Ayah tertawa: "Asap jeraminya harum sekali, Nak. Baunya seperti nasi rumahan." Ibu ada di dapur, suaranya jernih: "Kalau wanginya harum, makanlah yang banyak, atau kamu akan menangis karena lapar besok saat pergi ke ladang." Seluruh keluarga tertawa terbahak-bahak. Tawa itu berkilauan bagai sinar matahari, membuat rumah malang itu terasa hangat.
Lalu suatu hari, tawa itu jatuh bagai mangkuk keramik yang jatuh ke lantai keramik. Sore itu, ketika Han pulang sekolah dengan tasnya, pintu terbuka lebar, ayahnya berlutut di tengah halaman, tangannya gemetar memeluk perempuan yang terbaring kaku seperti kayu: "Sayangku! Bangun!" Han bergegas maju, panggilan "Ibu!" tercekat di tenggorokannya. Bayangan atap tiba-tiba terbentang, menelan tangisan anak berusia sepuluh tahun itu.
Setelah pemakaman, ayah saya menjadi pria yang pendiam. Setiap sore sepulang kerja, ia memikul seikat beras di pundaknya, lebih besar dari tubuhnya, langkahnya mengibaskan debu di jalan. Han belajar menanak nasi, menyapu halaman, mencuci beras, dan menyalakan api. Tanpa tangan ibunya di dapur, api tampak redup seolah-olah kehabisan napas. Namun di rumah kecil di lereng bukit, ia masih bisa mendengar ayahnya membujuk putranya: "Belajarlah, Nak. Kita memang miskin, tapi jangan miskin dalam pendidikan."

ILUSTRASI: AI
Waktu berlalu, Han tumbuh dewasa, bagian belakang kemeja putihnya berlumuran keringat ayah dan anak perempuannya. Di siang yang panas, Han memarkir sepedanya di bawah pohon ciplukan di depan gerbang sekolah, membuka tasnya untuk mengambil nasi yang dibungkus daun pisang oleh ayahnya. Nasi itu dicelupkan ke dalam saus ikan, dengan beberapa helai acar kol, dan rasanya semanis nasi baru. Ada malam-malam ketika lampu minyak tanah bergoyang seperti sayap kupu-kupu, ayahnya tertidur, Han rajin menyelesaikan soal matematika, keduanya tercetak rapi di dinding seperti sepasang burung pipit yang meringkuk melindungi satu sama lain dari angin.
Setelah menyelesaikan ujian kelas dua belas, Han berpikir sudah selesai. Dari mana ia akan mendapatkan uang untuk melanjutkan kuliah? Ayah berkata, "Kamu bisa pergi bekerja," suaranya ringan seolah-olah ia acuh tak acuh. Namun kata-kata itu terus berdetak di dalam hatinya. Pemerintah desa memanggil namanya, para tetangga menambahkan dukungan mereka, dan surat pemberitahuan penerimaan ke Universitas Pedagogis pun dikirim pulang. Ayah memegang kertas ujian, matanya sekeruh matahari siang yang tiba-tiba berkilauan. Ia bahagia, tetapi khawatir seperti semanggi: "Kalau kamu mau, pergilah, aku masih punya dua tangan." Han memegang tangan ayahnya: "Kamu pergi, lalu kembali."
Di provinsi, Han belajar dengan baik dan menerima beasiswa. Gadis desa itu mengikat rambutnya tinggi-tinggi, bajunya dicuci bersih, matanya selalu cerah bagai air di kanal yang diterangi cahaya bulan. Banyak anak laki-laki memperhatikannya siang dan malam. Namun, orang yang selalu ada saat Han lelah, saat hujan tiba-tiba turun, saat listrik di kamar sewaan padam... adalah An. An tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di bawah beranda dan memanggil dengan lembut: "Keluar dan makanlah. Kamu lapar." Cinta bersemi bagai sepasang padi muda yang menghadapi angin. Keduanya berjanji untuk menikah sepulang sekolah.
Setelah lulus, Han meminta untuk kembali ke kampung halamannya untuk mengajar. Gaji guru baru memang tidak seberapa, tetapi para guru di sana tidak mengukurnya dengan uang, melainkan dengan kata-kata yang terpancar di mata murid-muridnya. Setiap sore, Han bersepeda melintasi tanggul merah, ao dai-nya berkibar-kibar seperti sayap bangau, hatinya riang membayangkan makan malam bersama ayahnya yang sudah menunggu.
Suatu malam, ayah menelepon Han kembali, suaranya ragu-ragu, jarang terdengar:
- Han… Kamu sudah dewasa sekarang, kamu punya pekerjaan, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir. Ini… Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Kita berdua di rumah. Kalau kamu nggak cerita, kamu mau cerita ke siapa?" Han tersenyum dan meletakkan teko di atas meja.
- Ayah... jatuh cinta pada Linh, putri Pak Nam di lingkungan bawah. Ayah sudah lama berencana membawanya pulang, tapi dia takut kamu sedang belajar... Karena sekarang kamu sudah mengajar, Ayah ingin mendengar pendapatmu.
