Memberikan komentar selama sesi diskusi kelompok tentang rancangan Undang-Undang tentang Pengundangan Dokumen Hukum (diamandemen) pada pagi hari tanggal 12 Februari, Ketua Majelis Nasional Tran Thanh Man mencatat bahwa perlu untuk memperkuat peran lembaga pengirim dalam mengambil tanggung jawab utama atas rancangan dokumen hukum tersebut.
Ketua Majelis Nasional mengatakan bahwa sesuai dengan Masukan Pemerintah, rancangan tersebut Undang-Undang tentang Pengundangan Dokumen Hukum (Diubah) disusun dalam 8 bab dan 72 pasal (berkurang 9 bab dan 101 pasal dari UU tahun 2015).
Jumlah pasal yang dikurangi atau dihapus dari undang-undang adalah ketentuan tentang keputusan dan surat edaran, yang dilaksanakan sesuai dengan sudut pandang baru tentang pembentukan undang-undang, yaitu masalah yang menjadi kewenangan Majelis Nasional, Majelis Nasional akan mengatur, dan Pemerintah akan mengeluarkan keputusan dan surat edaran untuk mengelola secara proaktif.
"Situasi sosial-ekonomi terus berubah. Terdapat kesulitan dalam administrasi pemerintahan belakangan ini akibat Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, kami merevisi Undang-Undang ini sebagai pilar bagi pembentukan undang-undang baru, sekaligus merevisi dan melengkapi undang-undang yang sudah ada untuk memastikan kewibawaan yang memadai," tegas Ketua Majelis Nasional.
Kenyataannya, di masa lalu, terdapat rancangan undang-undang yang diajukan lembaga hanya memenuhi 50-60% persyaratan dan kemudian harus dilimpahkan ke lembaga DPR dengan susah payah; terdapat pula rancangan undang-undang yang dibahas oleh Ketua dan Wakil Ketua DPR dalam 7-8 kali rapat. Ketua DPR juga menyatakan bahwa ia telah berulang kali meminta dan mengingatkan para menteri dan kepala sektor untuk bertanggung jawab penuh atas pembentukan undang-undang di lembaga mereka, dan tidak dapat dilimpahkan kepada Wakil Menteri, dan kemudian Wakil Menteri melimpahkannya kepada Kepala Departemen..., tanpa pengawasan yang ketat.
“Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk memperkuat peran lembaga pengirim dalam mengambil tanggung jawab utama atas draf tersebut. dokumen hukum. Hal ini perlu diperhatikan dalam amandemen Undang-Undang ini. Selain itu, perlu dipisahkan proses kebijakan dari proses penyusunan rancangan program legislasi; jelaskan perbedaan antara proses kebijakan dan proses penyusunan; sempurnakan mekanisme satu undang-undang yang mengubah banyak undang-undang...", tegas Ketua Majelis Nasional.
Ketua Majelis Nasional sepakat untuk melengkapi resolusi Pemerintah sebagai dokumen hukum untuk melaksanakan arahan otoritas yang berwenang dengan baik; meminta untuk meninjau secara cermat ketentuan tentang isi pengumuman resolusi Pemerintah pada Klausul 2, Pasal 4, untuk menghindari duplikasi konten saat mengumumkan keputusan tersebut.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat juga menyetujui arah inovasi proses legislasi yaitu rancangan undang-undang dan resolusi pada prinsipnya dibahas dan disetujui dalam satu kali masa sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mempercepat proses pengundangan dengan tetap menjaga mutu dokumen.
Apabila dalam sidang paripurna DPR ditemukan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung banyak muatan yang rumit dan menimbulkan perbedaan pendapat, serta memerlukan waktu untuk mempelajari, menyerap dan menelaah, maka DPR akan memutuskan untuk mempertimbangkan dan menyetujuinya dalam sidang paripurna berikutnya.
Menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (perubahan) yang telah disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan menciptakan kondisi yang mendukung pembangunan dan penyempurnaan sistem hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat di masa yang akan datang, terutama pada tahun 2025, di mana akan ada dua masa sidang tetap, yaitu sidang ke-9 dan ke-10.
Perlu diperjelas dan dipisahkan antara “konsultasi” dan “memperoleh pendapat”.
Berpartisipasi dalam diskusi, para deputi Majelis Nasional menyetujui usulan baru tentang konsultasi kebijakan dan menemukan bahwa peraturan tentang konsultasi kebijakan membantu lembaga-lembaga berkoordinasi lebih erat dan efektif, berkontribusi pada peningkatan kualitas dan mempercepat kemajuan pembangunan dan pengundangan dokumen hukum.
Namun, karena ini merupakan isu baru, maka disarankan untuk meneliti dan mendefinisikan secara jelas konsep "konsultasi kebijakan", dengan membedakan secara jelas antara konsultasi kebijakan dan konsultasi dalam proses pembuatan kebijakan, penyusunan rancangan undang-undang, peraturan daerah, dan resolusi.
Menurut Wakil Ketua Majelis Nasional, Tran Quang Phuong, tujuan dan hakikat konsultasi adalah untuk menciptakan konsensus. Proses konsultasi merupakan proses yang berkelanjutan, mulai dari menemukan permasalahan praktis, merumuskan tujuan kebijakan, merumuskan kebijakan, membahas dan menyetujui kebijakan, hingga menerbitkan undang-undang terkait kebijakan tersebut. Hal ini dilakukan oleh badan-badan pembuat kebijakan (seperti badan-badan Majelis Nasional, Pemerintah, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dll.).
"Subjek konsultasi adalah individu, organisasi, pakar, ilmuwan, dan masyarakat. Proses pengumpulan pendapat masyarakat di Portal Informasi merupakan proses konsultasi kebijakan," ujar Wakil Ketua Majelis Nasional.
Menekankan bahwa meminta pendapat dari lembaga merupakan proses legislatif, Wakil Ketua Majelis Nasional Tran Quang Phuong menyarankan perlu ada perbedaan yang jelas antara konsultasi dan meminta pendapat.
"Perlu diperjelas kapan harus meminta pendapat dan kapan harus memeriksa. Perlu dipisahkan antara konsultasi, meminta pendapat, dan hak memeriksa. Jika tidak ada pemisahan yang jelas antara konsultasi, meminta pendapat, dan hak memeriksa di lembaga-lembaga DPR, hal itu tidak akan sesuai dengan hakikat konsultasi," tegas Wakil Ketua DPR.
Delegasi Nguyen Thi Kim Anh (delegasi Bac Ninh) mengusulkan agar ada peraturan yang menyatakan bahwa lembaga yang bertanggung jawab menyusun dokumen juga harus bertanggung jawab menanggapi komentar atau menyelenggarakan pertemuan untuk menerima dan menjelaskan komentar.
Mengenai bentuk konsultasi, beberapa orang berpendapat bahwa konsultasi kebijakan dalam bentuk konferensi sangat sulit, misalnya, para ahli domestik dan internasional tidak selalu dapat menghadiri pertemuan untuk berkonsultasi. Di era teknologi informasi, seharusnya ada lebih banyak fleksibilitas dalam bentuk dan metode konsultasi kebijakan.
Delegasi Vu Tuan Anh (delegasi Phu Tho) mengatakan bahwa ketika berkonsultasi mengenai kebijakan, lebih tepat berkonsultasi dengan para ahli, daripada berkonsultasi dengan lembaga.
Sumber
Komentar (0)