Melalui survei tersebut, bagaimana Anda mengevaluasi potensi pengembangan pariwisata masyarakat di provinsi Dien Bien?
Dien Bien , wilayah yang berbatasan dengan Barat Laut Tanah Air, tidak hanya terkenal karena sejarah heroiknya, tetapi juga tempat bertemunya dan bertukarnya budaya dari 19 kelompok etnis. Dalam konteks pariwisata global yang semakin bergeser ke arah tren mencari pengalaman autentik dan berkelanjutan, pariwisata berbasis komunitas (CBT) telah muncul sebagai solusi strategis bagi Dien Bien.

Dalam strategi pembangunan sosial- ekonomi Provinsi Dien Bien, pariwisata diidentifikasi sebagai sektor ekonomi kunci, di mana pariwisata komunitas memainkan peran penting dalam penanggulangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan baru. Berbeda dengan pariwisata massal yang seringkali berfokus pada destinasi terkenal dan layanan kelas atas, pariwisata komunitas didasarkan pada fondasi inti partisipasi masyarakat lokal dan pemanfaatan nilai-nilai budaya asli.
Di Dien Bien, potensi ini sangat besar dengan kehadiran komunitas Thai, Mong, Kho Mu, Ha Nhi, Lao, Si La.... Setiap kelompok etnis memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, mulai dari arsitektur rumah, kostum, kuliner, hingga festival dan pengetahuan rakyat.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa eksploitasi nilai-nilai ini di Dien Bien masih memiliki banyak keterbatasan. Banyak model pariwisata komunitas hanya berhenti pada penyediaan akomodasi dan layanan makanan sederhana, kurang memberikan pengalaman budaya yang mendalam, sehingga menghasilkan produk wisata yang monoton, kurang menarik untuk mempertahankan wisatawan jangka panjang, dan kurang mendorong pengeluaran. Pertanyaan bagi para pengelola dan pelaku usaha pariwisata adalah bagaimana "menghidupkan" sumber daya budaya primitif, mengubahnya menjadi produk wisata yang canggih, yang sekaligus membawa nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat dan melestarikan jiwa bangsa.
Untuk memanfaatkannya secara efektif, pertama-tama kita perlu mengidentifikasi dengan jelas sistem sumber daya budaya yang dimiliki Dien Bien dari perspektif "bahan masukan" untuk proses produksi produk pariwisata.
Nilai budaya nyata yang paling menonjol di Dien Bien adalah arsitektur hunian tradisional dan lanskap pedesaan. Bagi masyarakat Thai Hitam dan Thai Putih di daerah seperti Muong Lay, Muong Thanh, rumah panggung bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga mahakarya arsitektur yang beradaptasi dengan alam. Rumah panggung beratap batu di kota Muong Lay atau rumah kayu dengan ukiran khau khas di desa Che Can dan Phieng Loi (dulunya kota Dien Bien Phu) merupakan "museum hidup".

Sementara itu, di daerah bekas dataran tinggi seperti Tua Chua dan Dien Bien Dong, arsitektur rumah tanah padat masyarakat Mong atau rumah masyarakat Ha Nhi di Muong Nhe dengan dinding tanah tebal, hangat di musim dingin dan sejuk di musim panas, menghadirkan keindahan arsitektur yang sama sekali berbeda, yang mencerminkan pengetahuan masyarakat adat dalam menghadapi iklim yang keras.
Selain arsitektur, kostum dan kerajinan tradisional merupakan sumber daya fisik yang tak ternilai. Seni membuat pola pada kostum masyarakat Mong Hoa di Desa Cong Troi (Muong Cha) atau tenun brokat masyarakat Lao di Desa Na Sang II (dulunya Distrik Dien Bien) tidak hanya menghasilkan barang, tetapi juga menciptakan ruang pengalaman visual yang memukau bagi wisatawan. Sistem sawah terasering, kincir air, dan peralatan produksi primitif juga merupakan elemen fisik yang menciptakan lanskap budaya yang unik, latar belakang yang tak terpisahkan bagi kegiatan pariwisata komunitas.
