Dalam konteks perkembangan ekonomi digital yang pesat, kejahatan siber dan penipuan keuangan digital juga meningkat dalam skala global. Mulai dari serangan ransomware, pencurian data pribadi, hingga pencucian uang melalui mata uang kripto, kerugian ekonomi global telah melampaui triliunan dolar AS setiap tahunnya. Oleh karena itu, negara-negara perlu segera menyatukan kerangka hukum untuk menangani kejahatan siber dan mengelola aset digital.
Ketika mata uang kripto diakui sebagai hak milik , dunia memasuki fase baru kerja sama hukum. (Foto ilustrasi)
Konvensi Hanoi dianggap sebagai "perisai hukum" global untuk menghadapi tantangan ini. Poin penting dari dokumen ini adalah untuk pertama kalinya, aset digital dan aset virtual dimasukkan dalam definisi "properti" dalam hukum internasional. Artinya, jenis aset seperti mata uang kripto, NFT, aset virtual dalam gim daring, dll., diakui sebagai objek yang dapat disita, diperdagangkan, atau dipulihkan selama investigasi kejahatan siber.
Dr. Sreenivas Tirumala, dosen di RMIT Vietnam School of Business & Management, berkomentar: “Pencantuman aset digital dan aset virtual dalam Konvensi ini merupakan langkah tepat waktu, yang berkontribusi pada penguatan kepercayaan digital dan peningkatan kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan siber.” Menurutnya, langkah ini tidak hanya menunjukkan adaptasi cepat sistem hukum global, tetapi juga membuka peluang untuk melindungi pengguna, pelaku bisnis, dan investor di dunia maya.
Dari perspektif teknologi, Dr. Jeff Nijsse, Dosen Senior Rekayasa Perangkat Lunak di RMIT, mengatakan bahwa penyelenggaraan Konvensi oleh Vietnam merupakan "sebuah demonstrasi nyata dari semakin besarnya peran Vietnam dalam keamanan siber global." Ia menekankan: "Konvensi Hanoi mencerminkan upaya Vietnam untuk menghubungkan komunitas internasional guna bersama-sama menangani kejahatan siber dan tantangan era digital."
Konvensi ini juga menandai perubahan signifikan dalam persepsi global: dari sekadar memandang mata uang kripto sebagai "instrumen keuangan berisiko", berbagai negara mulai memandangnya sebagai bagian dari ekonomi digital yang perlu diatur, dipantau, dan dilindungi. Dengan aset virtual yang dilegalkan, lembaga penegak hukum dapat bekerja sama, melacak transaksi, memulihkan aset yang dicuri, dan menuntut pelaku kejahatan dengan lebih efektif.
Selain itu, Konvensi Hanoi juga bertujuan untuk menciptakan kerangka kerja sama internasional antara lembaga investigasi, pengadilan, perusahaan teknologi, dan lembaga keuangan. Berbagi data, bukti digital, dan prosedur bantuan hukum timbal balik akan membantu mengurangi kesenjangan hukum antarnegara—yang merupakan hambatan utama dalam menangani kejahatan siber lintas batas.
Para ahli berpendapat bahwa setelah Konvensi ini diratifikasi, Vietnam akan menjadi pusat dialog internasional tentang keamanan siber dan hukum digital di kawasan. Acara ini tidak hanya menegaskan posisi proaktif dan aktif negara ini di bidang keamanan siber, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan reputasi Vietnam di forum internasional tentang tata kelola internet dan aset digital.
Di era digital, di mana batas antara realitas dan virtualitas semakin kabur, pengakuan aset virtual dalam hukum internasional bukan hanya sebuah langkah maju secara hukum, tetapi juga penegasan hak milik pengguna di dunia maya. Oleh karena itu, Konvensi Hanoi diharapkan menjadi landasan bagi lingkungan digital yang lebih aman, transparan, dan tepercaya dalam skala global.
Sumber: https://doanhnghiepvn.vn/cong-nghe/tai-san-ao-lan-dau-duoc-luat-hoa-trong-cong-uoc-ha-noi-buoc-ngoat-cho-ky-nguyen-so/20251021051301450
Komentar (0)