Tiongkok mulai membangun infrastruktur di Afrika beberapa dekade sebelum Inisiatif Sabuk dan Jalannya memberikan dampak yang besar di seluruh dunia .
Itulah pendapat Tn. Wenfang Tang* dalam sebuah artikel berjudul Mengapa Tiongkok berhasil di Afrika sementara AS gagal yang diterbitkan di SCMP pada tanggal 15 September.
| Artikel berjudul "Mengapa Tiongkok Berhasil di Afrika, Sementara AS Gagal" diterbitkan di SCMP pada 15 September. (Tangkapan Layar) |
Menanggapi kebutuhan pembangunan yang mendesak
Menurut Bapak Tang, Beijing baru saja berhasil menyelenggarakan Forum KTT Kerja Sama Tiongkok-Afrika dengan partisipasi para pemimpin dari 53 negara Afrika. Ini sungguh merupakan acara diplomatik yang megah, yang membuat pemerintah Barat "merasa tidak nyaman".
Banyak yang melihat peristiwa itu sebagai kemenangan China dalam strateginya untuk meningkatkan pengaruhnya di panggung politik global.
| Upacara pembukaan Forum KTT Kerja Sama Tiongkok-Afrika pada 5 September. (Sumber: FOCAC) |
Kini, Afrika telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan luar negeri Tiongkok, sekaligus jembatan geopolitik penting dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan. Suara Afrika, yang jumlahnya cukup besar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan banyak organisasi internasional lainnya, bersedia mendukung sikap Beijing demi memperkuat posisi dan kepentingan raksasa Asia tersebut di kancah internasional.
Bapak Tang mengatakan bahwa minat Beijing terhadap Afrika bukanlah hal baru. Pada tahun 1960-an, Perdana Menteri Zhou Enlai menghabiskan lebih dari sebulan di Afrika, secara terbuka mendukung gerakan kemerdekaan nasional anti-imperialis dan menyebut rakyat benua itu sebagai "kawan" dan "saudara".
Langkah itu dilakukan saat Tiongkok diisolasi oleh masyarakat internasional karena Barat mendominasi tatanan dunia dan hubungan Tiongkok-Soviet memburuk.
Tiongkok telah mendukung pembangunan infrastruktur di Afrika, bahkan ketika PDB per kapitanya lebih rendah daripada beberapa negara Afrika lainnya. Banyak orang Afrika masih mengingat dan bersyukur atas proyek-proyek ini, yang banyak di antaranya masih digunakan hingga saat ini.
| Pemakaman Gongo la Mboto di Dar es Salaam (Tanzania) memberikan penghormatan kepada para insinyur, teknisi, dan pekerja Tiongkok yang gugur saat membangun jalur kereta api Tanzania-Zambia (Sumber: Xinhua) |
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, di bawah kepemimpinan Ketua Deng Xiaoping, yang memimpin ekonomi Tiongkok menuju pertumbuhan yang luar biasa, negara tersebut mengalami periode "keakraban" dengan Barat. Namun, ketika menyadari bahwa Beijing tampaknya hanya tertarik pada teknologi canggih dan ekonomi pasar, alih-alih sistem politik dan ideologis, Barat melakukan segala cara untuk menghalangi kemajuan "raksasa Asia" tersebut.
Itulah sebabnya, pada tahun 2000, Tiongkok mulai beralih ke Afrika, menjalin kemitraan bisnis berdasarkan kepentingan ekonomi bersama tanpa mengganggu kedaulatan masing-masing.
Bapak Tang menekankan bahwa keberhasilan Tiongkok di Afrika disebabkan oleh kemampuan Beijing untuk memenuhi kebutuhan mendesak benua itu di bidang infrastruktur, pembangunan berkelanjutan, ekonomi digital, dan pemerintahan lokal.
Meskipun Tiongkok saat ini tertinggal dari AS dalam pengembangan perangkat keras militer dan teknologi kecerdasan buatan, Tiongkok merupakan pemimpin dunia di berbagai bidang seperti infrastruktur, energi bersih, kendaraan listrik, dan ekonomi digital. Pengalaman tata kelola Tiongkok dapat membantu negara-negara Afrika dalam pelayanan publik dan pemberantasan korupsi.
