
Belahan Bumi Utara menyerap lebih banyak energi dan Bumi harus menyesuaikan kembali seluruh sistem iklimnya, mulai dari musim hujan, curah hujan hingga distribusi panas antar wilayah samudra - Foto: Francesco Ungaro via Pexels
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah memperhatikan fenomena aneh: dua bagian Bumi memantulkan jumlah sinar matahari yang hampir sama kembali ke luar angkasa.
Keseimbangan ini mengejutkan, karena Belahan Bumi Utara memiliki lebih banyak daratan, kota, dan kabut asap industri, yang umumnya membuat permukaan Bumi lebih reflektif, sementara Belahan Bumi Selatan sebagian besar berupa lautan, yang lebih gelap dan menyerap lebih banyak energi.
Belahan Bumi Utara mendapatkan lebih banyak cahaya
Namun, data satelit terbaru dari NASA menunjukkan bahwa simetri ini perlahan menghilang. Belahan Bumi Utara menjadi "lebih gelap" dan menyerap lebih banyak energi matahari daripada bagian lain planet ini.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), tim Dr. Norman Loeb di Langley Research Center NASA menganalisis data yang dikumpulkan selama dua dekade dari misi satelit CERES, sebuah sistem yang mengukur jumlah radiasi yang diserap dan dipantulkan oleh Bumi.
Hasilnya menunjukkan bahwa energi yang diserap antara kedua belahan bumi tidak lagi seimbang seperti sebelumnya. Belahan Bumi Utara mengumpulkan lebih banyak sinar matahari, sementara Belahan Bumi Selatan tetap stabil. Perbedaannya kecil, tetapi dapat berdampak besar, mengubah arus laut, pola curah hujan, dan bahkan sistem iklim global di masa mendatang.
Sebagaimana dijelaskan para ilmuwan, Bumi selalu berusaha menjaga keseimbangan dengan menyerap energi Matahari dan memancarkannya kembali ke luar angkasa sebagai radiasi termal. Ketika proses ini terganggu, planet ini menyesuaikan diri melalui mekanisme alami seperti perubahan tutupan awan, pantulan es, atau suhu permukaan. Namun kali ini, tampaknya mekanisme tersebut tidak lagi cukup kuat untuk menjaga keseimbangan.
Para ahli mengatakan ada tiga alasan utama ketidakseimbangan ini. Pertama, es di wilayah kutub dan pegunungan utara mencair dengan cepat, memperlihatkan daratan dan lautan yang gelap, permukaan yang menyerap panas jauh lebih banyak daripada salju putih.
Selain itu, kabut asap dan emisi industri di banyak negara maju telah berkurang secara signifikan selama dua dekade terakhir berkat kebijakan lingkungan. Hal ini mungkin terdengar positif, tetapi kenyataannya, udara memiliki lebih sedikit partikel pemantul cahaya, sehingga Bumi menyerap lebih banyak energi.
Faktor lainnya adalah udara yang lebih hangat dapat menahan lebih banyak uap air, yang menyerap sinar matahari alih-alih memantulkannya. Seiring dengan pemanasan yang lebih cepat di Belahan Bumi Utara, jumlah uap air di atmosfer meningkat, membuat wilayah tersebut tampak lebih gelap bagi satelit.
Peringatan dampak iklim global
Salah satu temuan mengejutkan dalam studi ini adalah bahwa tingkat kekeruhan global hampir tidak berubah selama dua dekade terakhir. Jika sistem iklim menyeimbangkan diri, para ilmuwan akan memperkirakan Belahan Bumi Utara akan memiliki lebih banyak awan untuk memantulkan sinar matahari tambahan. Namun, hal itu tidak terjadi.
Dr. Norman Loeb mengatakan bahwa faktor awanlah yang paling membingungkannya. Ia mempertanyakan apakah iklim Bumi selalu simetris di antara kedua belahannya, atau apakah perubahan yang terjadi saat ini justru memutus pola tersebut. Banyak model iklim yang masih belum cukup detail untuk sepenuhnya memperhitungkan interaksi kompleks antara awan, uap air, dan aerosol di atmosfer.
Memahami bagaimana awan dan partikel debu berinteraksi tetap menjadi salah satu tantangan terbesar dalam ilmu iklim, kata Zhanqing Li, ilmuwan iklim di Universitas Maryland. Awan memainkan peran kunci dalam mengatur jumlah energi yang diterima dan dipancarkan Bumi, dan bahkan perubahan kecil dalam sistem ini dapat berdampak besar pada iklim global.
Meskipun kesenjangan energi antara kedua belahan bumi saat ini kecil, para ahli memperingatkan bahwa kesenjangan tersebut dapat melebar dengan cepat dalam beberapa dekade mendatang. Ketika ketidakseimbangan ini menjadi signifikan, Bumi harus menyesuaikan kembali seluruh sistem iklimnya, mulai dari musim hujan dan curah hujan hingga distribusi panas di antara lautan.
Menurut Dr. Loeb, penelitian ini hanyalah awal dari pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana Bumi menyerap dan memantulkan energi. Ia berharap model iklim generasi berikutnya akan membantu memverifikasi hasil dan membuat prediksi yang lebih akurat tentang perubahan yang akan datang.
“Ketidakseimbangan ini bukan sekadar angka, ini menunjukkan bahwa planet kita berubah lebih cepat daripada yang dipikirkan banyak orang,” ujarnya.
Sumber: https://tuoitre.vn/nasa-phat-hien-su-lech-pha-nguy-hiem-giua-hai-ban-cau-cua-trai-dat-20251028094530675.htm






Komentar (0)