Jika budaya material adalah "tubuh", maka budaya tak benda adalah "jiwa" pariwisata komunitas. Dien Bien memiliki warisan budaya tak benda nasional dan internasional yang sangat menarik. Seni dan praktik seni Thai Xoe dan Then dari masyarakat Tay, Nung, dan Thai telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda representatif umat manusia. Inilah sumber daya inti untuk membangun pertunjukan seni komunitas.
Selain itu, festival tradisional seperti: Festival Hoa Ban, Festival Thanh Ban Phu, Festival Nao Pe Chau masyarakat Mong, Festival Ga Ma Thu masyarakat Ha Nhi, atau Festival Air masyarakat Lao mengandung nilai-nilai spiritual, keagamaan, dan sosial yang mendalam.
Tak hanya festival, pengetahuan rakyat tentang pengobatan tradisional, seni kuliner dengan hidangan yang menggunakan rempah-rempah khas seperti mac khen, biji doi, atau lagu daerah, tarian daerah, dan alat musik etnik (suling Hong, tinh tau) semuanya merupakan sumber bahan yang kaya. Khususnya, keramahan, gaya hidup damai, dan kisah-kisah legendaris yang terkait dengan sejarah pertahanan dan pembangunan negara oleh kelompok etnis di Dien Bien merupakan faktor tak berwujud terpenting yang menciptakan ikatan emosional dengan wisatawan.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan Dien Bien untuk mengubah budaya menjadi produk pariwisata?
Masalah inti yang menjadi perhatian para pebisnis dan pemerintah daerah adalah "bagaimana?".
Dengan model homestay, bukan hanya menyewakan tempat menginap bagi tamu. Untuk memanfaatkan nilai budaya dan arsitektur, rumah tangga yang melakukan wisata di desa-desa budaya seperti Desa Men, Desa Ten, atau Che Can perlu mempertahankan struktur rumah panggung tradisional, tetapi juga merenovasi interiornya agar memenuhi standar kebersihan dan kenyamanan minimum. Ruang di dalam rumah panggung perlu didekorasi dengan material lokal seperti rotan, bambu, dan brokat, untuk menciptakan nuansa nyaman dan asli.

Yang lebih penting, tuan rumah perlu mengubah rumah menjadi ruang yang bercerita. Setiap barang di rumah, seperti alat tenun, perapian, atau bantal, memiliki kisahnya sendiri. Tuan rumah yang tinggal bersama, berbincang, dan menjelaskan kepada pengunjung makna penataan altar, ruang tamu, atau kebiasaan hidup mereka akan mengubah layanan akomodasi menjadi pengalaman budaya yang mendalam. Pelajaran dari berbagai daerah menunjukkan bahwa ketika orang dilatih dalam keterampilan keramahtamahan dan menjaga kebersihan rumah, dipadukan dengan keramahan yang melekat, nilai layanan akomodasi akan meningkat berkali-kali lipat dibandingkan hanya menyediakan tempat tidur sederhana.
Kuliner adalah cara tercepat untuk menjangkau hati wisatawan dan merupakan sumber pendapatan penting dalam pariwisata komunitas. Alih-alih hanya menyajikan makanan siap saji, destinasi wisata komunitas di Dien Bien perlu membangun wisata kuliner "dari ladang ke meja". Wisatawan dapat diajak untuk berpartisipasi dalam proses memetik sayuran liar, menangkap ikan sungai, atau belajar memasak nasi ketan, memanggang ikan Pa Pinh Top, dan membuat cham cheo.
Nilai budaya di sini tidak hanya terletak pada cita rasa makanannya, tetapi juga pada pengetahuan lokal tentang penggunaan bahan dan pengolahannya. Masyarakat perlu dibimbing untuk menjelaskan penggunaan rempah-rempah dalam hidangan, dan makna hidangan selama liburan. Lokasi wisata komunitas perlu menyelenggarakan tur untuk mengajak pengunjung memetik sayuran liar, menangkap ikan di sungai, dan belajar tentang rempah-rempah.