Keterlibatan budaya dan politik
Artikel tersebut menegaskan bahwa kegagalan kebijakan luar negeri AS juga “membuka jalan” bagi kehadiran Tiongkok di Afrika.
Selama kunjungannya ke Afrika, mantan Presiden AS Barack Obama menghabiskan banyak waktu dan upaya untuk meyakinkan orang agar menerima hak-hak gay, tetapi tindakan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi negara-negara tersebut.
AS sebelumnya telah menjadi tuan rumah dua pertemuan puncak di Afrika pada tahun 2014 dan 2022, tetapi tujuan utamanya hanya untuk melawan pengaruh China di benua itu, sementara juga mempromosikan nilai-nilai dan keyakinan politik AS.
Sebaliknya, pendekatan Tiongkok terhadap Afrika sebagai kawan dan mitra bisnis telah membuahkan hasil yang mengesankan.
Pada tahun 2022, volume perdagangan Tiongkok-Afrika mencapai $282 miliar, hampir lima kali lipat volume perdagangan Amerika Serikat. Proyek infrastruktur yang didanai Tiongkok di Afrika tersebar luas. Negara ini juga diuntungkan oleh akses ke sumber daya alam yang melimpah dan pasar yang luas untuk produk-produknya di Afrika, dengan populasi benua tersebut yang hampir setara dengan Tiongkok.
| Seorang siswa Uganda belajar bahasa Mandarin di sekolah. (Sumber: Shutterstock) |
Menurut Tn. Tang, kekuatan lunak Tiongkok juga ditunjukkan dengan jelas di sini.
Berbeda dengan penutupan di pasar AS, Institut Konfusius justru berkembang pesat di Afrika. Institut Konfusius di Universitas Dodoma (Tanzania) menawarkan program Sarjana Seni Tiongkok kepada lebih dari 200 mahasiswa. Keberhasilan Institut Konfusius di Afrika juga mencerminkan "jejak" budaya Tiongkok di benua tersebut.
Orang Afrika juga menghargai pengalaman tata kelola Tiongkok. Misalnya, Sekolah Kepemimpinan Mwalimu Julius Nyerere (Tanzania), yang meniru Sekolah Partai Sentral Partai Komunis Tiongkok, melatih para pemimpin muda yang menjanjikan dari partai-partai berkuasa di Tanzania, Afrika Selatan, Angola, Namibia, Zimbabwe, dan Mozambik.
| Kehadiran Tiongkok yang semakin besar di Afrika tidak perlu diragukan lagi. (Sumber: Shutterstock) |
Namun, keberhasilan Tiongkok di Afrika menghadapi beberapa kendala. Selain masalah "jebakan utang", tantangan juga datang dari dalam banyak negara. Beberapa tampak acuh tak acuh, bahkan meremehkan KTT Tiongkok-Afrika dan peran benua hitam di negara berpenduduk satu miliar jiwa ini.
Bapak Tang menunjukkan bahwa sebagian rakyat Tiongkok khawatir akan risiko ekonomi dan politik dalam investasi negaranya di Afrika. Namun, strategi Tiongkok di Afrika berangkat dari perspektif historis, yang mengutamakan kepentingan bersama dan saling menghormati.
Tiongkok telah membangun hubungan yang mendalam dengan Afrika, tidak hanya berdasarkan kepentingan ekonomi tetapi juga fondasi sejarah dan budaya. Melalui proyek infrastruktur, bantuan pembangunan, dan rasa saling menghormati, Tiongkok telah mencapai hasil positif dan menjadi mitra penting Afrika.
Meskipun menghadapi banyak tantangan baik internal maupun eksternal, berkat strategi jangka panjang yang didasarkan pada kerja sama dan rasa hormat, Tiongkok tidak hanya menegaskan posisinya sebagai kekuatan ekonomi tetapi juga sebagai mitra yang dapat diandalkan dalam pembangunan Afrika.
* Bapak Wenfang Tang saat ini menjabat sebagai Profesor dan Dekan Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial di Universitas Hong Kong, Kampus Shenzhen. Minat penelitiannya meliputi Budaya Politik, Politik Massa, dan Survei Opini Publik.
[iklan_2]
Sumber: https://baoquocte.vn/khien-my-ngay-cang-lu-mo-trung-quoc-da-de-lai-dau-an-tai-chau-phi-nhu-the-nao-286531.html






Komentar (0)