
Jabatan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kelahiran Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 menandai titik balik penting dalam sejarah hubungan internasional. Setelah kehancuran yang dahsyat akibat Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan untuk mencegah risiko perang, menjaga perdamaian dan keamanan internasional, serta memajukan kerja sama dan pembangunan global. Dari enam organ utama yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah badan yang paling komprehensif dan demokratis, di mana semua negara anggota memiliki hak suara yang sama, terlepas dari ukuran atau kekuatan nasional mereka secara keseluruhan.
Berbeda dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa—badan yang memusatkan kekuasaan pengambilan keputusan pada lima anggota tetap dan terutama menangani isu-isu keamanan internasional—Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa beroperasi berdasarkan prinsip kesetaraan kedaulatan, dengan mempertimbangkan isu-isu di semua bidang secara komprehensif. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan tempat 193 negara anggota bertukar, berkonsultasi, dan mengarahkan solusi untuk isu-isu global, mulai dari perdamaian, keamanan, perlucutan senjata hingga pembangunan, hak asasi manusia, kemanusiaan, dan sebagainya. Meskipun resolusi-resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mengikat secara hukum, resolusi-resolusi tersebut memiliki makna politik dan simbolis yang mendalam, yang mencerminkan keinginan dan suara bersama komunitas internasional.
Sebagai ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memegang salah satu posisi kepemimpinan penting dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dua dokumen yang terkait dengan posisi ini adalah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Aturan Tata Tertib Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 21 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memilih Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk setiap sesi, yang berlangsung sekitar satu tahun, dimulai pada bulan September setiap tahun. Fungsi dan tugas khusus Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa diatur dalam Aturan Tata Tertib, terutama Aturan 30 (pemilihan), Aturan 35 (memimpin sesi), dan Aturan 55 (merekomendasikan peningkatan efisiensi operasional). Dengan demikian, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bertanggung jawab untuk menjalankan sesi, mengarahkan diskusi, menentukan prioritas, mempromosikan pertukaran antarnegara anggota, dan memfasilitasi konsensus. Posisi ini tidak hanya memiliki arti mengoordinasikan pekerjaan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi juga memiliki nilai politik dan simbolis yang mendalam bagi masyarakat internasional.
Perkembangan Jabatan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dari Tahun 1946 hingga Sekarang
Selama 80 tahun terakhir, peran dan kegiatan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus diperkuat dan diperluas, terutama cakupan agendanya yang mencakup sebagian besar isu mendesak dan berprioritas tinggi di masyarakat internasional. Seiring dengan proses tersebut, posisi Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengalami perkembangan yang signifikan. Dari sekadar fungsi prosedural, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kini telah menjadi faktor berpengaruh dalam sistem tata kelola global, berkontribusi dalam mendorong reformasi kelembagaan, mengusulkan inisiatif, dan memandu diskusi mengenai isu-isu strategis.
Proses pengembangan peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat diringkas melalui tahapan berikut:
1946 - 1950: Pada awal berdirinya, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bertanggung jawab utama untuk memimpin sidang pleno, mengoordinasikan diskusi, dan memastikan kepatuhan terhadap proses dan prosedur. Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki wewenang untuk mengendalikan jalannya semua sidang, termasuk hak untuk mengusulkan waktu bicara, daftar pembicara, menjeda, atau menunda sidang. Namun, ruang lingkup wewenang pada saat itu terbatas pada aspek prosedural, dengan hampir tidak ada dampak signifikan pada proses pengambilan kebijakan dan pengambilan keputusan. Selama periode ini, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak memiliki Sekretariat sendiri, memiliki anggaran operasional yang terbatas, dan bergantung pada dukungan Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan koordinasi negara-negara anggota, terutama negara-negara besar. Oleh karena itu, peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terutama bersifat seremonial.
Meskipun kewenangannya terbatas, koordinasi yang cermat, keseimbangan, dan penanganan yang harmonis atas isu-isu prosedural dan keanggotaan telah berkontribusi dalam membentuk citra Presiden Majelis Umum sebagai sosok yang netral, menjunjung tinggi prinsip konsensus, dan mendorong dialog yang konstruktif. Presiden Majelis Umum dipilih setiap tahun secara bergilir di antara negara-negara anggota, berdasarkan prinsip rotasi di antara lima kelompok regional. Praktik ini bertujuan untuk memastikan representasi regional dan keseimbangan dalam kepemimpinan Majelis Umum.