Han tercengang:
- Linh? Dia beberapa tahun lebih tua darimu... lajang dan punya anak... apa kamu dan dia... cocok? Atau... kamu cuma kasihan sama dia?
Ayah menyipitkan matanya, cahaya berkilauan di sudut matanya:
—Jangan pikir begitu. Waktu kamu sekolah, Linh sering menjenguk dan membawakanku bubur kalau aku sakit. Dalam hidup, entah kita cocok atau tidak, kita harus baik hati. Aku sudah tua, punya teman yang menemaniku akan mengurangi rasa hampa ini. Kalau kamu sayang aku, sayang aku sepenuhnya, ya?
Han terdiam, mendengarkan kicauan serangga di luar pagar. Rasa tidak senang awalnya bercampur dengan rasa bersalah atas bertahun-tahun menjadi ayah tunggal yang membesarkan anak-anaknya. Ia berkata lembut:
- Aku tidak keberatan. Aku hanya berharap kamu memilih seseorang yang... lembut dan mau berbagi.
Pernikahan itu sederhana. Linh pulang ke rumah, membawa seikat bunga bugenvil merah cerah bak pipi yang malu-malu. Saat makan untuk tiga orang, suara dentingan sendok terdengar lirih. Linh sering tersenyum, memilih hal-hal kecil untuk dilakukan, mulai dari semangkuk saus ikan hingga menjemur kemeja. Han perlahan-lahan mulai tidak malu lagi. Melihat ayahnya bahagia, hatinya terasa ringan seperti daun.
Kemudian hari pernikahan Han tiba. Sang pengantin wanita mengenakan gaun putih, matanya berkaca-kaca saat ayahnya menyematkan jepit bunga buatannya sendiri di rambut Han. Ia memeluk putrinya, bahunya sedikit bergetar seolah tertiup angin:
- Setelah kau tiada, ingatlah untuk memperlakukan keluarga suamimu seperti keluargamu sendiri. Jangan biarkan siapa pun merindukan tawa. Saat kau jauh, ingatlah untuk makan dan tidur. Kebahagiaan... harus dibentuk dengan hati-hati oleh tanganmu sendiri. Ayah... tak bisa selalu berada di sisimu.
Han tersenyum, air mata hangat mengalir di pipinya. Ayah menyekanya dengan tangan kasarnya, aroma asap jerami masih tercium.
Suatu Senin pagi, Han sedang bersiap-siap untuk kelas ketika teleponnya berdering. Suara Linh di ujung sana terdengar seperti tertiup angin:
- Han… Ayah…
Ponselnya terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai. An berlari masuk dari luar dan memeluk istrinya yang sedang pingsan: "Aku di sini. Ayo pulang!"
Han berlutut dan memeluk ayahnya. Wajahnya tenang seolah-olah ia telah menyelesaikan semua yang harus dilakukannya. Han menangis:
- Ayah… Kenapa Ayah pergi begitu tiba-tiba? Dan aku…
An memegang bahu istrinya, suaranya lambat:
Tenanglah dan dengarkan aku. Ada sesuatu yang sudah lama kusembunyikan darimu.
An bercerita bahwa beberapa bulan yang lalu, Pak Tuan menemukan tumor di otaknya, dan dokter mengatakan ia tidak punya banyak waktu lagi. Di saat yang sama, ayah An menderita gagal ginjal parah dan dirawat di rumah sakit yang sama. Kedua pria tua itu, yang akan segera menjadi mertua, secara kebetulan bertemu saat sakit. Pak Tuan mendengar cerita itu dan beberapa hari kemudian berkata kepada An: "Biarkan aku menyelamatkannya. Aku tidak punya banyak waktu lagi untuk hidup! Berikan aku sebagian tubuhku... agar putriku bisa tersenyum kembali."
An berkata sambil mengepalkan tangannya:
Aku tak berani menerimanya. Tapi dokter bilang masih mungkin, ayahmu begitu teguh. Dia bilang jangan beri tahu. Dia ingin kau sesegar bunga padi saat menikah nanti. Dia mengirimmu kepadaku... Kumohon cintailah aku seperti dia mencintaiku. Maafkan aku, karena menepati janjiku pada ayah dan membuatmu begitu menderita.
Han merasa seperti ada luapan air yang naik di dadanya, menghantam jantungnya hingga membuatnya sesak napas. Hal-hal aneh yang terjadi di hari pernikahan itu—mata ayahnya yang menatapnya lebih lama dari biasanya, instruksinya lebih lama dari biasanya—kini menjadi kunci yang membuka pintu. Ia menundukkan kepala, terisak, merasa menyesal sekaligus bersyukur, hingga mati rasa.
