Tantangan-tantangan ini tidak hanya berasal dari faktor internal perusahaan, tetapi juga dari isu-isu terkait institusi, kebijakan, dan persyaratan pasar internasional. Oleh karena itu, para ahli telah mengidentifikasi lima hambatan utama dalam penerapan ESG di Vietnam.
Menurut Associate Professor Dr. Nguyen Hong Quan, Direktur Institut Pengembangan Ekonomi Sirkular, perusahaan-perusahaan Vietnam menghadapi kurangnya regulasi yang jelas dan konsisten terkait ESG. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak dapat menerapkan sistem standar yang umum dan transparan dalam penerapan ESG, sehingga menyulitkan pengukuran dan pelaporan hasil. Oleh karena itu, perusahaan tidak memiliki panduan yang jelas tentang persyaratan dan standar resmi untuk mengukur efektivitas komitmen ESG.
Dalam studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Finance Research Letters, dosen dari Universitas RMIT Vietnam juga menunjukkan bahwa ketika direktur berpartisipasi dalam terlalu banyak dewan, mereka mungkin kurang independen dalam memantau dan mengevaluasi komitmen ESG, sehingga mengurangi efektivitas implementasi ESG.
Dr. Pham Nguyen Anh Huy, Dosen Senior Keuangan di RMIT Vietnam, mengatakan: “Studi ini merupakan peringatan. Bisnis-bisnis di Vietnam perlu menyeimbangkan jaringan hubungan dewan direksi dengan independensi dan komitmen. Seorang direktur yang 'menjabat' terlalu banyak posisi dapat mengurangi kemampuan untuk memantau dan merespons isu-isu ESG, terutama dalam konteks meningkatnya risiko reputasi.”
Untuk mempromosikan ESG, para ahli merekomendasikan perlunya kerangka hukum yang lebih sinkron dan transparan, membantu bisnis dengan percaya diri menerapkan strategi pembangunan berkelanjutan tanpa menghadapi ketidakpastian dari peraturan hukum.
Selain itu, faktor yang sama pentingnya adalah kurangnya komitmen dari para pemimpin senior. Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Phan Thi Thang, menekankan bahwa komitmen yang kuat dari para pemimpin senior merupakan faktor penentu implementasi ESG yang efektif. Namun, pada kenyataannya, banyak CEO masih belum menganggap ESG sebagai strategi jangka panjang, melainkan hanya sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Kurangnya komitmen ini menyebabkan strategi ESG tidak diimplementasikan secara sinkron dan kurangnya investasi yang diperlukan dalam hal keuangan dan sumber daya.
Inilah salah satu alasan utama mengapa banyak bisnis belum melakukan perubahan nyata dalam produksi dan aktivitas bisnis mereka untuk memenuhi komitmen ESG. Profesor Madya Dr. Nguyen Hong Quan juga menekankan bahwa kurangnya kepemimpinan dan komitmen dari para direktur akan menyulitkan bisnis untuk menerapkan strategi pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan secara substansial. Oleh karena itu, bisnis perlu meningkatkan kesadaran para pemimpin mereka tentang pentingnya ESG, sehingga mereka bertekad untuk menerapkannya dan memastikan keberhasilannya.
Ketiga, penerapan model ekonomi sirkular masih sulit. Hal ini merupakan faktor penting dalam penerapan ESG, tetapi transisi ke model ini di Vietnam masih menghadapi banyak kesulitan. Alasan utamanya adalah kurangnya pendanaan dan teknologi bagi bisnis untuk menerapkan inisiatif berkelanjutan.
Menurut Associate Professor Dr. Nguyen Hong Quan, kurangnya mekanisme keuangan untuk mendukung transisi menuju model ekonomi sirkular telah menghalangi banyak bisnis untuk berinvestasi dalam teknologi hijau dan solusi hemat sumber daya. Banyak bisnis ingin menerapkan ESG tetapi tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengembangkan teknologi daur ulang, hemat energi, atau pengelolaan limbah.
Selain itu, bisnis juga menghadapi kurangnya kesadaran akan nilai jangka panjang model ekonomi sirkular, yang menyebabkan mereka enggan berinvestasi dalam solusi berkelanjutan karena mereka yakin manfaat jangka pendek akan terdampak. Oleh karena itu, kurangnya mekanisme dukungan keuangan dan kebijakan dari Negara menyulitkan bisnis untuk menerapkan komitmen ESG.
Keempat, permintaan dari pasar internasional. Pada Forum Perdagangan Hijau 2025, Bapak Nicolas Lockhart, perwakilan dari Institut Penelitian Perdagangan Dunia (AS), menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Vietnam menghadapi persyaratan yang semakin ketat dari pasar internasional.
Secara khusus, bisnis yang mengekspor ke Uni Eropa harus memastikan transparansi informasi dan kepatuhan terhadap standar ESG, termasuk pelaporan lengkap mengenai dampak lingkungan dan sosial dari produk mereka. Bisnis harus menunjukkan bahwa produk mereka memenuhi persyaratan keberlanjutan yang ketat, dan ketidakpatuhan dapat mengakibatkan produk mereka ditarik dari pasar.
Persyaratan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) Uni Eropa telah menimbulkan tantangan besar bagi bisnis Vietnam, yang mengharuskan mereka mengurangi emisi karbon selama produksi dan pasokan produk. Hal ini mengharuskan bisnis untuk berinvestasi dalam solusi teknologi baru dan mengoptimalkan proses produksi untuk memenuhi persyaratan pasar internasional.
Akhirnya, untuk berhasil menerapkan ESG, kerja sama antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Bapak Tang Huu Phong, Wakil Kepala Departemen Propaganda dan Mobilisasi Massa Komite Partai Kota Ho Chi Minh, menekankan bahwa pemerintah daerah memainkan peran yang sangat penting dalam mendukung pelaku bisnis dalam menerapkan ESG. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan untuk mendukung pelaku bisnis, termasuk menyediakan modal, teknologi, dan kebijakan pajak preferensial untuk mendorong transformasi hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, koordinasi antara otoritas dan organisasi masyarakat juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi bisnis dalam menerapkan strategi ESG. Hanya ketika semua pihak berpartisipasi, ESG dapat benar-benar terwujud dan menciptakan nilai jangka panjang bagi perekonomian Vietnam.
Sumber: https://doanhnghiepvn.vn/doanh-nghiep/nhieu-rao-can-voi-doanh-nghiep-viet-nam-khi-thuc-hien-esg/20250707084211668
Komentar (0)