Periode 1950-1970: Periode ini merupakan periode pergolakan politik besar di dunia , terutama gerakan dekolonisasi dan konfrontasi Timur-Barat selama Perang Dingin, yang menyebabkan kebuntuan dan stagnasi dalam operasi banyak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam konteks tersebut, peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa secara bertahap diperluas dan menjadi lebih substansial, terutama fungsi perantara dan koordinasi untuk menangani konflik dan krisis yang kompleks.
Tonggak penting dalam periode ini adalah Resolusi 377 (V) tahun 1950, yang umumnya dikenal sebagai Resolusi "Bersatu untuk Perdamaian". Berdasarkan resolusi ini, pada tahun 1956, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan sesi khusus darurat pertamanya untuk membahas krisis Terusan Suez. Sidang tersebut mengadopsi seruan untuk gencatan senjata segera dan membentuk Pasukan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEF), pasukan penjaga perdamaian pertama organisasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam keadaan luar biasa, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memainkan peran koordinasi, berkontribusi dalam mendorong solusi bagi permasalahan internasional yang kompleks.
Awal 1960-an menandai titik balik penting ketika gelombang dekolonisasi menyebar, menyebabkan jumlah negara anggota meningkat pesat dari 51 menjadi 114 negara. Menanggapi tuntutan baru situasi tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyesuaikan struktur organisasinya, menambah jumlah Wakil Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan membentuk sejumlah komite khusus untuk memenuhi kebutuhan pembahasan dan penanganan isu-isu global. Bersamaan dengan itu, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa diberi tanggung jawab yang lebih besar dalam mengoordinasikan agenda yang semakin kaya dan kompleks, yang mencerminkan beragam kepentingan komunitas anggota, terutama negara-negara yang baru bergabung.
Memasuki tahun 70-an abad ke-20, peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa erat kaitannya dengan tugas mengoordinasikan diskusi dan mencapai konsensus mengenai isu-isu penting, seperti pembentukan tatanan ekonomi internasional baru, perlucutan senjata, dan penghapusan apartheid. Sejak saat itu, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya menjalankan proses persidangan, tetapi juga berperan sebagai jembatan untuk mendorong dialog, mendamaikan kepentingan negara maju dan berkembang, serta berkontribusi dalam memelihara kerja sama dalam kerangka Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Periode 1986 - 1999: Ini adalah periode yang menandai pergeseran penting dalam peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari lingkup seremonial dan formal menjadi fungsi administratif substantif, berpartisipasi langsung dalam penanganan krisis dan mengoordinasikan inisiatif untuk mereformasi aparatur organisasi.
Pada tahun 1986, Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadapi krisis keuangan yang serius, dengan pemotongan anggaran, banyak kegiatan yang mandek, dan banyak unit yang menghadapi risiko PHK besar-besaran. Dalam konteks tersebut, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memainkan peran perantara yang penting di antara berbagai kelompok kepentingan, mengoordinasikan negosiasi anggaran, berkontribusi dalam melindungi tingkat kepegawaian yang esensial, dan mempertahankan operasional organisasi. Hasil ini meletakkan dasar bagi reformasi lebih lanjut dalam mekanisme anggaran, meningkatkan transparansi keuangan, dan meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber daya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada dekade-dekade berikutnya.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada umumnya dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada khususnya menghadapi kebutuhan akan reformasi yang kuat untuk meningkatkan efisiensi operasional, beradaptasi dengan tatanan dunia multipolar yang sedang berkembang, dan pada saat yang sama menghadapi kenyataan peningkatan jumlah negara anggota yang terus berlanjut. Resolusi No. 45/45 (1990) dan Resolusi No. 48/264 (1994) meletakkan dasar bagi proses "reformasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa", dengan fokus pada penyederhanaan agenda, penyederhanaan proses kerja, penguatan koordinasi dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, peningkatan kualitas diskusi dan efektivitas pengambilan keputusan. Reformasi ini menandai titik balik dalam peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjadi administrator sejati, secara aktif mengoordinasikan agenda, memimpin diskusi, membangun konsensus, dan mendorong perbaikan internal. Meningkatnya kekuasaan dan tanggung jawab membantu Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki suara yang lebih jelas tentang isu-isu global, mewakili kepentingan bersama masyarakat internasional, sekaligus berkontribusi dalam membatasi pengaruh kelompok kepentingan individu.
