Dalam konteks di mana banyak orang merasa terkepung dan tercekik dalam "lautan" informasi, mengidentifikasi akun media sosial merupakan tindakan yang diperlukan...
Menurut banyak ahli, mengidentifikasi akun media sosial itu perlu. (Sumber: Internet) |
Pada tanggal 8 Mei, pada sesi penjelasan Komite Kehakiman Majelis Nasional , Wakil Menteri Informasi dan Komunikasi Nguyen Thanh Lam mengatakan bahwa paling lambat akhir tahun ini, akan ada keputusan baru yang mengharuskan pemilik akun jejaring sosial untuk melakukan identifikasi.
Semua pemegang akun media sosial, baik individu maupun organisasi, wajib mengidentifikasi diri. Hal ini berlaku untuk media sosial seperti Facebook, YouTube, dan TikTok. Akun media sosial tanpa nama akan diblokir dan ditangani di berbagai tingkatan.
Kewajiban untuk mengidentifikasi akun jejaring sosial dianggap sebagai tindakan yang diperlukan untuk menciptakan transparansi dan kejelasan di dunia maya; hal ini berlaku untuk jejaring sosial lintas batas maupun aplikasi OTT asing. Jika aplikasi dan platform ini tidak memenuhi persyaratan identifikasi, mereka akan diblokir dan ditangani.
Jejaring sosial di era digital bisa dibilang sebagai "senjata" yang ampuh. Pengguna terkadang merasa terkepung dan tercekik dalam "lautan" informasi, terutama ketika berita palsu bermunculan di mana-mana. Sementara itu, tidak semua orang memiliki kemampuan menyaring informasi dan tahu cara menggunakan jejaring sosial dengan aman dan cerdas.
Khususnya, bentuk siaran langsung (livestream) semakin berkembang di platform media sosial. "Mengekspos" seseorang, terutama orang-orang terkenal, bukanlah hal yang aneh. Fenomena ini sering terjadi dan menimbulkan banyak konsekuensi.
Penyebaran berita bohong dan informasi palsu yang meluas di internet telah secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi persepsi, pola pikir, dan perilaku pengguna. Lebih tepatnya, penyebaran berita bohong yang tidak pandang bulu telah dan sedang berdampak signifikan terhadap psikologi dan kehidupan sosial masyarakat, terutama kaum muda.
Untuk "menarik" trafik dan meningkatkan interaksi, banyak orang rela mengunggah video yang tidak diketahui asalnya, yang memuat gambar-gambar berbahaya bagi anak muda. Tidak sulit untuk melihat video kekerasan di sekolah, siswa yang menanggalkan baju teman-temannya karena iri... Video-video ini sangat mungkin memengaruhi pemikiran dan mendistorsi tindakan anak muda.
Tak hanya itu, banyak klip yang diedit dan dipentaskan tentang kecemburuan, tentang penghinaan terhadap teman sekelas, untuk meningkatkan komentar, memicu perdebatan, dan meningkatkan interaksi. Trik negatif dan berbahaya semacam itu akan merasuki pikiran anak-anak, memengaruhi mereka secara negatif, dan meninggalkan konsekuensi yang tak terduga.
Banyak orang berilusi tentang kekuasaan, terlepas dari ketentuan hukum. Mereka rela menyebarkan berita bohong, menciptakan insiden, dan membuat berita hangat demi menarik perhatian dan suka. Tak hanya itu, meskipun kisahnya menyedihkan seperti anak kecil yang bunuh diri, banyak "pejuang keyboard" yang mencoba berkomentar, menganalisis penyebabnya, dan menyalahkan orang dewasa. Banyak orang menyebarkan video tersebut tanpa mempedulikan duka yang dirasakan keluarga tersebut.
Atau, seorang guru yang sedang marah telah bertindak atau mengatakan sesuatu yang tak terkendali kepada seorang siswa. Ketika insiden tersebut diunggah di media sosial, terlepas benar atau salah, serangkaian komentar yang menghina tentang guru tersebut akan membuat orang yang terlibat merasa terpukul, sehingga sulit baginya untuk melanjutkan mengajar setelah insiden tersebut.
