Baru-baru ini, kepolisian setempat telah menindak tegas banyak kasus "penculikan daring". Korban dimanipulasi oleh penjahat melalui telepon dan internet tanpa bertemu langsung, yang mengakibatkan isolasi mandiri dan pemerasan. Bentuk kejahatan baru ini semakin canggih dan berbahaya.
![]() |
Alih-alih membuat korban merasa bersalah, media perlu membantu mereka memahami bahwa berbagi cerita adalah cara mereka melindungi diri sendiri dan masyarakat. (Foto ilustrasi) |
Mengapa kaum muda mudah terjebak dalam perangkap "virtual"?
Yang menariknya, para penjahat itu mengincar kaum muda, terutama pelajar.
Meskipun mereka mahir menggunakan teknologi, karena kurangnya interaksi sosial, sedikit pengalaman hidup, kurangnya keterampilan berpikir kritis, identifikasi risiko, keingintahuan, kecintaan pada eksplorasi , dan pengetahuan hukum yang terbatas, mereka mudah terjerumus ke dalam kebingungan dan kehilangan ketenangan saat menerima panggilan telepon yang mengancam.
Di samping sebab-sebab di atas, dari segi psikologis, para pelajar di perkotaan, terutama yang datang dari daerah lain untuk menuntut ilmu di kota besar, kerap kali menghadapi berbagai tekanan dalam waktu yang bersamaan: kuliah, ujian, biaya hidup, kerja paruh waktu, percintaan, dan sebagainya.
Artinya, ketika tekanan meningkat, kondisi psikologis Anda seringkali lemah. Hanya dalam situasi tak terduga (misalnya, ada kerabat yang sedang dalam masalah, Anda sedang diselidiki karena tidak sengaja terlibat dalam tindakan ilegal...), reaksi alami Anda adalah panik, dan Anda akan dengan mudah mengikuti instruksi para penipu.
Penjahat memahami mekanisme psikologis anak muda ini, sehingga mereka selalu menciptakan skenario darurat untuk langsung menyerang kecemasan dan psikologi emosional korban.
Menghadapi perkembangan kasus "penculikan daring" yang rumit, media terus-menerus menerbitkan artikel peringatan. Tidak hanya berhenti pada pelaporan kasus per kasus, media juga menjelaskan mekanisme penipuan yang dilakukan oleh oknum-oknum jahat agar masyarakat, siswa, dan orang tua dapat memahaminya dengan jelas.
Dari sana, lengkapi diri Anda dengan keterampilan untuk mengidentifikasi jebakan teknologi, keterampilan verifikasi informasi, saluran komunikasi yang aman dengan keluarga, dan cara segera melaporkan ke polisi ketika ada tanda-tanda kecurigaan.
Media yang Bertanggung Jawab
Dalam serangkaian peringatan keamanan itu, beberapa pendapat muncul di jejaring sosial yang mengatakan bahwa siswa yang "diculik daring" tidak dapat diterima.
Pendapat-pendapat tersebut menyatakan bahwa "siswa yang 'diculik secara daring' sangat tercela, sangat memalukan, tidak pantas menjadi anak muda", "menimbulkan beban bagi orang tua, membuang-buang waktu pihak berwenang", "kelemahan siswa ini menciptakan lingkungan yang subur bagi penjahat untuk berkembang biak".
Terlihat bahwa dengan gaya penulisan yang agak ekstrem dan cara pandang yang agak keras, aliran pandangan ini bukannya menjelaskan akar permasalahan, memberikan solusi terhadap akar permasalahan, dan menuntut penanganan tegas terhadap hal-hal yang merugikan, justru mengarahkan opini publik untuk mengkritik para korban.
Cara berkomunikasi seperti ini tidak baik, malah bisa kontraproduktif. Menyalahkan atau menyalahkan korban tidaklah tepat.
Siswa yang "diculik daring" tidak diculik karena mereka tidak cerdas atau tidak bertanggung jawab, tetapi karena penjahat tahu cara mengeksploitasi kelemahan psikologis orang dan menggunakan trik teknologi yang sangat canggih yang terus berkembang seiring waktu.
Faktanya, tidak sedikit kasus penipuan yang korbannya adalah orang dewasa, pengusaha, akademisi, orang yang memiliki pengalaman hidup lebih dari anak muda.
Di sisi lain, jika kita melabeli korban sebagai "tercela, memalukan", kita secara tidak sengaja menjadikan korban sebagai penjahat, membuat mereka lebih ragu untuk berbagi, bahkan menyembunyikan informasi karena takut diejek, dikutuk. Hal itu semakin menciptakan kondisi bagi para penjahat untuk terus beraksi.
Yang terpenting, media perlu mengatakan tidak terhadap budaya menyalahkan dan tidak mempromosikan konten yang menghina korban.
Media massa hendaknya mengemban tugas memberi peringatan, mendampingi, dan menjadi jembatan untuk mengajak generasi muda saling berbagi pengalaman dan saling mengingatkan, membantu meningkatkan kewaspadaan, dan sekaligus menghimbau agar orang tua secara rutin menghubungi dan berbicara apabila anak-anaknya belajar jauh dari rumah.
Alih-alih membuat korban merasa bersalah, media perlu membantu mereka memahami bahwa berbagi cerita adalah cara mereka melindungi diri sendiri, melindungi masyarakat, dan bahwa mereka selalu memiliki keluarga, sekolah, dan masyarakat di sisi mereka. Inilah semangat jurnalisme yang bertanggung jawab dan pendidikan media yang tepat dalam masyarakat digital.
Sumber: https://baoquocte.vn/dung-truyen-thong-kieu-do-loi-hay-canh-bao-va-dong-hanh-330324.html
Komentar (0)