Jurnalisme dan “Pertempuran untuk Bertahan Hidup” Dunia telah menyaksikan banyak ketidakstabilan dan perang sengit di tahun 2023. Pers juga baru saja melewati banyak "perang" yang bisa dibilang merupakan upaya bertahan hidup. Yaitu ketika mereka terjun ke tengah bom dan peluru untuk melaporkan konflik atau bencana. Selain itu, ini juga merupakan perang melawan misinformasi untuk mendapatkan kembali kebenaran dan perang untuk bertahan hidup melawan penindasan raksasa teknologi! |
Di masa perang, tugas pers bukan hanya menyampaikan kebenaran kepada khalayak, tetapi juga memberi peringatan tentang kekejaman perang, sehingga turut serta dalam pencarian perdamaian bagi umat manusia.
Menjelang akhir tahun 2022, organisasi pers di seluruh dunia melaporkan bahwa tahun itu adalah tahun paling mematikan bagi jurnalis, dengan 58 orang yang bekerja di industri media dan jurnalisme tewas saat bertugas. Ini merupakan jumlah tertinggi dalam empat tahun terakhir, bahkan naik 13,7% dibandingkan tahun 2021. Lebih luas lagi, periode 2003 hingga akhir 2022 juga dianggap sebagai dekade paling mematikan bagi industri jurnalisme, dengan hampir 1.700 orang tewas.
Namun, tahun 2023 merupakan tahun yang paling menakutkan bagi dunia jurnalisme dalam beberapa tahun terakhir, ketika serangkaian perubahan besar di dunia, mulai dari bencana alam, malapetaka, kekerasan geng, kebencian dan terutama perang, telah secara langsung menimbulkan bahaya bagi jurnalis yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
Tahun 2023 belum berlalu, dan "catatan menyedihkan" bagi jurnalisme telah tercipta. Hingga akhir November 2023, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) telah menghitung 69 jurnalis yang meninggal saat menjalankan tugasnya, misalnya dalam pertempuran, atau secara tidak langsung karena pekerjaan jurnalisme mereka, misalnya dibunuh karena meliput kegiatan geng.
Tentu saja, angka tersebut tidak mencerminkan sepenuhnya tingkat bahaya yang dihadapi jurnalis selama 12 bulan terakhir. Tidak ada statistik komprehensif mengenai jumlah jurnalis yang mengalami cedera fisik, apalagi mereka yang mengalami trauma dan ancaman psikologis akibat peristiwa mengerikan yang mereka liput, terutama dalam konflik bersenjata.
Para wartawan internasional bekerja di kota Sderot, Israel selatan, sementara pertempuran dengan Hamas berkecamuk. Foto: AFP
Perang Israel-Gaza terlalu sengit bagi jurnalis
Seluruh dunia pers berduka ketika diumumkan pada 25 Oktober bahwa Wael Dahdouh, koresponden Al Jazeera di Gaza, telah kehilangan seluruh keluarganya akibat serangan udara Israel, termasuk istri, putra, putri, dan cucunya. Peristiwa ini terasa sangat emosional karena berita kematian jurnalis tersebut datang saat ia sedang meliput langsung dari lokasi perang.
Setelah menerima kabar buruk tersebut, siaran langsung jurnalis Wael Dahdouh tetap berlanjut, tetapi kali ini lensa kamera terfokus pada Wael Dahdouh sebagai subjek. Tim reporter terus merekam dan mengikutinya ke rumah sakit, tempat jenazah orang-orang terkasihnya terbaring. Gambaran Wael Dahdouh yang dengan susah payah menggendong jenazah putri kecilnya yang terbungkus kain kafan, yang ditayangkan langsung di televisi, membuat semua penonton terharu.
Para jurnalis perang selalu menyadari dan dianjurkan bahwa mereka harus melindungi nyawa mereka sendiri terlebih dahulu. Namun bagi jurnalis Palestina di Gaza, memastikan nyawa mereka adalah hal yang mustahil, karena mereka harus memainkan dua peran dalam perang ini: sebagai warga zona perang dan sebagai jurnalis yang bertanggung jawab untuk terjun ke lapangan dan meliput. Namun, Wael Dahdouh dan banyak jurnalis lainnya tidak menyerah pada misi mereka untuk menyampaikan informasi kepada dunia, bahkan setelah kehilangan orang-orang terkasih dan menyadari bahwa mereka bisa kehilangan nyawa kapan saja.
Tak diragukan lagi, perang di Gaza telah menjadi lebih dari sekadar mimpi buruk bagi para jurnalis Palestina, dan tak berlebihan jika dikatakan "neraka". Patut dicatat bahwa konflik Ukraina-Rusia adalah perang terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II dan jauh lebih besar skalanya daripada perang di Gaza. Namun, dalam hampir dua tahun terakhir, hanya sekitar 17 jurnalis yang tewas saat bertugas.