Saat makan, orang perlu dibekali keterampilan untuk menjelaskan asal usul, makna, dan cara menikmati makanan. Misalnya, ikan bakar Pa Pinh Top bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga mewakili filosofi hidup tentang keharmonisan antarpasangan; nasi ketan lima warna mewakili konsep lima elemen.
Di Tua Chua, menikmati anggur Mong Pe atau teh Shan Tuyet kuno perlu diangkat menjadi sebuah bentuk seni, di mana pengunjung dapat mendengar langsung proses penyulingan anggur atau memetik teh dari pohon-pohon berusia ratusan tahun di puncak gunung. Ketika hidangan tersebut "dibumbui" dengan kisah-kisah budaya, pengunjung akan bersedia membayar lebih mahal, sehingga meningkatkan pendapatan langsung bagi masyarakat.
Salah satu kelemahan pariwisata Dien Bien adalah minimnya produk suvenir khas. Untuk mengatasi masalah ini dan meningkatkan pendapatan, perlu dilakukan pemulihan dan pengembangan desa kerajinan tradisional yang terkait dengan pariwisata. Namun, tidak cukup hanya menjual produk, perlu juga diselenggarakan kegiatan demonstrasi dan pelatihan kejuruan bagi wisatawan.
Di Desa Cong Troi (Muong Cha) atau Desa Na Sang II, pengunjung tidak hanya membeli selembar kain brokat, tetapi juga bersedia membayar untuk duduk langsung di alat tenun, atau menggambar lilin lebah di atas kain sendiri di bawah bimbingan para pengrajin. Meskipun tidak sempurna, produk yang mereka hasilkan merupakan suvenir yang tak ternilai bagi mereka.
Ini merupakan cara untuk memanfaatkan kearifan lokal guna menciptakan nilai tambah (layanan pemandu wisata) di samping nilai riil produk. Pelaku usaha pariwisata perlu berkoordinasi dengan masyarakat untuk merancang model produk yang ringkas, canggih, dan sangat aplikatif (dompet, tas tangan, syal) yang sesuai dengan selera wisatawan modern, dengan tetap mempertahankan pola dan motif tradisional.
Kesenian rakyat merupakan "keistimewaan" pariwisata komunitas Dien Bien. Namun, untuk menghindari kebosanan, kelompok-kelompok kesenian desa perlu menciptakan koreografi pertunjukan yang sangat interaktif. Alih-alih hanya tampil di atas panggung, mereka mengajak pengunjung untuk bergabung dalam tarian xoè, tarian bambu, atau belajar memainkan khen. Interaksi ini mengaburkan batasan antara tuan rumah dan tamu, menciptakan suasana yang ceria dan kohesif.
Untuk festival, perlu ada rencana untuk menyelenggarakan atau memeragakan kembali cuplikan-cuplikan khas festival secara berkala (seperti Festival Panen, Upacara Kedewasaan) sesuai permintaan rombongan besar pengunjung, tetapi tetap harus memastikan kekhidmatan dan standar tradisional. Peragaan ulang ini membantu pengunjung lebih memahami kehidupan spiritual masyarakat, sekaligus menciptakan lapangan kerja tetap bagi para pengrajin dan kelompok seni.
Jadi, menurut Anda apakah ada solusi pasar untuk menarik pelanggan dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat?
Untuk mewujudkan potensi tersebut menjadi manfaat ekonomi, dua masalah besar perlu dipecahkan: akses pasar dan diversifikasi pendapatan.
