Efek “Swiftonomics”
Indonesia ingin meniru keberhasilan "Swiftonomics" di negara tetangga Singapura dengan investasi besar untuk meningkatkan pariwisata , tetapi para ahli industri pariwisata masih mempertimbangkan apakah ini merupakan strategi yang tepat untuk negara kepulauan tersebut, menurut SCMP.
Wisatawan di Bali, Indonesia. Ekonom Gancar Premananto mengatakan Indonesia harus menggabungkan keunggulan wisata alam dengan cara memasarkan dan mempromosikan acara internasional di dalam negeri. Foto: EPA-EFE
Indonesia berencana untuk meluncurkan insentif untuk menyelenggarakan lebih banyak acara musik , olahraga, dan budaya besar guna menarik wisatawan internasional agar menghabiskan lebih banyak uang dan tinggal lebih lama di negara ini.
Bintang pop Amerika Taylor Swift akan tampil di Stadion Nasional Singapura dari 2-9 Maret. Acara ini berpotensi menghasilkan pendapatan pariwisata ratusan juta dolar bagi negara ini karena lebih dari 300.000 penggemar diperkirakan akan hadir.
"Menjadi tuan rumah bagi bintang-bintang besar seperti Taylor Swift mungkin terdengar mengesankan dan bergengsi, tetapi pada akhirnya, itu bukanlah hal yang menopang industri yang membutuhkan rangkaian acara yang stabil, terutama untuk negara seukuran Indonesia," ujar Teguh Wicaksono, seorang pengusaha musik dan salah satu pendiri proyek arsip musik kontemporer digital Indonesia "Sounds From The Corner", kepada This Week in Asia.
"Swiftonomics" adalah istilah yang pertama kali disebutkan pada Juli 2023 ketika Federal Reserve AS (FED) merilis Beige Book. Konser Taylor Swift disebut-sebut tak hanya sebagai acara musik, tetapi juga menjadi penggerak utama pengembangan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi lokal.
Menteri Pariwisata Indonesia Sandiaga Uno juga menegaskan pada 18 Februari bahwa kita membutuhkan apa yang telah dilakukan Singapura dan Australia, yaitu mendatangkan Taylor Swift. Kita membutuhkan Swiftonomics di Indonesia.
Untuk tujuan ini, Kementerian Pariwisata Indonesia baru-baru ini mendirikan Dana Pariwisata Indonesia, dengan dana awal sebesar 2 triliun rupiah ($128 juta). Dana ini akan membantu negara ini menyelenggarakan "acara musik, olahraga, dan budaya yang dianggap berpotensi menciptakan efek berganda bagi industri pariwisata Indonesia."
Menjelang acara musik besar tersebut, Singapura telah setuju untuk membayar Taylor Swift antara $2 juta dan $3 juta per pertunjukan agar dapat tampil secara eksklusif di kota tersebut. Taylor Swift akan menggelar enam pertunjukan dengan tiket terjual habis di Stadion Nasional Singapura yang berkapasitas 55.000 tempat duduk. Total sponsor Singapura untuk konser enam hari tersebut berkisar antara $12 juta dan $18 juta.
Bapak Gancar Premananto, ekonom Universitas Airlangga, mengatakan kontrak eksklusif tersebut menciptakan efek kelangkaan yang memaksa penggemar dari seluruh Asia Tenggara untuk bepergian ke Singapura guna menyaksikan idola mereka tampil langsung, sehingga memberikan manfaat ekonomi yang maksimal bagi Singapura dalam prosesnya.
“Melihat tren ini, keinginan untuk menciptakan kembali Swiftonomics di industri pariwisata Indonesia dapat dipahami, meskipun bukan tanpa tantangan. Indonesia memiliki keunggulan yang tak tertandingi dalam hal keindahan alam dan beragam destinasi wisata. Oleh karena itu, kekuatan ini perlu dipadukan dengan pemasaran dan promosi musik atau kegiatan budaya internasional di dalam negeri untuk memaksimalkan dampak ekonomi serta pengembangan pariwisata,” ujar Bapak Premananto.
Bapak Teguh juga menegaskan, Indonesia telah menjadi terkenal di kancah musik dunia karena melahirkan artis-artis kelas dunia.
"Menjelang dimulainya konser Taylor Swift di Singapura, festival Joyland yang berlangsung di Nusa Dua (Bali) akan menampilkan penyanyi Inggris James Blake sebagai penampil utama. Selain Blake, festival ini juga akan menampilkan bintang-bintang internasional seperti Kings of Convenience, Todd Terje, Gilles Peterson, Shintaro Sakamoto, The Walters, Whitney, Vansire, dan Pearl & Oysters," ujar Bapak Teguh.
Menarik talenta nasional
Sebelumnya, pada 15 November, band pop-rock Inggris Coldplay tampil di hadapan 80.000 penonton di Stadion GBK, Jakarta. Konser yang sangat dinantikan ini juga meraih kesuksesan tersendiri. Namun, skandal penipuan tiket besar-besaran telah sedikit memengaruhi reputasi penyelenggara.
Polisi Jakarta mengatakan 2.500 penggemar membeli tiket Coldplay palsu dengan harga diskon dari pasangan yang diidentifikasi sebagai Ricardo dan Angel, yang kemudian ditangkap karena penipuan.
Beberapa penggemar yang teralihkan mencoba menyerbu tempat konser setelah menyadari tiket mereka tidak sah, kata saksi mata, beberapa berhasil masuk.
Penyelenggara acara yang berkantor pusat di Surabaya, Gary Lee, mengatakan tidak ada keraguan bahwa Indonesia memiliki pasar yang kuat untuk konser-konser besar, tetapi logistik merupakan kendala utama untuk menarik artis-artis yang terkenal eksklusif di sini.
Melihat permasalahan yang ada saat ini, Bapak Teguh berpendapat bahwa Indonesia sebaiknya menggunakan dana pariwisata untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik bagi seniman dan musisi pendatang baru, daripada mengejar proyek-proyek muluk hanya demi alasan gengsi.
“Saya telah melihat seniman-seniman baru menemukan jalan mereka ke luar negeri untuk tampil tanpa bantuan atau fasilitas apa pun dari pemerintah kita,” kata Bapak Teguh.
Bapak Teguh menegaskan, jika Indonesia menginginkan ekonomi kreatif yang kuat, pembinaan talenta dalam negeri akan menjadi cara terbaik dan berkelanjutan.
“Seniman-seniman baru kita akan menjaga kancah seni di negara ini tetap hidup lebih lama, dan membawa manfaat ekonomi yang lebih berkelanjutan di berbagai sektor,” tambah Teguh.
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)