| Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyapa para mahasiswa Akademi Diplomatik . (Sumber: VNA) |
Pada tanggal 2 November, dalam kunjungan resminya ke Vietnam (1-2 November), Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengunjungi Akademi Diplomatik dan menyampaikan pidato pada diskusi meja bundar tentang “Hukum dan Ketertiban Internasional di Laut” yang diselenggarakan oleh Akademi Diplomatik bekerja sama dengan Akademi Clingendael (Belanda).
Perdana Menteri Mark Rutte juga menyerahkan sertifikat kepada mahasiswa kursus Hukum Laut yang diselenggarakan bersama oleh Akademi Diplomatik Vietnam dan Akademi Clingendael, Belanda.
Perdana Menteri Mark Rutte menekankan pentingnya supremasi hukum, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, dan menegaskan bahwa Belanda, sebagai “ibu kota hukum internasional”, selalu mematuhi dan mendukung hukum internasional.
Perdana Menteri Mark Rutte sangat menghargai prospek kerja sama Vietnam-Belanda, menegaskan bahwa ia akan terus mempertahankan kerja sama yang ada dan memperluas potensi kerja sama di bidang lain.
Mengucapkan selamat kepada para pelajar Vietnam atas keberhasilan mereka menyelesaikan Kursus Hukum Laut Clingendael kedua, Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan kursus tersebut menunjukkan upaya kerja sama Vietnam-Belanda untuk mengatasi perbedaan dan menunjukkan komitmen kedua negara terhadap tatanan hukum internasional.
| Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berbicara di Meja Bundar tentang “Hukum dan Ketertiban Internasional di Laut”. (Sumber: VNA) |
Kursus Hukum Laut Clingendael kedua, yang diselenggarakan bersama oleh Akademi Diplomatik dan Akademi Clingendael, berlangsung dari 30 Oktober hingga 2 November di Akademi Diplomatik. Kursus ini merupakan bagian dari program kerja sama pengembangan kapasitas diplomatik "Train the Trainer" antara kedua Akademi.
Kursus ini merupakan bukti kerja sama jangka panjang antara Belanda dan Vietnam secara umum, dan antara Clingendael Academy dan Akademi Diplomatik secara khusus.
Bapak Adriaan Zondag, Perwakilan Clingendael Academy, mengomentari bahwa kursus pengembangan kapasitas Clingendael Academy untuk negara-negara ASEAN menunjukkan komitmen kuat Belanda untuk meningkatkan pemahaman hukum internasional di kawasan tersebut.
Dalam presentasinya di Lokakarya tersebut, Hakim Horinouchi Hidehisa dari Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS) menegaskan bahwa UNCLOS adalah "Konstitusi Kelautan", oleh karena itu, permasalahan hukum maritim harus berkembang sesuai dengan UNCLOS.
Bapak Horinouchi juga menyebutkan tantangan baru dan tak terduga dalam penyusunan dan adopsi UNCLOS, terutama isu-isu terkait kemajuan teknologi dan perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut dan konservasi keanekaragaman hayati laut di wilayah di luar yurisdiksi nasional (BBNJ). Hakim sangat mengapresiasi pentingnya "Perjanjian Laut Lepas" bagi BBNJ dan kemampuan diplomasi multilateral dalam menghadapi tantangan-tantangan sulit.
Terkait prospek ke depan, Hakim berpendapat bahwa cakupan Hukum Laut perlu diperluas ke “cakrawala baru” seperti: teknologi baru (kendaraan tanpa awak), pemanfaatan wilayah dasar laut yang belum dieksplorasi secara rasional dan efektif, sekaligus perlu terus ditingkatkan untuk mengatasi permasalahan di wilayah-wilayah tradisional lainnya.
| Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berbicara pada diskusi meja bundar tentang “Hukum dan ketertiban internasional di laut”. (Sumber: VNA) |
Profesor Alfred HA Soons, Universitas Utrecht (Belanda), juga turut hadir dan berbicara dalam lokakarya tersebut. Profesor Alfred menekankan pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa dalam UNCLOS, serta perlunya negara-negara untuk terus mengembangkan dan memperjelas ketentuan-ketentuan UNCLOS dalam konteks pembangunan teknologi, ekonomi, dan sosial. Profesor tersebut menegaskan bahwa hukum internasional berlaku sama bagi negara-negara, terlepas dari ukurannya, dan dengan demikian berkontribusi pada tercapainya tatanan yang adil dan setara di laut.