Di era digital, pendekatan pariwisata komunitas kepada pelanggan membutuhkan inovasi mendasar. Desa wisata tidak bisa hanya menunggu kedatangan pengunjung secara pasif, tetapi perlu secara proaktif mempromosikan citra mereka kepada dunia. Pemerintah dan organisasi pendukung perlu melatih masyarakat dalam menggunakan media sosial dan platform pemesanan daring (OTA). Kisah-kisah tentang budaya, gambaran autentik kehidupan sehari-hari, dan lanskap alam yang megah perlu didigitalkan dan disebarkan di platform seperti TikTok, Facebook, dan YouTube. Kisah sukses awal Desa Na Su (Nam Po) berkat pengaruh media sosial merupakan bukti nyata dari arah ini.

Desa wisata tidak dapat berdiri sendiri. Penting untuk menciptakan hubungan yang erat antar rumah tangga di desa, antar desa, dan antara masyarakat dengan agen perjalanan. Rumah tangga perlu memiliki spesialisasi: rumah tangga yang menyediakan akomodasi, rumah tangga yang menyediakan makanan, rumah tangga yang bergerak di bidang kerajinan tangan, rumah tangga yang menyediakan layanan transportasi (ojek, sepeda), dan rumah tangga yang bertindak sebagai pemandu wisata lokal.
Pembagian kerja ini membantu meningkatkan kualitas layanan dan memastikan semua pihak di masyarakat mendapatkan manfaat, sehingga terhindar dari persaingan yang tidak sehat. Di saat yang sama, penandatanganan perjanjian kerja sama dengan agen perjalanan di Hanoi, Kota Ho Chi Minh, dan provinsi-provinsi tetangga untuk menarik kembali wisatawan pada rute wisata yang stabil merupakan faktor penting.
Agar pariwisata benar-benar menjadi mata pencaharian yang berkelanjutan, masyarakat tidak dapat hanya bergantung pada biaya akomodasi. Ekosistem layanan perlu didiversifikasi untuk memaksimalkan "dompet" wisatawan. Selain biaya kamar dan makan, layanan tambahan seperti: pemandian herbal Dao, pemandian kaki herbal, pemandu lokal yang memandu tur trekking, penyewaan kostum foto, dan penjualan produk pertanian bersih (beras gogo Dien Bien, madu, dan daging kering) perlu dikembangkan secara intensif.
Model pengelolaan keuangan juga perlu diprofesionalkan secara kolektif. Pelajaran dari keberhasilan model pariwisata komunitas menunjukkan perlunya pembentukan Badan Pengelola Pariwisata atau Koperasi Pariwisata di setiap desa. Unit ini akan bertanggung jawab untuk mengoordinasikan pengunjung, memastikan keadilan dalam pembagian keuntungan, mengelola dana komunitas untuk diinvestasikan kembali dalam infrastruktur dan perlindungan lingkungan, serta mendukung rumah tangga miskin yang tidak dapat terlibat langsung dalam pariwisata. Mekanisme ini membantu menyatukan masyarakat, mengurangi persaingan yang tidak sehat, dan memastikan semua orang mendapatkan manfaat dari pengembangan pariwisata.
Dalam proses pengembangan pariwisata, menurut Anda apa yang perlu kita lakukan untuk melestarikan identitas budaya masyarakat adat?
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam pengembangan pariwisata adalah risiko komersialisasi dan hilangnya identitas budaya. Tantangan terbesar dalam pengembangan pariwisata komunitas adalah risiko hilangnya budaya dan konflik kepentingan. Untuk memecahkan masalah "bagaimana melestarikan identitas", perlu dipahami secara menyeluruh sudut pandang ini: Budaya adalah sumber daya yang tak terbarukan, kehilangan budaya berarti kehilangan mata pencaharian. Untuk melestarikan identitas dalam pariwisata, perlu mematuhi prinsip-prinsip berikut:
Pertama, "lestarikan untuk dikembangkan, kembangkan untuk melestarikan". Penting untuk mengedukasi masyarakat agar memahami bahwa budaya adalah aset mereka, "alat pancing" mereka. Jika mereka kehilangan budaya, mereka akan kehilangan identitas dan tidak lagi menarik bagi wisatawan. Oleh karena itu, melestarikan rumah, adat istiadat, bahasa, dan adat istiadat mereka bukan hanya tanggung jawab kepada leluhur mereka, tetapi juga untuk melindungi mata pencaharian mereka sendiri.
