
Dari “ceruk budaya” menjadi penggerak ekonomi baru
Data terbaru menunjukkan bahwa era kekuatan kreatif telah benar-benar terbentuk dan menjadi jelas. Laporan "Masa Depan Ekonomi Kreatif 2025" yang dilakukan oleh perusahaan musik digital Epidemic Sound (Swedia), yang mensurvei 3.000 kreator konten di Inggris dan AS, menunjukkan bahwa 98% peserta telah menetapkan tujuan kreatif atau bisnis untuk tahun mendatang; 95% memilih model membangun hubungan langsung dengan audiens, alih-alih sepenuhnya bergantung pada platform perantara. Hal ini mencerminkan pergeseran dari aktivitas berbasis hobi menjadi beroperasi seperti bisnis kecil, di mana para kreator harus secara bersamaan melakukan strategi konten, membangun merek, mengelola komunitas, dan mengoptimalkan pendapatan.
Teknologi merupakan pendorong utama profesionalisasi ini. Menurut laporan tersebut, 91% pekerja kreatif telah mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) ke dalam alur kerja mereka; 40% mengatakan AI menghemat waktu, sementara 46% mengatakan AI menginspirasi ide-ide baru.
Suara dan musik juga terbukti sangat penting untuk konten digital. 94% kreator mengatakan musik adalah faktor kunci dalam melibatkan pemirsa, dan 97% mengatakan mereka secara aktif menyesuaikan strategi audio mereka agar sesuai dengan gaya merek pribadi mereka.
Di sisi pasar, berbagai bisnis juga tengah merestrukturisasi strategi media mereka untuk mengimbangi kebangkitan kekuatan kreatif. Sebuah laporan dari Interactive Advertising Bureau (IAB) mencatat bahwa belanja iklan untuk ekonomi kreatif di AS meningkat dari 13,9 miliar dolar AS pada tahun 2021 menjadi 29,5 miliar dolar AS pada tahun 2024 dan diperkirakan akan mencapai 37 miliar dolar AS pada tahun 2025, tingkat pertumbuhan empat kali lebih cepat daripada keseluruhan industri media. Hampir 48% pengiklan menganggap pemasaran melalui kreator konten sebagai saluran yang "wajib dimiliki", kedua setelah media sosial dan iklan pencarian berbayar.
Menurut IAB, peran kreator tidak lagi terbatas pada menciptakan kesadaran merek. 43% bisnis menggunakan pemasaran kreator untuk membangun merek mereka, 41% untuk menjangkau audiens baru, 35% untuk membangun kredibilitas, dan 32% untuk mendorong penjualan.
“Memanfaatkan ekonomi kreatif untuk terhubung dengan pelanggan bukan lagi sekadar eksperimen, melainkan sebuah keharusan,” ujar David Cohen, CEO IAB.
Di tingkat nasional, banyak negara berkembang juga mengalami ekspansi yang pesat. Menurut kantor berita ANTARA, industri kreatif Indonesia akan menyumbang sekitar 1.500 triliun rupiah (US$90,1 miliar) terhadap PDB, menciptakan lebih dari 26,5 juta lapangan kerja, dan mencapai US$12,9 miliar dalam ekspor pada paruh pertama tahun 2025 saja. Pemerintah Indonesia memandang hal ini sebagai pilar pertumbuhan baru, yang mampu mendorong lapangan kerja inklusif dan memperluas kelas menengah.
Di Afrika, data dari Botho Market Research Group menunjukkan bahwa industri kreatif di benua itu bernilai sekitar $31 miliar, dan dapat mencapai $50 miliar serta menciptakan 20 juta lapangan kerja pada tahun 2030 jika infrastruktur, pelatihan, dan dukungan kebijakan disediakan. Namun, lebih dari 70% kreator masih belum mampu membawa produk mereka ke pasar internasional, 75% hampir tidak memiliki keterampilan e-commerce, dan hanya 12 dari 55 negara yang telah mengembangkan strategi pengembangan industri kreatif.
Ubah peluang menjadi pertumbuhan berkelanjutan
Pesatnya perkembangan ekonomi kreatif membawa banyak peluang sekaligus tantangan, mulai dari infrastruktur, keterampilan, keuangan, hingga pengukuran kinerja. Banyak studi menunjukkan bahwa ekosistem pendukung saat ini cukup terfragmentasi. Menurut IAB, ekonomi kreatif beroperasi di lingkungan dengan terlalu banyak model kerja sama yang berbeda, anggaran yang terbatas, dan standar pelaporan yang tidak konsisten. Sekitar sepertiga bisnis menganggap menemukan kreator konten yang tepat sebagai tantangan terbesar, sementara reputasi pribadi dan kesesuaian audiens merupakan dua kriteria utama.
Dari perspektif teknologi, meskipun 75% pengiklan telah atau berniat menggunakan AI dalam pemasaran kreator konten, 95% masih khawatir bahwa AI dapat mengurangi hubungan antarmanusia, nilai inti yang membuat konten kreatif menarik. Hal ini memaksa bisnis dan kreator untuk menyeimbangkan otomatisasi dan keaslian dalam produk mereka.
Di negara-negara berkembang, tantangan utamanya terletak pada permodalan dan pelatihan. Indonesia adalah contoh utama, dengan pemerintah yang mengusulkan model pembiayaan mikro tanpa agunan bagi para pelaku kreatif. Model ini didasarkan pada arus kas aktual peminjam, disertai dengan program pelatihan dan inkubasi serta suku bunga fleksibel melalui platform digital. "Sudah saatnya kita memiliki model keuangan inklusif bagi para pelaku kreatif," ujar Menteri Koordinator Abdul Muhaimin Iskandar.
Di Afrika, pusat desain dan inkubator seperti Ananse Center for Design (Nigeria) atau Africa Creative Alliance membantu menghubungkan keterampilan kreatif dengan ekosistem dunia nyata, mulai dari administrasi bisnis, manajemen arus kas, hingga e-commerce dan pemasaran digital. Di saat yang sama, dana pembangunan juga meningkatkan dukungan untuk sektor ini. Yayasan Tony Elumelu (Nigeria) menyatakan telah mendukung lebih dari 21.000 wirausaha, menyalurkan lebih dari $100 juta, dan menciptakan hampir 1,5 juta lapangan kerja.
Ekonomi kreatif muncul sebagai kekuatan ekonomi dan sosial baru, dan untuk berkembang berkelanjutan, sektor ini membutuhkan investasi serius dalam keuangan, pelatihan, infrastruktur digital, dan sistem pengukuran yang efektif.
Sumber: https://daidoanket.vn/su-troi-day-cua-kinh-te-sang-tao.html






Komentar (0)