Dengan kegigihan lebih dari 10 tahun, dia tidak hanya membangun merek Truong Foods di kota Thanh Son ( Phu Tho ), tetapi juga membuat banyak orang menangis ketika dia menemukan cita rasa kenangan melalui setiap irisan daging yang dipenuhi dengan kecintaan terhadap pedesaan.
Sejak usia 18 tahun, Ibu Hoa telah membuat kotak-kotak daging asam pertama dengan tangan.
Air mata jatuh karena panggilan yang jauh
Banyak orang bertanya mengapa saya memilih untuk memulai dengan hidangan sederhana seperti daging asam – sebuah produk yang tidak baru, tidak asing, dan memiliki banyak prasangka. Namun, saya berpikir sederhana: Ini adalah hidangan dari kampung halaman saya, sesuatu yang saya tahu cara membuatnya, dan satu-satunya hal yang bisa saya mulai ketika saya tidak punya apa-apa,” kenang Ibu Thu Hoa dengan lembut.
Tahun itu usianya baru 18 tahun, usia ketika orang-orang masih melamun di ruang kuliah atau bersenang-senang, tetapi dia sudah sibuk berbelanja, membuat kaleng daging asam pertama dengan tangan.
Kadang-kadang, ia berjualan di depan rumahnya, berharap orang-orang yang lewat akan berhenti. Kadang-kadang, ia membawanya ke pasar dan menawarkannya kepada setiap orang. Saat itu, daging asam masih asing bagi banyak orang. Namun, sedikit demi sedikit, orang-orang datang kembali untuk membelinya, beberapa membawanya sebagai oleh-oleh, dan ia merasakan sedikit kegembiraan di hatinya. "Saya berpikir: Mengapa tidak mengembangkan hidangan ini? Kita harus melakukannya dengan benar, agar lebih banyak orang mengenalnya agar hidangan tradisional leluhur kita tidak hilang."
Ia berkata bahwa setiap perjalanan memiliki momen-momen di mana ia ingin berhenti, yaitu saat-saat ketika ia membuat daging asam dengan tangan, lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Produk-produk buatannya laku, tetapi tidak ada yang membelinya. Ada malam-malam di mana ia hanya bisa duduk dan menangis sendirian. Namun suatu sore, ia menerima telepon dari seorang pelanggan di Kota Ho Chi Minh yang tak akan pernah ia lupakan.
Katanya: Sudah lama sekali aku tak merasakan rasa daging asam buatan ibuku. Sebelum beliau meninggal, beliau selalu membuatkan hidangan ini untukku setiap kali pulang kampung. Terima kasih telah membuatku merasa seperti bertemu ibuku lagi...
Setelah panggilan itu, ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia memegang ponsel di tangannya, tetapi jantungnya serasa tercekat di tenggorokan. Ia duduk terpaku di depan kiosnya, memandangi setiap kaleng daging asam seolah-olah kaleng itu baru saja menjadi jiwa. Itu bukan lagi produk yang ia jual untuk mencari nafkah, melainkan jembatan tak kasat mata yang menghubungkan seorang anak yang jauh dari rumah dengan mendiang ibunya.
Gadis muda itu menangis ketika hari pertama usahanya tidak terjual.
"Saya teringat ibunya, perempuan yang mungkin juga diam-diam masuk ke dapur, dengan cermat membumbui dan merendam setiap potong daging sebagai cara untuk mengirimkan cinta. Dan hari ini, saya—seorang asing—tanpa sengaja menjadi orang yang meneruskan cinta itu. Saya menangis bukan karena kesombongan, tetapi karena merasa kecil di hadapan apa yang bisa dihasilkan oleh masakan kampung halaman saya. Sedikit rasa asam di ujung lidah, sedikit kekayaan kenangan, tetapi itu bisa membuat seseorang menangis, bisa membuat pria dewasa menangis di tengah kota," kenang Ibu Hoa. Itulah momen yang membuatnya lebih percaya diri dari sebelumnya.
Perjalanan dari dapur ke halaman buku
Awalnya, banyak orang meragukan dan menertawakannya, bahkan kerabatnya menyarankannya untuk "mencari pekerjaan tetap". Namun, ia tidak membantah. Ia memilih untuk merespons dengan tindakan.
Proses produksi tertutup
Menjadikannya lebih lezat, lebih bersih, dan lebih rapi. Ia mengedit sendiri setiap kotak, setiap prangko, setiap huruf agar semakin sempurna. Umpan balik negatif dari pelanggan, mereka yang mengkritik daging mentah, dan mereka yang meragukan kebersihan juga menjadi motivasinya untuk memperbaiki proses. Daging asam tradisional dimasak hingga 70%. Kemasannya didesain ulang. Informasi kebersihan dan keamanan pangan dipublikasikan dengan jelas. Perlahan demi perlahan, pelanggan kembali. Produknya pun dipercaya. Merek Truong Foods pun lahir dan semakin dikenal luas.
Ibu Thu Hoa tidak pernah kuliah di sekolah bisnis. Ia tidak punya strategi formal, tidak punya pendamping. Namun, ia memiliki satu hal yang tak ternilai harganya: Kegigihan dan keyakinan: "Ada kalanya saya merasa akan runtuh. Namun kemudian saya teringat ibu saya, yang tidak banyak bicara, tetapi selalu berdiri di belakang saya untuk mendukung saya. Saya teringat putri saya, saya ingin memberinya masa depan yang lebih baik. Cinta untuk keluargalah yang menahan saya, yang membuat saya terus maju."
Ibu Hoa percaya bahwa keberhasilan ide startupnya berasal dari 3 faktor: Produk, metode penjualan, dan komunikasi.
Dari seorang gadis muda tanpa apa pun di tangannya, Ibu Thu Hoa kini menjadi Direktur Truong Foods, dan penulis buku tentang perjalanan kewirausahaannya sendiri. "Hal paling berharga yang saya sadari bukanlah pendapatan atau skala, tetapi bagaimana saya telah berkembang. Saya bersyukur atas setiap air mata, setiap kritik, setiap hari ketika saya tidak bisa berjualan, karena semua itu telah membuat saya lebih kuat hari ini."
Produk-produk Ibu Hoa dikonsumsi dalam jumlah besar.
Ia menulis buku bukan hanya untuk menceritakan hasil-hasilnya saat ini, tetapi juga untuk berbagi kesulitan, kesalahan, dan pelajaran yang dipetiknya dengan jujur. Ia ingin menyampaikan pesan: Kita bisa memulai dari hal terkecil dan paling biasa, asalkan kita melakukannya dengan tulus dan pantang menyerah.
Ketika ditanya apa yang akan ia katakan kepada anak muda yang kebingungan dan menyerah pada impian mereka untuk memulai bisnis karena takut gagal, ia hanya tersenyum dan menjawab dengan kalimat sederhana: "Lakukan saja, jika kamu benar, kamu akan mendapatkan hasilnya, jika kamu salah, kamu akan belajar." Karena memulai bisnis tidak pernah semudah itu. Namun, jika kamu berani memulai dan cukup berani untuk melangkah, bunga-bunga akan mekar, bukan di bawah kakimu, melainkan di dalam hatimu sendiri.
Sumber: https://phunuvietnam.vn/bat-khoc-vi-mon-an-dan-da-cham-den-trai-tim-nguoi-xa-que-20250509093129365.htm
Komentar (0)