| Masa kecil di pedesaan - permainan sederhana seperti petak umpet atau bermain pasir; menangkap kepiting, ikan... menjadi kenangan yang jelas dari satu generasi. |
Masa kecil kami bagaikan tetes-tetes terakhir hujan yang hampir reda. Kala itu, jika kami ingin menghubungi seseorang yang jauh, tak ada cara lain selain menulis surat dengan tangan, membungkusnya dengan hati-hati dalam amplop putih, membubuhkan perangko, dan memasukkannya ke kotak surat kuning di kantor pos komune. Lalu, dengan cemas menunggu balasannya.
Lalu, waktu berlalu, bagai air terjun yang mengalir deras dari tebing terjal. Sebelum tinta tulisan tangan pudar, kita harus terbiasa dengan kibor. Sebelum kita terbiasa dengan Yahoo, Messenger muncul bagai sihir. Facebook dan TikTok datang bagai banjir, menyapu semua kesunyian. Dan kini, kecerdasan buatan dapat berbicara untuk Anda, bahkan berbicara untuk pikiran-pikiran yang belum terucapkan.
Pagi-pagi menuju sekolah kala itu membawa aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Kami mengarungi kubangan lumpur, sandal plastik kami berlumpur, banyak di antaranya masih memiliki beberapa bekas las dari tumit yang aus atau talinya yang putus. Tas sekolah plastik yang disampirkan di bahu kami berderak setiap kali kami melangkah. Kami pergi ke sekolah tanpa ada yang menjemput, karena setiap jalan desa adalah peta familiar yang terukir dalam ingatan kami.
Sepulang sekolah, dunia kami terbentang bak buku petualangan tanpa akhir. Anak-anak lelaki berkumpul mengelilingi lingkaran yang digambar di tanah, mata mereka berbinar-binar mengikuti lintasan kelereng yang menggelinding.
Ada sore-sore musim panas ketika kami berbaring di rumput, memandangi layang-layang yang terbang tinggi di langit biru cerah, seakan ingin menyentuh awan putih.
Para gadis berkumpul mengelilingi satu sama lain, tawa mereka sejernih suara lonceng, saling mengepang rambut dengan pita merah muda pudar. Dan terkadang, seluruh kelompok berceloteh keras, berebut buah duoi kuning yang matang, daun asam jawa muda yang dibalut beberapa butir garam putih, yang asam dan asin, tetapi tetap terasa lezat.
Saat sore hari berangsur-angsur berlalu, panggilan ibu kami dari teras menghentikan permainan kami.
Di bawah lampu minyak yang berkelap-kelip, wajah Ibu yang kurus kering menampakkan setiap jejak kesulitan. Tangannya dengan terampil menjahit kemeja-kemeja tua untukku dan adik-adikku, setiap jahitan seakan menyampaikan cinta yang tak terbatas. Ayah duduk di dekat radio tua, telinganya menyimak setiap kata dari program radio dengan saksama, tatapannya kosong seolah tertarik ke dunia cerita.
Pada malam-malam itu, seluruh desa seakan bergetar dengan satu detak jantung. Anak-anak berkerumun di sekitar satu-satunya TV hitam putih di lingkungan itu untuk menonton "Bunga-Bunga Kecil", mata mereka terbelalak seolah ingin menyerap setiap tayangan.
Kemudian, kami dengan bersemangat menghitung mundur detik-detik menjelang "Perjalanan ke Barat". Pada suatu saat, seluruh kelompok anak-anak duduk diam, asyik dengan petualangan Sun Wukong, ketika tiba-tiba TV mengeluarkan suara berderak, layarnya berkedip-kedip dengan garis-garis horizontal dan vertikal. Pembawa acara terpaksa menepuk sisi TV. Seluruh kelompok menahan napas menunggu, dan ketika gambar kembali jelas, sorak-sorai bergemuruh seolah-olah mereka baru saja lolos dari serangan jantung.
Waktu bagaikan sungai, menyapu masa kanak-kanak dan hari-hari yang lambat.
Suatu hari, kami terbangun dan mendapati diri kami berada di dunia yang berbeda, tempat segala sesuatu bergerak secepat cahaya. Di tangan kami, ada ponsel pintar dengan kekuatan yang melampaui impian fiksi ilmiah masa kecil kami. Namun, di suatu tempat di hati kami, kami masih mendengar suara ibu kami memanggil nama kami dari teras saat matahari terbenam.
Ada malam-malam larut, ketika kota telah tertidur dan hanya lampu jalan kuning yang tersisa menyinari jalan-jalan yang kosong, kami akan dengan sedih mengingat sore-sore berlari tanpa alas kaki di jalan-jalan tanah desa.
Aku ingat bau asap yang mengepul dari atap-atap rumah di lingkungan itu saat matahari terbenam, aku ingat suara anak-anak bermain dan tertawa menggema di halaman yang masih tertutup jerami. Semua itu menyatu menjadi simfoni sederhana yang, hingga kini, masih kuanggap sebagai musik terbaik dalam hidupku.
Kita beruntung, atau mungkin juga kejam, karena hidup di dua dunia paralel pada saat yang sama.
Di satu sisi, masa lalu dengan ritme kehidupan yang lambat bak lingkaran konsentris, sederhana namun mendalam. Di sisi lain, masa kini dengan koneksi globalnya, begitu cepat hingga terasa luar biasa namun juga rapuh, cepat berlalu bak asap.
Di antara kedua dunia itu, kita seperti penjaga jembatan yang membawa dalam barang bawaan kita kenangan masa kecil dan jejak generasi yang perlahan memudar.
Dan, ketika kehidupan modern terasa begitu berat di pundak kita, ketika pesan terus berdengung, ketika tenggat waktu menumpuk, kita memejamkan mata untuk menemukan masa kanak-kanak kita. Di sana, waktu mengalir perlahan bagai madu, di mana setiap momen dinikmati dengan penuh emosi. Masa kanak-kanak menjadi penawar bagi hari-hari yang lelah, menjadi mercusuar sunyi yang menuntun kita pulang ketika kita tersesat dalam hidup.
Source: https://baothainguyen.vn/van-nghe-thai-nguyen/202508/nhung-dua-tre-vua-kip-lon-len-cung-thuong-nho-4e43ad5/










Komentar (0)