
Tidak mudah untuk curhat pada orang yang dicintai, sehingga banyak anak muda memilih curhat pada AI - Foto: XUAN HUONG
Teknologi telah menjadi dukungan spiritual bagi manusia. Namun, teknologi juga mencerminkan kesepian manusia modern dengan lebih jelas. Jadi, apakah berbicara dengan AI untuk mendapatkan dukungan atau justru menambah kesepian?
AI memiliki kata-kata yang hangat tetapi tidak dapat menggantikan senyum dan mata manusia.
Aku merasa sedih, melihat diriku dalam berbagi dengan seorang anak muda: AI tidak bosan mendengarkanku, tidak menghakimi, tidak sibuk, harus menemukan seseorang yang mengerti kamu seperti AI untuk mencintai.
Ada kalanya setelah hari yang panjang dan melelahkan, saya membuka kotak obrolan dengan AI hanya untuk mendapatkan balasan. Rasanya seperti diperhatikan, meskipun saya tahu di baliknya hanyalah sebaris kode yang tak masuk akal, di depan saya ada layar.
Awalnya, saya merasa nyaman. Namun, semakin banyak saya berbicara, semakin saya menyadari kekosongan yang asing itu. Sebanyak apa pun kata-kata hangat yang AI ucapkan, ia tak mampu menggantikan tatapan, senyuman, atau uluran tangan di bahu di tengah hari-hari yang penuh ketidakpastian.
Saya mulai mengerti mengapa semakin banyak teknologi 4.0, semakin kesepian anak muda. Karena kita bisa terhubung dengan seluruh dunia , tetapi jarang berani terbuka kepada orang-orang nyata.
Generasi sebelumnya tidak banyak berbicara tentang kesehatan mental, tetapi memiliki kehidupan spiritual yang kaya.
Di lingkungan saya yang kecil, saya hanya perlu mendengar suara panci dan wajan jatuh, dan tetangga akan berlarian untuk melihat apa yang terjadi. Selama liburan Tet, keluarga ini akan membungkus banh chung, dan keluarga itu akan menyumbang daun. Jika ada anak yang sakit, seluruh lingkungan akan tahu dan menanyakannya.
Orang-orang tidak memerlukan aplikasi koneksi komunitas atau grup obrolan lingkungan, karena hubungan manusia di dunia nyata merupakan jaringan yang terkuat.
Dan tampaknya hal sederhana itu ternyata menjadi obat yang kurang dimiliki oleh generasi muda saat ini.
Saya tidak menyangkal nilai AI. Saya beralih ke AI untuk mengisi kekosongan emosional. Dan saya tahu sudah waktunya untuk berhenti. Bagaimana dengan kalian, anak muda?
Saya membuka diri lagi, minum kopi bersama teman-teman lama, mengunjungi saudara, dan menghadiri pembacaan buku. Awalnya agak canggung karena saya lebih terbiasa berbicara di depan layar daripada berbicara langsung. Namun, hanya dengan pertanyaan sederhana seperti "Apa kabar?", hati saya tiba-tiba tersentuh.
Kini saya masih menggunakan AI untuk belajar, menulis, dan berkarya, tetapi saya tidak membiarkannya menggantikan manusia. Kita hidup di era di mana permintaan maaf atau ucapan terima kasih dapat disampaikan melalui ikon, dan berbagi hanya dengan sekali klik. Namun, sudah saatnya kita masing-masing bertanya pada diri sendiri, masihkah kita cukup berani untuk mengetuk pintu tetangga, berbicara dengan kerabat, mendengarkan keluh kesah yang nyata?
Karena jauh di lubuk hati, yang kita butuhkan bukanlah jawaban yang sempurna, melainkan seseorang yang nyata yang bersedia mendengarkan kita, meski hanya dalam diam.
Berinteraksi terlalu banyak dengan AI cenderung membuat Anda lebih kesepian
Banyak penelitian terkini juga menunjukkan bahwa kaum muda kini beralih ke AI untuk mengisi kekosongan emosional.
Dalam studi "Potensi Terapi Chatbot Sosial dalam Mengatasi Kesepian dan Kecemasan Sosial" (2025) yang melibatkan 176 mahasiswa Korea, hasilnya menunjukkan bahwa setelah 2 minggu berbincang dengan chatbot sosial, perasaan kesepian berkurang secara signifikan, dan setelah 4 minggu, tingkat kecemasan sosial juga berkurang secara signifikan.
Pada catatan positif, penggunaan chatbot sosial berpotensi bertindak sebagai bentuk dukungan emosional jangka pendek, membantu kaum muda untuk sementara mengatasi perasaan hampa, cemas, atau terisolasi dalam lingkungan belajar dan kehidupan modern.
Melengkapi penelitian ini, "AI Companions Reduce Loneliness" (Harvard Business School, 2024) juga menunjukkan bahwa interaksi jangka pendek dengan pendamping AI dapat mengurangi rasa kesepian setara dengan mengobrol dengan orang sungguhan. Mekanisme utamanya terletak pada unsur didengarkan, di mana pengguna merasa diperhatikan, merespons, dan hadir di sisinya, meskipun hanya virtual.
Namun, efek positif ini tidak bertahan selamanya.
Studi lain, yang dilakukan oleh MIT Media Lab dan tim OpenAI, melakukan uji coba terkontrol secara acak dengan 981 peserta selama empat minggu, merekam lebih dari 300.000 pesan teks yang dipertukarkan.
Hasilnya menunjukkan bahwa chatbot berbasis suara awalnya lebih efektif dalam mengurangi perasaan kesepian dan ketergantungan emosional daripada chatbot hanya teks.
Namun, seiring meningkatnya penggunaan, efek ini berangsur-angsur berbalik, pengguna yang terlalu banyak berinteraksi dengan AI cenderung menjadi lebih kesepian, lebih bergantung pada chatbot, dan kurang terhubung dengan orang sungguhan.
Hasil-hasil ini semakin memperjelas apa yang tampak sederhana: teknologi dapat mendengarkan tetapi tidak dapat memahami, dapat merespons tetapi tidak dapat menggantikan kehadiran emosional antarmanusia.
Source: https://tuoitre.vn/tim-den-ai-de-lap-khoang-trong-cam-xuc-song-cang-them-co-don-2025111011202266.htm






Komentar (0)