Dia menoleh ke Linh:
- Bibi… Apa Bibi tahu tentang Ayah? Kenapa… Bibi menikah dengan Ayah, padahal Ayah…
Linh menarik tangan Han, tangannya hangat seperti secangkir teh hijau yang baru dituang:
Aku tahu. Tapi aku menikah karena cinta, karena kewajiban, bukan karena takut menderita. Dulu... aku pernah berbuat salah. Orang-orang pergi saat tahu aku hamil. Aku pernah pergi ke tepi sungai, berpikir untuk bunuh diri. Malam itu, tak ada bulan, airnya sehitam tinta. Ayahmu lewat, melihat bajuku berkibar di tepi sungai, ia bergegas turun, menarikku, dan membawaku ke rumah sakit. Ia mengucapkan kalimat yang akan selalu kuingat: "Anak itu tidak bersalah". Lalu ia meminta untuk menjadi nama ayahnya... agar nanti saat anak itu sekolah, ia tak merasa bersalah. Aku bersyukur. Tinggal bersamanya, aku merasa aman. Aku tahu ia sangat mencintaimu. Aku di sini untuk menjagamu dan keluarga kita.
Kisah Linh bagaikan lilin yang berkedip-kedip, bergoyang lalu berdiri kokoh. Han memeluk bibinya, merasa bersalah karena pikiran-pikiran lamanya larut bagai lumpur dalam banjir. Di ruang tamu, An diam-diam menata ulang altar dan membawakan secangkir air baru. Bayangan ketiga orang itu berdekatan, bagaikan tiga cabang pohon yang sama.
Upacara pemakamannya sederhana. Orang-orang dari lingkungan atas dan bawah datang untuk menyalakan dupa. Seorang lelaki tua berdiri di halaman, menatap angin, berbicara setengah kepada yang hidup, setengah kepada yang mati: "Dia menjalani kehidupan yang layak. Dia telah pergi sekarang... dengan tenang."
Han memegang dupa dan berdiri di samping potret itu. Foto itu diambil tergesa-gesa oleh ayahnya di hari kelulusannya, mengenakan kemeja putih, rambut beruban, senyum miring, dan sudut matanya dipenuhi jalan tanah merah. Asap dupa bercampur dengan aroma jerami kering dari kenangannya, tiba-tiba aroma aneh menyebar ke seluruh rumah. Han teringat perkataan ayahnya semasa kecil: "Asap jerami itu seperti nasi rumahan." Kini, asap jerami itu seperti aroma cinta manusia.
Di hari pemakaman ayahku, matahari tak terlalu terik. Awan tipis, angin bertiup lembut, seolah takut mengganggu tidur lelaki lembut itu. Sekelompok orang berjalan dengan kaki berdebu, lantunan merdu terdengar, suara anak-anak bermain petak umpet di pohon kelapa masih menggema. Di suatu tempat, seekor sapi mengembik panjang, dada terasa nyeri. Han menaruh dupa di makam, berbisik:
- Ayah, aku akan menjalani hidup yang baik. Aku akan menjaga dapur tetap hangat dan terus tersenyum seperti yang Ayah katakan.
Linh berdiri di sampingnya, tangannya di bahu Han. An mundur sedikit, membiarkan kedua perempuan itu bersandar, seperti dua tepian kanal yang saling merangkul air.
Waktu berlalu. Pagi harinya, Han pergi ke kelas, suara murid-murid membacakan pelajaran menggema bak burung. Sore harinya, ia mampir ke rumah dan memasak ikan kerapu panggang kesukaan ayahnya. Di altar, pembakar dupa selalu berwarna merah karena bara api merah. Sesekali, Linh menggendong anak itu ke kios bugenvil dan mengajarinya memanggilnya "Kakak". Anak itu berkicau, "Kakak". Panggilan itu bagaikan kupu-kupu yang hinggap di bahu Han, membuat hatinya terasa ringan.
Suatu ketika, rumah sakit di kota mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada keluarga tersebut, kata-katanya sederhana namun hangat: "Berkat bagian tubuh Tuan Tuan, seorang pria lain dapat hidup, sebuah keluarga masih memiliki pilar." Han memegang surat itu, merasakan tangan ayahnya seolah-olah sedang membelai rambutnya. Ia membawa surat itu ke altar, dan berdoa dengan lembut:
Aku mengerti, Ayah. Memberi bukan berarti kehilangan. Memberi itu berarti menyimpan—menyimpan bagian terbaik dirimu dalam diri orang lain.
Malam itu, bulan muncul di balik pagar bambu, seterang secangkir susu di tengah halaman. Han menarik kursi bambu ayahnya ke beranda dan duduk mendengarkan suara kodok-kodok di ladang. An membawakan dua cangkir teh hangat. Linh mematikan lampu rumah, meninggalkan bayangan ketiga orang itu yang terhampar di tanah. Angin bertiup dari tepi sungai, membawa aroma jerami dari sawah yang baru dipanen. Asap dupa di altar menggulung tipis seperti sinar matahari yang ditaruh di pundak mereka, meskipun malam telah tiba.
Han menatap langit dan tersenyum. Di suatu tempat, Ayah pasti juga tersenyum. Dan aroma asap jerami—aroma masakan rumahan, aroma bahu—akan selamanya terpatri di rumah kecil itu, dalam kebaikan yang diwariskan, dalam hati yang saling mencintai seperti Ayah.

Source: https://thanhnien.vn/vet-nang-tren-bo-vai-cha-truyen-ngan-du-thi-cua-duong-thi-my-nhan-18525101512380187.htm
Komentar (0)