
Membangun, memelihara dan mempromosikan lingkungan budaya akar rumput saat ini merupakan kebutuhan mendesak dan prasyarat bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Masih ada “lahan kosong”
Selama beberapa tahun terakhir, Departemen Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata telah secara konsisten melaksanakan serangkaian program yang berorientasi pada akar rumput: Dari Festival Pertunjukan Budaya Rakyat Truong Son - Tay Nguyen, Festival Pertunjukan Chau Van, Festival Nasional Don Ca Tai Tu, hingga Festival Menyanyi Buruh Nasional, Kontes Menyanyi Buruh... Di sana, orang-orang dapat hidup di ruang budaya mereka sendiri, bangga dengan warisan yang dibudidayakan selama beberapa generasi.
Namun, gambaran lingkungan budaya akar rumput di seluruh negeri masih beragam. Di banyak daerah, gerakan "Seluruh rakyat bersatu membangun kehidupan berbudaya" masih menjadi pilar, tetapi tingkat penyebaran dan kedalamannya berbeda-beda. Di beberapa tempat, gerakan ini nyata, dihargai oleh masyarakat sebagai cara hidup yang indah; di tempat lain, gerakan ini hanya sebatas slogan-slogan dinding, komitmen yang ditandatangani tanpa banyak kegiatan. Lembaga-lembaga budaya, mulai dari rumah budaya komunal, pusat pembelajaran komunitas, hingga perpustakaan, klub... di banyak daerah masih kurang dan lemah. Di banyak tempat, "rumah budaya" hanyalah ruangan-ruangan kecil yang terkunci sepanjang tahun; taman bermain dan lapangan olahraga bagi masyarakat masih jarang. Kegiatan budaya akar rumput seringkali terhambat oleh laju kehidupan pasar, ledakan jejaring sosial, dan tren hiburan yang cepat dan mudah.
Bersamaan dengan itu, sisi negatif ekonomi pasar dan teknologi digital juga sangat memengaruhi fondasi budaya. Perilaku menyimpang, menurunnya semangat kekeluargaan, ketidakpedulian terhadap perayaan tradisional, atau gaya hidup pragmatis perlahan-lahan menyusup ke setiap sudut kehidupan akar rumput. Lingkungan budaya keluarga, sel pertama masyarakat, juga mengalami banyak perubahan: Makan bersama semakin jarang, dialog digantikan oleh keheningan dengan perangkat elektronik, tradisi perilaku baik hati, penuh kasih sayang, gaya hidup harmonis, rasa hormat terhadap tugas, kasih sayang, hormat kepada yang lebih tua dan yang lebih muda... terkadang tergantikan oleh ketidakpedulian dan ketidakpekaan dalam ritme kehidupan yang serba cepat.
Perlu disebutkan bahwa lingkungan budaya dasar bukan hanya ruang fisik, tetapi juga ekosistem spiritual, termasuk standar perilaku, keyakinan, kebiasaan, gaya hidup, dan cara berpikir manusia. Ketika ekosistem tersebut rusak, masyarakat akan sulit menemukan keseimbangan dan keberlanjutan. Sebagaimana dikomentari oleh banyak peneliti, "lingkungan budaya adalah tembok yang melindungi fondasi ideologis dan kepribadian masyarakat Vietnam". Dan tembok itu, di banyak tempat, menunjukkan "retakan".
Dapat dikatakan bahwa kebijakan membangun lingkungan budaya di tingkat akar rumput sudah jelas, tetapi implementasinya belum seragam. Sebagian karena persepsi bahwa banyak tingkatan dan sektor masih menganggap budaya sebagai bidang yang "lunak" dan "nirlaba", budaya mudah dikesampingkan demi tujuan ekonomi. Di tingkat akar rumput, pejabat budaya seringkali memegang jabatan rangkap, kekurangan dana, dan kurangnya alat penilaian yang efektif, sehingga implementasinya masih berupa gerakan.
Selain itu, sumber daya investasi untuk budaya akar rumput masih terbatas, sementara permintaannya meningkat. Di beberapa daerah, sebuah rumah budaya harus melayani ribuan orang, beroperasi dalam bentuk sosialisasi tetapi kurang arahan khusus, yang menyebabkan fragmentasi dan kurangnya keberlanjutan. Pelatihan dan pengembangan staf budaya akar rumput juga tidak memadai. Banyak orang yang ditugaskan untuk bertanggung jawab atas budaya tetapi belum menerima pelatihan khusus, kurang memiliki keterampilan berorganisasi, pengetahuan tentang konservasi warisan, keterampilan komunikasi, dan mobilisasi massa. Selain itu, dampak jaringan sosial, di mana "lingkungan budaya baru" sedang terbentuk, menimbulkan tantangan dalam manajemen dan orientasi nilai. Tren negatif, konten anti-budaya, berita palsu, dan gaya hidup menyimpang dapat menyebar dengan cepat, mengikis nilai-nilai tradisional.