Dalam konteks Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang semakin menegaskan peran sentralnya dalam mengoordinasikan diskusi dan memecahkan masalah global, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus berkontribusi dalam mendorong inovasi dalam tata kelola global. Peran ini ditunjukkan dengan jelas melalui kepemimpinan dan koordinasi langsung serangkaian konferensi internasional besar seperti Konferensi Dunia tentang Perempuan (1995), Konferensi Milenium (2000)... Poin baru yang menonjol dari konferensi-konferensi ini adalah perluasan partisipasi lembaga swadaya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan global, yang ditunjukkan dengan jelas dalam agenda dan dokumen yang diadopsi pada konferensi tersebut.
Periode 2000 hingga sekarang: Dalam konteks globalisasi yang semakin mendalam, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus mengalami reformasi yang kuat, pada saat yang sama posisi Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dilembagakan ke arah penguatan peran, wewenang, dan ruang lingkup kegiatan. Dua resolusi penting Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi No. 60/286 dan Resolusi No. 60/257 (2006), menandai langkah maju baru, ketika untuk pertama kalinya anggaran rutin Perserikatan Bangsa-Bangsa mengalokasikan 5 posisi khusus untuk Kantor Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, alih-alih hanya mengandalkan personel yang diperbantukan atau pendanaan sukarela seperti sebelumnya. Peraturan ini membantu Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mempertahankan aparatur profesional yang stabil dan kemampuan untuk menanggapi isu-isu kompleks dari sistem multilateral. Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa didorong untuk secara proaktif mengusulkan dan menyelenggarakan diskusi tematik tentang isu-isu internasional yang penting; melaporkan secara publik secara berkala tentang keuangan dan sumber pendanaan; pada saat yang sama, memantau kegiatan Komite Prosedur dan lembaga terkait. Selain itu, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa diberi tanggung jawab penting untuk memimpin negosiasi reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mempromosikan proses reformasi yang komprehensif, dan meningkatkan transparansi dalam kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tahun 2016 menandai titik balik penting dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika, berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Resolusi 69/321, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk pertama kalinya, mengadakan dialog publik dengan para calon Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inisiatif ini menetapkan preseden baru dalam demokratisasi dan transparansi proses pemilihan posisi kepemimpinan senior dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sesi dialog tersebut menarik sekitar 1,4 juta tayangan daring dan menerima lebih dari 2.000 pertanyaan dari negara-negara anggota dan organisasi non-pemerintah. Hasilnya, Sekretaris Jenderal terpilih dengan tingkat konsensus yang tinggi, yang mencerminkan harapan masyarakat internasional akan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang modern dan lebih efektif dalam kepemimpinan dan tata kelola.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengadopsi Resolusi 70/305 untuk lebih menyempurnakan peraturan tentang transparansi dan mekanisme kontrol dalam operasi internal. Resolusi tersebut menetapkan bahwa Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengambil sumpah jabatan di depan umum sebelum menjabat dan mematuhi Kode Etik yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa; sumbangan sukarela kepada Kantor Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa harus diungkapkan secara rinci dan tunduk pada pengawasan lembaga audit independen. Penyesuaian ini dipandang sebagai langkah maju dalam meningkatkan disiplin, memastikan transparansi, dan memperkuat kepercayaan masyarakat internasional terhadap tata kelola Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sejak tahun 2020, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus menegaskan perannya dalam tata kelola dan koordinasi upaya global untuk menanggapi tantangan berlapis dan yang muncul. Ketika pandemi COVID-19 merebak, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa secara proaktif menerapkan pertemuan daring atau menggabungkan pertemuan tatap muka dan daring, memastikan bahwa kegiatan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berlangsung terus menerus dan tanpa gangguan. Pada tahun-tahun berikutnya, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus mengoordinasikan dan memimpin banyak proses internasional yang penting, termasuk KTT Masa Depan dan adopsi Dokumen untuk Masa Depan pada bulan September 2024. Dalam konteks persaingan strategis yang semakin ketat antara negara-negara besar, peran mediasi Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi semakin penting dalam menjaga dan memperkuat kerja sama multilateral, sambil berkontribusi untuk menyelesaikan tren fragmentasi dan perpecahan dalam hubungan internasional.
Sejarah delapan dekade terakhir menunjukkan bahwa, dari posisi awalnya yang murni seremonial dan prosedural, peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa secara bertahap telah berkembang menjadi pusat koordinasi, tata kelola, proaktif mengusulkan inisiatif, dan mendorong inovasi. Nilai inti dari jabatan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak pada kemampuannya untuk mewakili 193 negara anggota secara adil, membangun konsensus, mendorong dialog, dan melindungi prinsip-prinsip bersama dalam lingkungan internasional yang bergejolak.