Wartawan Palestina Wael Dahdouh berduka saat menerima jenazah istri dan dua anaknya di sebuah rumah sakit di Gaza. Foto: Al Jazeera
Ancaman terhadap jurnalis perempuan meningkat di seluruh dunia Meskipun kesetaraan gender di dunia telah mengalami kemajuan selama bertahun-tahun, ancaman dan diskriminasi terhadap jurnalis perempuan berisiko meningkat akibat ketidakstabilan dan krisis di dunia. Menurut studi UNESCO dan Pusat Jurnalis Internasional (ICFJ) pada Mei 2023, 20% jurnalis perempuan di seluruh dunia telah mengalami ancaman, pelecehan, ujaran kebencian, dan pelecehan daring. Lebih lanjut, dalam rangka Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2023, Women in Journalism (WIJ) merilis survei yang menyoroti isu kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Dari 403 responden, 25% mengaku pernah mengalami pelecehan seksual atau kekerasan seksual terkait pekerjaan. Sebanyak 75% jurnalis perempuan mengaku pernah mengalami ancaman atau ancaman terhadap keselamatan mereka, dan hampir 20% jurnalis perempuan mempertimbangkan untuk meninggalkan industri ini sepenuhnya. Jurnalis perempuan menjadi korban ujaran kebencian di media sosial. Foto ilustrasi: GI |
Namun hingga 21 November, sekitar satu setengah bulan sejak pecahnya perang, konflik antara Israel dan Palestina telah mengakibatkan 53 wartawan terbunuh di berbagai wilayah, dari Gaza, Tepi Barat hingga bentrokan di perbatasan Israel-Lebanon.
Menurut statistik, korban tewas termasuk 46 warga Palestina, 4 jurnalis Israel, dan 3 warga Lebanon. Selain itu, puluhan jurnalis terluka saat bertugas di medan perang, termasuk anggota kantor berita besar dunia seperti Reuters, AFP, dan Al Jazeera.
Perang di Israel dan Gaza serta front-front terkaitnya merupakan tantangan terberat, bahkan bagi koresponden perang veteran sekalipun, karena jarak antara target serangan dan lokasi kerja jurnalis sangat rentan. Sebagai contoh, dua jurnalis dari saluran TV Pan-Arab Al-Mayadeen terkena tembakan artileri dan tewas di perbatasan Lebanon dengan Israel pada pertengahan November. Sebelumnya, sebuah pusat media di Lebanon yang dihuni banyak jurnalis internasional juga terkena tembakan artileri, menewaskan satu orang dan melukai enam lainnya.
Dengan demikian, bukan hanya jurnalis Palestina di Gaza yang terancam nyawanya dalam perang ini, tetapi jurnalis internasional yang dengan berani meliput perang ini juga dapat menghadapi kematian kapan saja. Dalam perang ini, kantor berita internasional besar seperti CNN, Reuters, AP, CBS, FOX, atau ABC News juga mengirimkan koresponden perang untuk meliput dan melaporkan secara langsung pertempuran antara kedua belah pihak. Rekaman menakjubkan yang direkam para jurnalis selama perjalanan kerja mereka telah menghadirkan kepada dunia gambaran mengerikan dan ketakutan yang ekstrem dalam perang. Rekaman-rekaman tersebut sebagian membantu kita memahami betapa menakutkannya perang, betapa berharganya perdamaian!
Bahaya di "garis pertempuran"
Tentu saja, 2023 bukan hanya tahun yang penuh risiko besar bagi jurnalis dalam konflik Israel-Palestina, tetapi juga dalam berbagai perang dan krisis lainnya. Perlu dicatat bahwa jurnalis ke-17 yang tewas dalam perang Rusia-Ukraina baru terjadi pada 23 November tahun ini, ketika reporter televisi Rusia Boris Maksudov dari saluran Rossiya 24 tewas dalam serangan udara dan penembakan Ukraina di Zaporizhzhia.
Jadi, bahaya bagi jurnalis di Rusia dan Ukraina – yang setiap hari menyampaikan informasi langsung tentang perang kepada dunia – belum berkurang selama hampir dua tahun, terlepas dari pihak mana mereka berada dalam konflik tersebut. Dan sekarang, seperti situasi perang secara umum, belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Perang dan bencana akan meletus di berbagai benua pada tahun 2023. Dan tentu saja, di sinilah para jurnalis harus berpijak untuk membantu dunia mengetahui apa yang sedang terjadi. Artinya, sebanyak apa pun krisis yang terjadi di dunia, jurnalis akan menghadapi banyak bahaya, bahkan mungkin kehilangan nyawa atau bahkan harus kehilangan pekerjaan.
