(Dan Tri) - Ada 5 kasus di mana pihak yang mengalihkan dapat mengambil kembali hak guna tanah dan mengembalikan uang kepada pihak yang menerima pengalihan tanpa melanggar hukum.
Penjualan (pengalihan) tanah dengan dokumen tertulis merupakan transaksi pengalihan hak guna tanah, tetapi perjanjiannya tidak diaktakan atau disahkan oleh hukum. Sebelumnya, bentuk transaksi ini masih relatif populer. Karena berbagai alasan, pihak yang mengalihkan hak guna tanah ingin mengambil kembali hak guna tanah dan mengembalikan uang kepada pihak yang menerima pengalihan.
Agar efektif, transaksi perdata ini perlu disetujui oleh pihak penerima pengalihan atau permintaan ke Pengadilan untuk menyatakannya tidak sah.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tahun 2015 dan Undang-Undang Tanah Tahun 2024, terdapat kasus-kasus berikut di mana tanah yang dibeli dan dijual dapat diklaim kembali dengan dokumen tulisan tangan.
Transaksi setelah 1 Agustus
Pasal 3 ayat 27 Undang-Undang Agraria dan Tata Ruang Tahun 2024 mengamanatkan agar perjanjian pengalihan, hibah, hipotek, dan penyertaan modal yang menggunakan hak atas tanah, hak guna usaha, dan benda yang melekat pada tanah dibuatkan akta notaris atau akta notaris, kecuali yang dimaksud pada huruf b ayat ini.
Dengan demikian, hanya dalam kasus di mana satu atau lebih pemindah hak merupakan organisasi bisnis real estat, tidak diperlukan pengesahan notaris atau pengesahan.
Oleh karena itu, pengalihan hak atas tanah dengan dokumen tertulis hanya sah jika pengalihan dilakukan sebelum tanggal 1 Agustus. Jika transaksi dilakukan dengan dokumen tertulis setelah tanggal 1 Agustus, maka transaksi tersebut tidak sah secara hukum.
Tidak memenuhi syarat untuk transfer
Bagi pihak yang mengalihkan hak guna tanah, Pasal 1 ayat 45 UUPA Tahun 2024 mengatur bahwa badan usaha, rumah tangga, dan perseorangan berhak mengalihkan hak guna tanah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Memiliki sertifikat hak atas tanah, hak milik atas rumah, dan benda lain yang melekat pada tanah, kecuali: Pewarisan hak atas tanah, alih fungsi tanah pertanian dalam rangka penggabungan tanah, tukar-menukar, hibah hak atas tanah kepada Negara, masyarakat permukiman; Badan usaha dalam rangka penanaman modal asing yang menerima pengalihan proyek properti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha properti;
- Rumah tangga perorangan yang belum diberikan buku merah tetapi memenuhi syarat untuk mendapatkan buku merah diperbolehkan untuk mengalihkan hak guna tanah, menyewakan, menyewakan kembali hak guna tanah, dan memberikan kontribusi modal dengan menggunakan hak guna tanah untuk melaksanakan proyek.
- Tanah tidak dalam sengketa atau sengketa tersebut telah diselesaikan oleh instansi negara yang berwenang, putusan atau keputusan pengadilan, putusan arbitrase atau putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
- Hak guna usaha atas tanah tidak dapat dirampas atau dilakukan tindakan lain untuk menjamin terlaksananya putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum perdata;
- Selama masa pemanfaatan lahan;
- Hak guna tanah tidak tunduk pada tindakan darurat sementara sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Dengan demikian, apabila hanya satu saja syarat di atas yang terpenuhi, maka seseorang berhak meminta kepada Pengadilan untuk menyatakan pengalihan tersebut tidak sah (umumnya tanah tanpa sertifikat).
Penerima pengalihan tidak boleh berada dalam kasus di mana pengalihan tidak diperbolehkan. Misalnya, seseorang yang tidak secara langsung bercocok tanam tidak diperbolehkan menerima pengalihan lahan padi.
