Kisah Tuan Phong yang dibagikan di media sosial Tiongkok menarik perhatian publik di negara ini. Pria itu mengaku telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya "menjual muka ke tanah dan punggungnya ke langit", sehingga di usianya saat ini ia tidak memiliki harapan untuk mengubah hidupnya. "Namun, yang saya khawatirkan sekarang adalah putra saya sudah berusia di atas 30 tahun tetapi belum bekerja dan tinggal di rumah selama beberapa tahun. Sementara itu, putra tetangga saya, Tuan Hai, yang seusia dengan putra saya, sudah menikah, memiliki anak, dan memiliki karier bisnis yang stabil."

Karena usia mereka sama, anak-anak Tuan Phong dan Tuan Hai bermain bersama sejak kecil, tetapi kemudian mereka mulai menjaga jarak karena perbedaan tingkat pendidikan. Setelah lulus SMP, putra Tuan Phong lulus ujian SMA penting di Tiongkok, sementara putra Tuan Hai gagal ujian SMA dan akhirnya melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan.

Setelah hasil ujian SMA keluar, Pak Hai pergi ke rumah Pak Phong dan berkata, "Saya selalu berharap anak saya lulus ujian dan memiliki pekerjaan tetap setelah lulus, sehingga ia tidak perlu bekerja sekeras saya. Tapi sekarang saya putus asa. Anak saya tidak belajar sebaik anak Anda, jadi sulit untuk mengubah masa depan."

Menurut NetEase , setelah lulus SMA, putra Pak Phong diterima di universitas di Proyek 221, jurusan Keuangan Internasional. "Pada hari putra saya menerima surat penerimaannya, semua orang datang untuk memberi selamat dan membawa harapan bahwa masa depannya akan cerah. Hari itu, Pak Hai juga datang ke rumah saya dan bercanda: 'Setelah putra Anda sukses, mintalah dia untuk membantu putra saya'."

Namun setelah 10 tahun, semuanya berubah secara tak terduga. Setelah lulus kuliah, putra Bapak Phong gagal dalam ujian magister dan pergi ke Guangzhou (Tiongkok) untuk bekerja. Setelah 2 tahun, karena tak mampu menahan tekanan, putranya memutuskan untuk pulang kampung mencari pekerjaan, tetapi gajinya tidak mencukupi. "Karena itu, putra saya mengubah rencananya untuk mengikuti ujian pegawai negeri sipil, tetapi setelah gagal dua kali, ia tetap di rumah dan tidak mencari pekerjaan," ujarnya.

"Awal tahun, putra saya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, tetapi kurang dari seminggu kemudian ia kembali ke rumah untuk melanjutkan hidupnya yang hampa. Meskipun saya berkali-kali menasihatinya untuk pergi ke kawasan industri dan bekerja sebagai buruh, dan setelah 2 tahun bertekun ia bisa menjadi manajer, tetapi tidak semua yang diinginkannya dapat tercapai. Di usia senja kami, saya dan istri masih berjualan sayur untuk menghidupi putra kami yang berusia lebih dari 30 tahun," ujar Pak Phong tanpa daya.

Sementara itu, putra Pak Hai kini memiliki karier yang stabil, rumah, dan mobil. Setelah lulus sekolah kejuruan, pemuda ini bekerja di sebuah pabrik besar di Guangdong (Tiongkok). Dalam 2-3 tahun terakhir, ia memulai bisnis penyewaan drone kepada petani untuk menyemprot pestisida. Seiring meningkatnya permintaan masyarakat, ia memperluas bisnisnya ke berbagai bidang lain.

"Di usia ini, saya mengerti bahwa gelar membuka peluang, tetapi bukan faktor utama penentu kesuksesan. Saya berharap setelah mengetahui kisah anak saya, anak-anak muda dan orang tua dapat menyadari kenyataan ini sesegera mungkin. Setidaknya mereka harus mampu menghidupi diri sendiri, mereka tidak bisa hidup berfoya-foya tanpa tujuan," kata Bapak Phong.

Ketika melihat anak-anak belajar kelas tambahan sepanjang hari, banyak orang mengkritik orang tua karena memberi terlalu banyak tekanan tanpa mengetahui bahwa kita sedang berjuang untuk mencari uang untuk membesarkan mereka, sementara juga 'mempertimbangkan' kesehatan mental dan fisik serta masa depan mereka.