Melestarikan identitas, membangun lingkungan yang sehat
Menciptakan ruang budaya berkelanjutan dari akarnya
Agar lingkungan budaya di tingkat akar rumput benar-benar menjadi "tempat pembibitan kepribadian" dan fondasi bagi pembangunan berkelanjutan, diperlukan sistem solusi yang sinkron, mulai dari penyadaran, mekanisme, tindakan, hingga pengawasan. Khususnya, perlu meningkatkan kesadaran dan kepemimpinan dalam membangun lingkungan budaya.
Pertama-tama, para pemimpin di semua tingkatan harus menyadari dengan jelas peran kunci budaya dalam pembangunan. Membangun lingkungan budaya bukanlah "pertunjukan sampingan", melainkan tugas utama dalam strategi pembangunan manusia, ekonomi, dan sosial. Para pemimpin, lembaga, dan unit lokal harus menjadi "inti budaya", panutan, yang menyebarkan semangat kemanusiaan, demokrasi, transparansi, dan rasa hormat kepada masyarakat.
Bersamaan dengan itu, perlu digalakkan propaganda dan edukasi tentang perilaku budaya di masyarakat, terutama generasi muda, melalui program televisi, teater, platform digital, dan kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, penyempurnaan kelembagaan, kebijakan, dan penyediaan sumber daya perlu dilakukan karena membangun lingkungan budaya membutuhkan kerangka hukum yang jelas, stabil, dan mengikat. Saat ini, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata sedang melaksanakan rencana pembangunan lingkungan budaya akar rumput untuk periode 2023-2025, dengan penekanan pada pencantuman kriteria budaya dalam penilaian kader, pegawai negeri sipil, serta kinerja aparatur akar rumput.
Negara perlu memiliki kebijakan untuk mendukung pendanaan lembaga budaya, memprioritaskan investasi infrastruktur di daerah tertinggal; mendorong sosialisasi tetapi harus memiliki pedoman dan standar khusus untuk menghindari komersialisasi budaya. Pada saat yang sama, kriteria penilaian lingkungan budaya akar rumput harus dilengkapi, yang dikaitkan dengan indeks kebahagiaan, kepuasan masyarakat, dan tingkat partisipasi dalam kegiatan budaya dan kemasyarakatan. Lingkungan budaya yang berkelanjutan tidak akan terwujud jika masyarakat bukan subjeknya. Setiap komunitas, desa, dusun, kelompok pemukiman... perlu secara proaktif membangun konvensi dan kesepakatan budayanya sendiri, yang sesuai dengan karakteristik daerah tetapi tidak bertentangan dengan standar umum.
Lembaga budaya perlu "dihidupkan kembali" melalui beragam kegiatan: forum budaya, klub seni, seminar komunitas, ruang baca, kegiatan musik rakyat, permainan rakyat... Kegiatan-kegiatan ini membantu masyarakat mendapatkan kembali keterikatan dan kebanggaan mereka terhadap tanah air, sehingga membentuk "perlawanan budaya" terhadap tren asing. Khususnya, perlu difokuskan pada pembangunan lingkungan budaya di keluarga dan sekolah, dua tempat pertama pembentukan kepribadian. Ketika anak-anak hidup dalam suasana saling menghormati dan kasih sayang, serta dididik melalui aksi budaya, alih-alih slogan, masyarakat akan benar-benar damai.
Di era digital, lingkungan budaya daring tidak dapat diabaikan. Di sinilah anak muda paling banyak berinteraksi, sehingga perlu dipupuk dengan nilai-nilai positif. Penting untuk mendorong daerah, lembaga, dan organisasi untuk menciptakan konten budaya digital seperti film pendek, podcast, pameran daring, platform edukasi budaya lokal, dan sebagainya untuk menyebarkan keindahan dan kebaikan.
Pada saat yang sama, perlu ada mekanisme untuk mengelola, memantau, dan merespons dengan cepat konten anti-budaya, berita palsu, dan kekerasan verbal di media sosial. Lingkungan budaya akar rumput tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ekonomi masyarakat. Ketika budaya menjadi penggerak pembangunan, melalui pariwisata komunitas, produk desa kerajinan, festival hijau, seni jalanan, kuliner tradisional, dll., masyarakat akan secara sukarela melindungi dan mempromosikan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, budaya akar rumput perlu dilihat sebagai sumber daya endogen, bukan sekadar "hiasan pembangunan".
Membangun budaya akar rumput bukanlah pekerjaan sehari atau gerakan, melainkan proses yang berkelanjutan dan berjangka panjang. Dimulai dari hal-hal yang terkecil, dari perilaku warga satu sama lain, dari keteladanan pemimpin, dari tatapan ramah di jalan desa, hingga kegiatan kemasyarakatan di rumah adat desa.
Ketika setiap komunitas menjadi "ruang budaya yang hidup", ketika masyarakat dibesarkan dalam lingkungan yang manusiawi, saat itulah budaya kembali ke tempatnya yang semestinya: fondasi spiritual masyarakat, penggerak pembangunan berkelanjutan. Dan dalam arus baru negara saat ini, menjaga kebersihan lingkungan budaya dasar juga menjaga jiwa Vietnam tetap lestari selamanya.
Sumber: https://baovanhoa.vn/van-hoa/tu-nep-song-dep-den-phat-trien-ben-vung-174839.html
Komentar (0)