Contoh sertifikat hak guna tanah (Foto: IT).
Tanpa persetujuan para anggota
Setelah Undang-Undang Pertanahan 2024 diundangkan dan berlaku efektif sejak 1 Agustus, isu terkait sertifikat hak guna tanah (buku merah) menjadi perhatian banyak pihak. Salah satu perubahan dalam undang-undang ini adalah tidak lagi diakuinya buku merah yang diterbitkan untuk rumah tangga.
Pasal 4 ayat (4) Pasal 256 UUPA Tahun 2024 secara tegas menyatakan bahwa sertifikat hak guna tanah, hak milik rumah tangga, dan hak atas tanah lainnya yang diterbitkan kepada perwakilan rumah tangga sebelum tanggal 1 Agustus, apabila anggota rumah tangga yang memiliki hak guna tanah tersebut memerlukan, akan diterbitkan sertifikat baru dan tercatat nama-nama anggota rumah tangga yang memiliki hak guna tanah tersebut lengkap.
Penetapan anggota-anggota yang mempunyai hak guna tanah pada suatu rumah tangga untuk mendaftarkan namanya pada sertifikat hak guna tanah, disepakati oleh para anggota tersebut dan mereka bertanggung jawab di hadapan hukum.
Faktanya, sangat umum bagi seseorang dalam rumah tangga (sebelumnya kepala rumah tangga) untuk secara sewenang-wenang mengalihkan tanah kepada orang lain tanpa persetujuan tertulis yang diaktakan atau disertifikasi sebagaimana ditentukan oleh anggota rumah tangga lain yang menggunakan tanah tersebut.
Pasal 5 ayat 14 Surat Edaran Nomor 02 Tahun 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam menyebutkan bahwa orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau orang yang diberi kuasa sesuai ketentuan hukum perdata, hanya dapat menandatangani perjanjian atau akta jual beli hak guna usaha dan hak milik atas tanah atas tanah apabila para anggota rumah tangga yang menguasai tanah tersebut telah menyetujuinya secara tertulis dan akta tersebut telah dilegalisasi oleh notaris atau disahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, apabila tidak ada persetujuan tertulis dari para anggota yang berbagi hak guna tanah yang diaktakan atau disahkan untuk mengalihkan tanah rumah tangga kepada orang lain, anggota yang lain tersebut berhak untuk mengambil kembali hak guna tanahnya.
Pengalihan harta bersama suami istri secara sewenang-wenang
Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan dan Keluarga Tahun 2014, pengalihan harta bersama suami istri harus melalui persetujuan tertulis. Apabila suami istri melakukan pengalihan tanpa izin, pihak lain berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkan transaksi tersebut.
Kontrak tidak diaktakan atau disahkan
Undang-Undang Pertanahan Tahun 2024 menetapkan bahwa perjanjian pengalihan hak atas tanah harus diaktakan atau disahkan oleh notaris. Artinya, jika perjanjian tersebut tidak diaktakan atau disahkan oleh notaris sesuai ketentuan hukum, pengalihan tersebut tidak sah, kecuali untuk Pasal 129 KUH Perdata Tahun 2015, yaitu Pasal 2.
Artinya, hanya ada hak untuk menuntut kembali jika salah satu pihak belum melaksanakan setidaknya dua pertiga kewajiban dalam transaksi. Jika tanah tersebut memenuhi syarat untuk dialihkan dan penerima pengalihan telah membayar setidaknya dua pertiga dari jumlah yang disepakati, tidak perlu meminta Pengadilan untuk menyatakan tanah tersebut tidak sah karena pelanggaran tata cara menuntut kembali.
[iklan_2]
Sumber: https://dantri.com.vn/bat-dong-san/5-truong-hop-co-quyen-doi-lai-dat-da-ban-bang-giay-viet-tay-20241122101100722.htm
Komentar (0)