersisa di sudut kebun: sebuah gubuk beratap jerami lapuk, serangkaian poros berputar, sebuah panci besar, dan tungku tanah liat yang telah terkelupas, hanya menyisakan rangka bambu. Saya mengamati dengan saksama, mengingat kembali hiruk pikuk pemerasan tebu untuk mengekstrak molase dan membuat gula. Saya teringat kerbau-kerbau yang mengunyah rumput sambil menarik barang-barang di sekitar poros tetap. Saya teringat sendok-sendok gula merah, hasil akhirnya, dan tak bisa melupakan senyum para paman dan bibi ketika hasil gula lebih tinggi dari yang diharapkan.
Ada sejenis gula manis dan lengket dari tebu yang pasti dikenal oleh siapa pun yang lahir dan besar di pedesaan penghasil tebu, yaitu gula muda. Nira tebu diperas, dimasukkan ke dalam panci besar untuk direbus, dan bisa ditambahkan bubuk kapur. Saat mendidih, buang busa yang kotor, tuang ke panci lain agar ampasnya mengendap, lalu lanjutkan memasak. Gula muda adalah produk yang diperoleh saat nira tebu belum matang hingga mengkristal, masih lunak, harum, dan kental. Dari ketelitian dan ketelitian dalam setiap langkah pembuatan gula, di kampung halaman saya muncul banyak lagu daerah yang bermakna: "Nira tebu yang bening pun berubah jadi gula/Aku cinta kamu, aku tahu, tapi kebiasaan biasa tak tahu".
Kampung halaman saya dikenal sebagai negeri tebu, tidak berlebihan. Namun, itu dulu, kini industri tebu perlahan meredup. Lima tahun yang lalu, 1 dari 2 pabrik gula ternama di provinsi ini berhenti beroperasi, dan pabrik yang tersisa tidak lagi seproduktif di masa "emas". Banyak pejabat dan pekerja dimobilisasi untuk bekerja di Pabrik Gula An Khe (provinsi Gia Lai ). Dan tentu saja, lahan tebu telah direstrukturisasi, ditanami tanaman lain atau tanaman tahunan.
Suatu ketika, sekembalinya saya ke kampung halaman, saya melewati sebuah ladang dan melihat menara pengawas tebu yang terbengkalai, di sebelahnya rumpun tebu telah layu daunnya. Saya tahu bahwa industri tebu telah tamat. Di mana seruan untuk pergi ke ladang menangkap burung tebu? Di mana konvoi truk yang membawa tebu kembali ke pabrik? Di mana rasa manis gula muda yang masih tersisa? Hati saya terasa berat karena kekhawatiran, dan tiba-tiba sebuah puisi yang familiar bergema di suatu tempat: "Mengenang tanah airku, murbei hijau, tebu manis/Aroma bunga aprikot di sore hari berkilauan dengan sutra keemasan" (Te Hanh).
Sumber: https://baogialai.com.vn/mot-thoi-huong-mia-post328312.html
Komentar (0)