Profesor Alfred juga mengatakan bahwa UNCLOS saat ini menghadapi kebutuhan untuk menambah ketentuan atau mengubah interpretasi beberapa ketentuan yang ada karena situasi dunia yang tidak stabil. Namun, hukum internasional memiliki cara yang lebih fleksibel untuk berubah tanpa perlu membuat perjanjian baru.
Dr. Seline Trevisanut, Universitas Utrecht (Belanda), dalam presentasinya kemudian membahas aspek perubahan iklim dan dampaknya terhadap hukum dan ketertiban internasional di laut. Secara khusus, Dr. Seline menyebutkan isu-isu antara iklim dan pemanfaatan laut, iklim dan hak asasi manusia, serta migrasi iklim. Dr. Seline menegaskan bahwa UNCLOS dan opini ITLOS merupakan "kunci" untuk mengelola dan memahami hubungan antara iklim dan laut ini dengan lebih baik.
Selanjutnya, Dr. Nguyen Thi Lan Anh, Direktur East Sea Institute, Diplomatic Academy, menekankan pentingnya USCLOS, mekanisme penyelesaian sengketa dalam UNCLOS, dan menegaskan bahwa UNCLOS merupakan satu-satunya dasar hukum bagi hak dan klaim maritim. Dalam konteks berbagai perubahan di dunia, UNCLOS tetap menjadi "dokumen hidup" yang dapat terus disempurnakan dan merupakan kerangka hukum yang komprehensif untuk mengelola kegiatan di laut.
Diskusi meja bundar bertujuan untuk menyoroti dan menyediakan forum untuk diskusi tentang peran hukum maritim internasional dan tatanan internasional berbasis aturan untuk perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.
Dr. Pham Lan Dung, Penjabat Direktur Akademi Diplomatik, menegaskan pentingnya melindungi ketertiban maritim yang ditetapkan sejak UNCLOS dan mempromosikan semangat menghormati hukum internasional.
Dr. Pham Lan Dung sangat menghargai langkah-langkah baru hukum internasional untuk menyelesaikan tantangan dan perselisihan yang muncul di laut dengan cara damai, seraya juga mengatakan bahwa masih banyak kasus pengabaian hukum maritim, yang mengancam keamanan maritim dan meningkatkan risiko konflik seperti situasi terkini di Laut Timur.
Oleh karena itu, Lokakarya ini tidak hanya menegaskan kembali pentingnya hukum internasional dan ketertiban maritim bagi perdamaian dan stabilitas di Laut Timur, tetapi juga memberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapat para pakar hukum maritim terkemuka dunia tentang bagaimana hukum internasional merespons tantangan maritim terkini. Dr. Pham Lan Dung juga mengucapkan selamat atas peringatan 50 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Vietnam dan Belanda dan berharap hubungan kedua negara akan semakin berkembang di masa mendatang.
| Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengunjungi Akademi Diplomatik. (Sumber: VNA) |
Lokakarya ini mendapat kehormatan untuk dihadiri oleh Wakil Menteri Luar Negeri Le Thi Thu Hang, Duta Besar Vietnam untuk Belanda Ngo Huong Nam, Duta Besar Malaysia untuk Vietnam Dato' Tan Yang Thai, Duta Besar India untuk Vietnam Sandeep Arya dan mantan Duta Besar Vietnam untuk Belanda Huynh Minh Chinh.
Selain itu, hadir pula lebih dari 140 tamu undangan dari berbagai unit di lingkungan Kementerian Luar Negeri, sejumlah kementerian, departemen, cabang, dan lembaga penelitian terkait, perwakilan sejumlah Korps Diplomatik, sejumlah pakar dari dalam dan luar negeri, dosen dan mahasiswa mata kuliah Hukum Laut yang diselenggarakan oleh Akademi Diplomatik bekerja sama dengan Akademi Clingendael, serta lebih dari 200 mahasiswa Akademi Diplomatik yang turut serta dalam penyambutan Perdana Menteri Belanda.
Di sela-sela Konferensi, Akademi Diplomatik menyelenggarakan pameran koleksi peta tentang Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara yang berasal dari abad ke-16 hingga ke-17, yang disumbangkan oleh Kedutaan Besar Belanda.
[iklan_2]
Sumber






Komentar (0)