Menguasai teknologi untuk siswa terkasih
Sekolah Menengah Atas Asrama Etnis Dong Van merupakan tempat yang menerima siswa dari desa-desa terpencil di perbatasan untuk menuntut ilmu. Bagi sebagian besar siswa yang bersekolah di sana, inilah pertama kalinya mereka meninggalkan orang tua mereka dan berintegrasi ke dalam lingkungan yang lebih luas. Barang bawaan mereka hanyalah beberapa pasang pakaian, sepasang sandal plastik, dan rasa rindu serta kebingungan karena harus berpisah dengan keluarga untuk pertama kalinya. Ibu Vang Thi Dinh mengatakan bahwa banyak anak menangis dalam diam di malam hari karena merindukan ibu mereka. Beberapa bahkan takut menelepon ke rumah karena tak kuasa menahan tangis hanya mendengar suara kerabat mereka.
Di masa-masa awal yang sulit itu, Ibu Dinh dan rekan-rekannya tidak hanya menjadi guru yang mengajari anak-anak membaca dan menulis, tetapi juga menjadi "ibu kedua", mengajarkan mereka ilmu pengetahuan dan dengan sabar membimbing mereka dalam keterampilan hidup dasar seperti mencuci pakaian sendiri, memasak, dan merapikan tempat tidur. Selangkah demi selangkah, dengan kelembutan dan ketekunan, Ibu Dinh membantu anak-anak mengatasi rasa takut awal mereka, membiasakan diri dengan kehidupan asrama, dan secara bertahap menemukan kegembiraan dalam belajar dan kegiatan kelompok.

Ibu Vang Thi Dinh mendapat penghargaan dalam program "Berbagi dengan Guru" 2025
Di tengah berbagai kekurangan, yang membuat saya terus maju dan selalu membuat saya khawatir adalah mata para siswa saya. Mata mereka selalu bersinar dengan hasrat membara untuk belajar dan menjelajahi dunia yang luas, mendorong saya untuk menemukan cara bagi para siswa di dataran tinggi untuk mengakses pengetahuan modern, agar masa depan mereka tidak lagi berliku-liku seperti jalan berbatu menuju desa," ungkap Ibu Dinh.
Pada tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 merebak, pembelajaran siswa terpaksa beralih ke pembelajaran daring. Hal ini menjadi tantangan besar bagi sekolah-sekolah di daerah pegunungan yang infrastruktur jaringannya masih lemah. Namun, kesulitan tersebut bagaikan "katalisator" yang mengubah persepsi Ibu Dinh. Ia menyadari bahwa teknologi telah menjadi "pintu" untuk mengakses pengetahuan baru. Oleh karena itu, jika ia tidak segera bertindak, para siswanya akan selamanya terkungkung di luar "pintu" penting tersebut. Dari kesadaran ini, Ibu Dinh memulai perjalanannya mempelajari teknologi secara otodidak dan pendidikan Sains-Teknologi-Rekayasa-Matematika (STEM). Ia mengikuti serangkaian kelas daring dari berbagai organisasi, dengan tekun mempelajari pemrograman, robotika, dan kecerdasan buatan (AI). Awalnya, bahasa Inggris yang terspesialisasi, minimnya pengetahuan dasar sains dan teknologi, terutama koneksi internet yang tidak stabil di daerah perbatasan menjadi "penghalang" bagi Ibu Dinh dalam perjalanan belajar otodidaknya.
Namun, Ibu Dinh tidak menyerah. Setiap malam, ketika murid-muridnya sudah tertidur, Ibu Dinh masih duduk diam di depan layar komputer lamanya, meneliti algoritma rumit untuk belajar mandiri, menguji diri, membuat kesalahan, lalu mengoreksi diri. "Saya yakin jika saya bisa memahami dan menguasai teknologi, saya bisa mengembalikan pengetahuan itu kepada murid-murid saya," ungkap Ibu Dinh.
Dalam perjalanan tersebut, Ibu Dinh beruntung bertemu dengan insinyur Do Hoang Son, anggota Panitia Penyelenggara Festival STEM Nasional. Berkat dorongan, bimbingan, dan berbagi pengalaman berharga dari insinyur Do Hoang Son, Ibu Dinh semakin yakin dengan jalan yang telah dipilihnya. Ia menyadari bahwa pendidikan STEM dapat berakar, bertunas, dan berkembang pesat di tanah perbatasan ini. Sejak saat itu, Ibu Dinh resmi bergabung dengan Aliansi Promosi Pendidikan STEM Vietnam (VESA), dengan tekad untuk membawa pengetahuan baru dan modern kepada siswa-siswa miskin di daerah perbatasan tanah air.
Tim "Kemauan besi"
Dengan penuh semangat, Ibu Dinh dengan berani mulai membentuk tim robot pertama di sekolahnya untuk berkompetisi. Ini merupakan tantangan besar karena murid-muridnya belum pernah menyentuh robot atau memahami pemrograman. Meskipun belajar secara otodidak, Ibu Dinh sendiri belum pernah memiliki pengalaman langsung membimbing tim kompetisi teknologi.
Tim pun dibentuk. Ibu Dinh dan murid-muridnya belajar bersama, bereksperimen menyusun dan menguji kode-kode. Bagi Ibu Dinh, ini adalah proses belajar sekaligus bermain. Ada kalanya kabut menutupi celah-celah gunung, robot berlari ke arah yang salah, menabrak dinding, atau berguling tanpa tujuan, baik Ibu Dinh maupun murid-muridnya hanya bisa tertawa, lalu dengan tekun menemukan kesalahan dan memprogram ulang dari awal. Kesabaran, komitmen, dan semangat bersama mengubah sesi-sesi pelatihan yang tampaknya membosankan menjadi berjam-jam penuh tawa.