Perkembangan peran Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mencerminkan proses pergerakan dan adaptasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada masa-masa ketika dunia menghadapi krisis keamanan dan politik, konflik Timur-Barat, atau tantangan pembangunan sosial-ekonomi, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengemban peran sebagai perantara yang fleksibel, jembatan untuk mendamaikan kepentingan antara berbagai kelompok negara. Jejaknya ditunjukkan dengan jelas melalui koordinasi topik-topik utama, seperti dekolonisasi, pembentukan tatanan ekonomi internasional baru, mendorong rekonsiliasi, atau memimpin reformasi aparatur Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kemampuan untuk memberikan pengaruh dari posisi Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya berasal dari otoritas kelembagaan, meskipun ada beberapa keterbatasan, tetapi juga bergantung pada kapasitas diplomatik, netralitas, kemampuan membangun kepercayaan, dan keterampilan untuk mendamaikan kepentingan antara kelompok negara maju dan negara berkembang.
Seiring dengan proses "reformasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa" dan reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dari akhir abad ke-20 hingga abad ke-21, wewenang dan tanggung jawab Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terus diperluas secara substansial, mulai dari menyusun agenda yang lebih ramping, memimpin dialog pleno, meningkatkan transparansi, hingga berpartisipasi dalam mendorong reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengoordinasikan negosiasi global, beradaptasi dengan persaingan strategis, dan memimpin inisiatif-inisiatif besar, seperti Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pakta Global tentang Migrasi, Konvensi tentang Kejahatan Siber, KTT Masa Depan, dll.

Menjabat sebagai Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa: Prospek dan Persyaratan
Dalam konteks dunia yang berubah dengan cepat, posisi Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa semakin strategis, tidak hanya karena peran koordinasinya, tetapi juga karena kemampuannya untuk mendorong dialog, mempersempit perbedaan, dan mengkonsolidasikan prinsip-prinsip dasar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mempertimbangkan pencalonan dan menduduki jabatan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan kesempatan untuk menegaskan kapasitas, prestise, dan identitas nasional di kancah internasional. Untuk menduduki jabatan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, diperlukan banyak landasan dan kondisi yang mendukung.
Pertama, diplomasi multilateral merupakan bagian penting dari diplomasi nasional. Pengangkatan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa perlu ditempatkan dalam konteks pengembangan kebijakan luar negeri multilateral yang lebih proaktif dan mendalam, bergeser dari pola pikir "partisipasi" menjadi "partisipasi proaktif, kontribusi aktif, peningkatan peran negara dalam membangun dan membentuk lembaga multilateral serta tatanan politik dan ekonomi internasional"; berupaya memainkan peran inti, pemimpin, atau mediasi dalam organisasi dan forum multilateral yang penting secara internasional.
strategi.
Kedua, memberikan kontribusi substansial dan efektif di semua bidang kegiatan pilar Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang ditunjukkan melalui partisipasi yang semakin mendalam dan proaktif dalam kegiatan organisasi multilateral terbesar di dunia ini; menjunjung tinggi prinsip-prinsip kepatuhan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional, sekaligus secara aktif mempromosikan inisiatif-inisiatif perdamaian, pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, respons terhadap perubahan iklim, dan mempromosikan peran Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di forum-forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kontribusi substansial dan efektif di semua bidang kegiatan pilar Perserikatan Bangsa-Bangsa juga ditunjukkan dalam berbagai kegiatan lain, seperti pengiriman pasukan untuk berpartisipasi dalam pasukan penjaga perdamaian di berbagai misi di negara-negara dan kawasan di seluruh dunia. Hal ini merupakan bukti nyata komitmen, tanggung jawab, dan semangat kontribusi negara anggota terhadap perdamaian dan keamanan global; sekaligus menunjukkan peran proaktif dalam mempromosikan dialog dan inisiatif yang sejalan dengan prioritas komunitas internasional dalam konteks baru, seperti kerja sama di bidang kecerdasan buatan (AI), pencegahan dan pengendalian penyakit, serta tantangan keamanan non-tradisional lainnya.
Ketiga, pengalaman dan prestise dalam mengemban tanggung jawab multilateral di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini ditunjukkan melalui pengalaman dan prestise dalam mengemban tanggung jawab multilateral di Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, anggota Dewan Hak Asasi Manusia, Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC), serta memegang posisi penting lainnya di Majelis Umum dan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya. Pengalaman dan prestise dalam mengemban tanggung jawab multilateral di Perserikatan Bangsa-Bangsa juga ditunjukkan melalui partisipasi aktif dalam proses pembentukan mekanisme kerja sama, membangun aturan dan standar bersama, seperti membangun kode etik, menyelenggarakan konferensi internasional tingkat tinggi, dan sebagainya.