Kedua, hindari teatrikalisasi yang berlebihan. Kegiatan budaya yang disajikan kepada wisatawan harus didasarkan pada keaslian. Kegiatan tersebut tidak boleh dihibridisasi, dipinjam dari budaya lain, atau diputarbalikkan demi hiburan. Menghormati keaslian akan membantu pariwisata berbasis komunitas berkembang secara berkelanjutan dan menarik wisatawan yang bertanggung jawab dan bergaji tinggi.
Ketiga, membangun peraturan pengelolaan masyarakat. Perlu dibentuk badan pengelola pariwisata di setiap desa dengan melibatkan tetua desa, kepala desa, dan perwakilan rumah tangga. Badan pengelola ini bertanggung jawab untuk memantau pelaksanaan peraturan tentang perlindungan lingkungan, pembagian manfaat, dan terutama memantau kepatuhan terhadap kode etik budaya, serta mencegah tindakan yang melanggar adat istiadat.
Terakhir, perlu dikembangkan kode etik pariwisata bagi wisatawan dan penduduk lokal. Wisatawan perlu diarahkan untuk menghormati adat dan praktik setempat, sementara penduduk lokal perlu dibekali dengan keterampilan komunikasi yang beradab, menghindari praktik jual-beli dan komersialisasi berlebihan yang dapat merusak citra destinasi.
Mengembangkan pariwisata komunitas berbasis pemanfaatan nilai-nilai budaya nasional merupakan arah yang tepat dan tak terelakkan bagi Dien Bien. Untuk mewujudkan potensi ini, perlu ada pergeseran yang kuat dari pola pikir "berwisata sesuai tren" menjadi pola pikir "berwisata secara profesional, sistematis, dan berwawasan budaya".
Memanfaatkan nilai-nilai budaya nasional dalam pengembangan pariwisata komunitas di Dien Bien merupakan proses yang membutuhkan perpaduan erat antara pemikiran ekonomi dan kesadaran budaya. Proses ini merupakan transformasi nilai-nilai potensial menjadi aset nyata, mengubah warisan menjadi aset, dan mengubah budaya menjadi barang istimewa tanpa kehilangan keaslian dan jiwanya.
Pemerintah daerah perlu berperan dalam menciptakan dan mendukung perencanaan, infrastruktur (listrik, jalan, air bersih, telekomunikasi), dan pelatihan sumber daya manusia. Bisnis pariwisata berperan sebagai pendamping dan konsultan dalam pengembangan produk dan koneksi pasar. Namun, yang terpenting, subjek dari proses ini haruslah komunitas etnis minoritas. Hanya ketika masyarakat benar-benar memahami dan bangga dengan budaya mereka serta diberdayakan untuk mengambil kepemilikan dan mendapatkan manfaat yang memadai dari pariwisata, pariwisata komunitas di Dien Bien akan benar-benar berkembang dan berkelanjutan, berkontribusi menjadikan Dien Bien destinasi yang wajib dikunjungi di peta pariwisata Barat Laut.
Eksploitasi budaya bukanlah “menjual” budaya, tetapi berbagi dan menyebarluaskan nilai-nilai, sehingga budaya menjadi fondasi spiritual sekaligus penggerak material, membantu masyarakat etnis Dien Bien bangkit menjadi kaya di tanah airnya.
Terima kasih banyak!
Artikel yang dipesan oleh Departemen Perundang-undangan, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata.
Sumber: https://baotintuc.vn/du-lich/khai-thac-cac-gia-tri-van-hoa-dan-toc-trong-phat-trien-du-lich-cong-dong-20251202113348612.htm










Komentar (0)