Ibu Vang Thi Dinh dan timnya menampilkan robot tepat di Tiang Bendera Lung Cu.
Tantangan terbesar bagi tim bukan hanya pengetahuan, tetapi juga peralatan ketika sekolah tidak memiliki dana untuk membeli robot untuk kompetisi. Ibu Dinh harus menghubungi dan untungnya meminjam satu set robot. Ketika robot rusak, mencari suku cadang pengganti menjadi masalah lain karena suku cadang tidak tersedia, dan pemesanannya membutuhkan waktu berhari-hari. Selain itu, biaya perjalanan dan biaya untuk berpartisipasi dalam turnamen besar juga menjadi tantangan finansial.
Namun, dengan tekad yang kuat, Ibu Dinh dan murid-muridnya telah berupaya mengatasi berbagai kesulitan agar dapat membawa robot mereka ke arena teknologi, bersaing dengan tim-tim dari kota-kota besar. Upaya dan ketekunan inilah yang membuat tim tersebut memenangkan penghargaan Steel Will dalam kompetisi tersebut.
Konsep kesuksesan Bu Dinh selalu melampaui trofi atau medali individu. Oleh karena itu, setelah setiap turnamen, alih-alih beristirahat, beliau langsung kembali ke sekolah, menyelenggarakan sesi berbagi, dan memberikan bimbingan teknis kepada guru-guru dari sekolah-sekolah tetangga. Beliau juga menyumbangkan perangkat robot dan dukungan teknis agar siswa dari sekolah lain juga dapat mengakses dan mengenal STEM.
Momen tak terlupakan terjadi ketika Ibu Dinh dan timnya menampilkan robot tepat di Tiang Bendera Lung Cu. Di bawah bendera merah berkibar dengan bintang kuning, robot-robot kecil yang dirakit dan diprogram oleh siswa Dong Van bergerak secara ritmis dan cerdas. Bagi Ibu Dinh, gambaran itu menunjukkan semangat kreativitas tanpa batas dan aspirasi untuk memajukan pendidikan di dataran tinggi Tuyen Quang .
Tak berhenti di situ, Ibu Dinh juga menciptakan taman bermain teknologi di sekitar sekolah. Ia menyelenggarakan Festival STEM di sekolah, mengubah halaman sekolah asrama menjadi ruang kreatif yang penuh warna, dengan stan sains, permainan intelektual, dan demonstrasi teknologi. Puncak acaranya adalah Kompetisi Robot Terbuka KCbot yang pertama, yang mempertemukan siswa dari tingkat SD hingga SMA di dalam dan luar wilayah tersebut.
Bersama rekan-rekannya, ia terus memperluas pengaruhnya, menyelenggarakan pelatihan Robot KCbot dan Robot Virtual Vex VR untuk 20 sekolah menengah lainnya. Khususnya, ia juga membuka kelas pelatihan aplikasi AI untuk 2 sekolah di komune Dong Van. Di bawah bimbingan Ibu Dinh, "benih-benih STEM" telah mulai tumbuh di banyak desa, menyebarkan semangat belajar, kreativitas, dan pemikiran pemecahan masalah.
Sumber: https://phunuvietnam.vn/co-giao-nguoi-mong-gioi-hat-giong-stem-noi-dia-dau-to-quoc-238251208174139203.htm










Komentar (0)