Banyak kritik ditujukan kepada guru tersebut, bahkan kepada kerabatnya, sehingga menciptakan opini publik yang terdistorsi. Bahkan hanya beberapa patah kata di media sosial dapat menyebabkan banyak orang, banyak keluarga menderita, bahkan hancur. Banyak orang terluka hanya karena apa yang disebut "kekuatan media sosial".
Dari situasi tersebut, banyak pakar juga menyuarakan perlunya sanksi untuk menangani pelanggaran. Namun, isu pentingnya adalah bahwa pekerja media dan peserta jejaring sosial sendiri perlu memiliki hati nurani. Karena satu berita atau komentar dari setiap orang dapat memengaruhi bisnis, banyak pekerja, kehormatan, martabat, dan kehidupan orang lain.
Kementerian Informasi dan Komunikasi telah memutuskan untuk menerbitkan "Kode Etik Jejaring Sosial" yang memuat berbagai ketentuan spesifik dan terperinci tentang perilaku, standar etika, dan budaya di dunia maya, serta rekomendasi bagi organisasi, individu, dan penyedia layanan jejaring sosial.
Namun, penting untuk meningkatkan kesadaran bagi pengguna jejaring sosial. Tingkatkan tanggung jawab sosial setiap orang dalam menggunakan jejaring. Berpikirlah, jangan terburu-buru, jangan biarkan komentar atau kalimat Anda merugikan, memengaruhi, bahkan "membunuh" kehidupan, merusak kepribadian orang lain.
Untuk membersihkan dunia maya, pihak berwenang perlu bertindak lebih tegas dan menangani situasi ini dengan lebih ketat. Di saat yang sama, orang tua dan guru tetap perlu bekerja sama dan bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka. Perlu ada lebih banyak pembelajaran tentang bagaimana berperilaku dan mengelola informasi di internet. Bagaimana mendidik anak-anak agar berani dan percaya diri dalam memilih informasi, agar tidak terjerumus dalam tipu daya murahan untuk mendapatkan suka?
Membersihkan lingkungan internet adalah tuntutan masyarakat yang sah. Masyarakat berharap tidak akan ada lagi iklan "kotor", tidak akan ada lagi situasi di mana pelanggan terjebak, dan karena kepercayaan, mereka membeli pil dan produk berkualitas rendah.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi, dapat dikatakan bahwa jejaring sosial tidak lagi bersifat virtual. Oleh karena itu, mengidentifikasi akun digital sangatlah penting. Dengan demikian, hal ini berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab setiap individu saat berpartisipasi di jejaring sosial, serta membatasi fenomena penipuan, berita palsu, dan berita negatif yang tersebar di jejaring sosial.
Dr. Luu Binh Nhuong: Populasi mencapai 100 juta orang - jangan lewatkan kesempatan emas untuk meningkatkan populasi Dr. Luu Binh Nhuong, Wakil Kepala Komite Aspirasi Rakyat Komite Tetap Majelis Nasional, mengatakan bahwa dengan populasi 100 juta orang, negara ini... |
Psikolog: Ketidaktahuan atau ketidakpedulian berkontribusi terhadap meningkatnya kekerasan di sekolah. Dr. Nguyen Thi Thu Hien, seorang psikolog klinis, percaya bahwa salah satu alasan mengapa kekerasan di sekolah terjadi adalah... |
Menggunakan jejaring sosial: Komunikator dan penerima informasi perlu melengkapi diri mereka dengan 'filter' informasi. Selama 10 tahun terakhir, jejaring sosial terus berkembang di Vietnam dengan beragam platform. Alat jejaring sosial... |
Pakar pendidikan: Cegah kekerasan di sekolah sejak dini dengan membantu anak mengendalikan perilakunya Anak-anak perlu dididik untuk mengendalikan emosi dan perilaku mereka alih-alih mencari cara untuk menangani dan menyelesaikan konsekuensi dari... |
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)