Namun, mengemban tanggung jawab sebagai Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menimbulkan banyak kesulitan, terutama dalam konteks dunia yang mengalami perubahan mendalam dan meluas, dengan banyak faktor yang tidak dapat diprediksi, dan tantangan multidimensi yang sangat memengaruhi kerja sama internasional dan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertama, konflik dan isu keamanan non-tradisional terus menjadi tantangan besar bagi kerja sama multilateral. Persaingan strategis antarnegara besar meningkatkan kompleksitas peran mediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa; negara-negara kecil dan menengah berada di bawah tekanan untuk "memilih pihak", sementara munculnya inisiatif multilateral kecil telah sedikit memengaruhi pengaruh global Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang membutuhkan penguatan lebih lanjut atas kapasitas koordinasi dan pemeliharaan kerja sama multilateral untuk menghindari risiko polarisasi global.
Laporan Risiko Global 2025 dari Forum Ekonomi Dunia memprediksi bahwa cuaca ekstrem akan menjadi risiko teratas dalam dekade mendatang. Program Pangan Dunia (WFP) menyatakan bahwa kelaparan dan kemiskinan memengaruhi sekitar 720 juta orang di seluruh dunia. Serangan siber diperkirakan akan meningkat sebesar 30% antara tahun 2023 dan 2025, sementara perkembangan pesat AI, transformasi digital, dan transformasi hijau menimbulkan tuntutan mendesak untuk kerja sama dalam tata kelola global. Hal ini merupakan faktor yang diperkirakan akan mempersulit agenda Majelis Umum PBB khususnya dan PBB secara umum.
Kedua , proses “UN80” yang diinisiasi oleh Sekretaris Jenderal PBB pada Maret 2025, dengan tujuan meningkatkan efisiensi operasional, meninjau fungsi dan tugas, serta merestrukturisasi sistem PBB, diharapkan akan berdampak langsung pada kegiatan Majelis Umum PBB. Penyesuaian ini kemungkinan akan berdampak besar pada metode operasional, struktur organisasi, dan mekanisme partisipasi negara-negara anggota, sehingga akan membentuk kembali peran dan operasional Majelis Umum PBB di periode mendatang.
Menghadapi peluang dan tantangan yang saling terkait, mencalonkan diri dalam pemilihan umum dan memangku peran sebagai anggota yang aktif dan bertanggung jawab pada badan-badan internasional penting serta posisi-posisi dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk posisi Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak saja sejalan dengan kepentingan nasional, tetapi juga memberikan kontribusi untuk mempromosikan integrasi internasional yang mendalam dan menyeluruh atas dasar kebijakan luar negeri yang bebas, percaya diri, damai, kooperatif, dan pembangunan; pada saat yang sama, hal itu menunjukkan posisi dan prestise negara di arena internasional.
Terpilihnya negara-negara anggota sebagai Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa akan membantu negara-negara anggota berpartisipasi lebih mendalam dalam proses perencanaan agenda dan pengorganisasian pelaksanaan keputusan-keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga berkontribusi pada penyelesaian isu-isu politik, ekonomi, dan sosial penting di dunia dan kawasan. Hal ini juga merupakan kesempatan untuk memperkuat koneksi dan mengonsolidasikan hubungan antara negara-negara anggota dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekaligus memajukan hubungan bilateral dengan negara-negara anggota. Untuk mengemban tanggung jawab ini, negara-negara anggota perlu mempersiapkan diri secara matang dalam hal konten, kapasitas, dan metode koordinasi, terutama dalam konteks perubahan yang tak terduga di dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
----------------------------
* Dr. Hoang Thi Thanh Nga, Pham Binh Anh, Vu Thuy Minh, Nguyen Hong Nhat, Pham Hong Anh, Mai Ngan Ha, Le Thi Minh Thoa
Sumber: https://tapchicongsan.org.vn/web/guest/the-gioi-van-de-su-kien/-/2018/1154702/chu-tich-dai-hoi-dong-lien-hop-quoc--y-nghia%2C-co-hoi%2C-vinh-du-doi-voi-quoc-gia-thanh-vien-dam-nhiem-trong-trach.aspx
Komentar (0)