Perang saudara di Sudan awal tahun ini menggambarkan situasi tersebut. Pertempuran antara dua faksi militer di negara Afrika tersebut telah membahayakan para jurnalis dan memperparah tantangan yang mereka hadapi dalam pekerjaan mereka. Akibat krisis ini, ratusan jurnalis tidak hanya menghadapi risiko dalam pekerjaan mereka, tetapi juga kemungkinan untuk melanjutkan karier mereka, karena mereka terpaksa beremigrasi atau organisasi berita mereka terpaksa bubar akibat pertempuran.
Di Afghanistan, sebagian besar jurnalis perempuan juga terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka karena kebijakan keras pemerintah Taliban terhadap perempuan. Banyak dari mereka yang rumahnya digerebek, ditangkap, diancam, dipenjara, dan sebagainya. Situasi di atas merupakan hal yang umum terjadi dalam banyak konflik lain di seluruh dunia pada tahun 2023, dan juga sebelumnya.
Sementara itu, gempa bumi dahsyat di Turki dan Suriah telah membawa pengalaman mengerikan lainnya bagi para jurnalis. Selain menjadi korban gempa susulan, menyaksikan bencana dahsyat ini akan memengaruhi semangat para jurnalis. Menurut para koresponden perang, melarikan diri dari kisah-kisah memilukan yang mereka saksikan dalam peristiwa mengerikan seperti gempa bumi yang menewaskan hampir 60.000 orang bukanlah hal yang mudah, bahkan menjadi obsesi seumur hidup.
Serangan terhadap jurnalis saat bertugas terjadi di seluruh dunia. Foto: WAFA Reporter diserang saat bekerja, di mana-mana! Penyerangan atau perampokan wartawan saat bekerja semakin umum dan terjadi hampir di seluruh dunia. Tepat pada konferensi APEC 2023 di San Francisco pertengahan November lalu, sekelompok wartawan Ceko dirampok dengan todongan senjata dan peralatan mereka dicuri. Sebelumnya, pada bulan Agustus di Chicago, dua wartawan dirampok saat meliput perampokan! Di AS, pada akhir Februari, seorang wartawan Florida TV ditembak mati saat meliput kasus pembunuhan sebelumnya. Di Meksiko saja, wartawan yang menyelidiki geng ditembak atau diserang hampir setiap hari. Sementara itu, di Ekuador, sebuah bom surat dikirim ke sebuah stasiun TV pada akhir Maret. Yang lebih mengejutkan, seorang pembawa berita terkenal di Filipina ditembak mati saat siaran langsung. |
Sebuah misi untuk memperingatkan tentang kekejaman perang
Selain perang, konflik, dan bencana, tahun 2023 juga akan menyaksikan banyak ketidakstabilan lain yang akan berdampak besar pada jurnalisme. Misalnya, krisis politik, keamanan, dan ekonomi yang sedang berlangsung di Pakistan telah menempatkan jurnalis di sana pada risiko ekstrem saat menjalankan tugas mereka. Mereka menghadapi ancaman terhadap nyawa mereka, penculikan, serangan, kekerasan, dan sebagainya.
Menurut laporan UNESCO, 90 jurnalis terbunuh di negara itu antara tahun 2002 dan 2022. Hal ini berlanjut hingga tahun 2023. Pada bulan April tahun ini, direktur Bol Media Group diculik karena alasan etnis. Sementara itu, Muhammad Qasim, seorang reporter veteran untuk surat kabar Ummat, berbagi: “Konsekuensinya cepat dan mengerikan. Saya sering menjadi sasaran ancaman. Hidup saya berubah selamanya karena judul artikel surat kabar.”
Kisah Muhammad Qasim tidak diragukan lagi bergema di negara-negara lain yang dilanda kekerasan geng dan korupsi, seperti Ekuador, Haiti dan terutama Meksiko – yang merupakan tempat paling berbahaya bagi jurnalis sebelum konflik Israel-Palestina.
Tahun 2023, dengan begitu banyak peristiwa mengerikan, telah secara langsung menyebabkan penderitaan dan kerugian besar bagi dunia jurnalisme secara umum. Namun, terlepas dari itu, tahun 2023 telah menunjukkan dan menyoroti nilai serta peran jurnalisme sejati. Para jurnalis dan koresponden perang telah dengan berani terjun ke medan perang untuk membantu dunia mengetahui apa yang terjadi, meskipun itu mengerikan.
Itu juga berarti bahwa jurnalis tidak hanya mencatat kebenaran, tetapi juga berkontribusi pada perdamaian dan keberlanjutan dunia melalui artikel, gambar, dan film mereka; membantu dunia memahami bahwa perang, kekerasan, atau bencana iklim bukanlah lelucon, tetapi sangat kejam!
Hai Anh
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)