Terletak di tepi laguna O Loan yang indah, desa anyaman tikar rumput rawa Phu Tan ( Dak Lak ) adalah salah satu desa kerajinan tradisional tertua di wilayah pesisir bagian selatan tengah.
Selama lebih dari satu abad terbentuk dan berkembang, profesi anyaman tikar lalang tidak hanya menciptakan mata pencaharian bagi ratusan rumah tangga tetapi juga menjadi simbol budaya, yang mengkristalkan gaya hidup, jiwa, dan identitas masyarakat di sini.
Terlepas dari pasang surut sejarah dan perubahan kehidupan modern, desa kerajinan ini telah mempertahankan ritme kerjanya yang abadi.
Suara mesin tenun yang bergema di seluruh desa setiap pagi telah menjadi suara yang familiar, terkait dengan kenangan banyak generasi penduduk Phu Tan.
Dari rumput rawa sederhana hingga tikar yang indah
Bahan utama yang digunakan untuk membuat tikar Phu Tan adalah rumput teki (juga dikenal sebagai rumput rawa), tanaman yang tumbuh subur di lahan basah dan air payau di sekitar laguna.
Rumput teki dipanen sesuai musim, kemudian dijemur selama beberapa hari hingga kering secara alami, setelah itu dipisahkan, dibersihkan, dan dipilah berdasarkan ukuran seratnya.
Salah satu langkah terpenting adalah pewarnaan. Dahulu, orang menggunakan pewarna alami yang diekstrak dari kulit pohon dan dedaunan hutan. Nuansa merah, kuning, dan hijau sederhana namun tahan lama dan berakar kuat dalam tradisi rakyat.
Saat ini, untuk memenuhi permintaan pasar, produsen menggunakan pewarna industri, yang membantu menciptakan warna yang lebih cerah dan seragam sambil tetap mempertahankan semangat pencampuran warna tradisional.

Setelah diwarnai, alang-alang dikeringkan lagi dengan udara hingga mencapai kelenturan dan kilau yang diinginkan, serta tidak rapuh atau mudah patah.
Dari serat rumput teki yang tampak sederhana itu, di bawah tangan terampil seorang pengrajin, secara bertahap terbentuklah tikar yang tahan lama dan indah.
Irama alat tenun - harmoni desa kerajinan
Alat tenun tikar tradisional seluruhnya terbuat dari kayu dan bambu, dengan struktur yang sederhana namun kokoh. Kerajinan anyaman tikar di Phu Tan membutuhkan dua penenun yang bekerja sama secara harmonis: satu orang merangkai serat alang-alang, sementara yang lain menggunakan tongkat untuk menekan setiap serat dengan kuat.
Bunyi "klak-klak" balok kayu yang berirama, diselingi percakapan dan tawa para pekerja, menciptakan suasana kerja khas yang semarak sekaligus akrab. Bukan hanya suara profesi mereka, tetapi juga ritme kehidupan, "napas" seluruh desa.

Setiap keset yang telah selesai dibuat harus memenuhi kriteria yang ketat: permukaan yang rata, serat yang ditenun rapat, pola yang seimbang, dan warna yang harmonis. Oleh karena itu, keset yang baik bukan sekadar produk konsumen, melainkan juga memiliki tampilan layaknya sebuah karya seni.
Saat ini, desa anyaman alang-alang Phu Tan memiliki 219 rumah tangga yang terlibat langsung dalam produksi, dengan lebih dari 550 pekerja tetap. Keistimewaannya adalah profesi anyaman tikar tidak terbatas usia: lansia dapat berpartisipasi dalam tahap-tahap ringan seperti membelah alang-alang, mewarnai, sementara anak-anak dapat membantu mengeringkan alang-alang, dan menggulung benang sepulang sekolah.
Keterlibatan berbagai generasi dalam proses produksi yang sama telah menjadikan profesi anyaman tikar sebagai "sekolah" alami untuk mewariskan profesi ini. Keterampilan, pengalaman, dan kecintaan terhadap profesi ini diwariskan secara diam-diam dari ayah ke anak, membentuk identitas unik komunitas Phu Tan.
Bagi masyarakat di sini, alat tenun bukan hanya alat kerja, tetapi juga bagian dari kenangan masa kecil mereka, saksi perubahan kehidupan pedesaan selama beberapa dekade.
Melestarikan warisan budaya dari komunitas hingga museum.
Menghadapi tekanan persaingan produk industri murah, kerajinan anyaman tikar alang Phu Tan telah berupaya mencapai arah pembangunan berkelanjutan. Salah satu solusi penting adalah menghubungkan desa kerajinan dengan wisata pengalaman dan wisata budaya.
Berdirinya Koperasi Produksi, Layanan, dan Pariwisata Tikar Alang An Cu menandai titik balik bagi desa kerajinan ini. Melalui koperasi ini, masyarakat dapat terhubung dengan agen perjalanan dan mengatur tur untuk mengunjungi desa kerajinan. Saat berkunjung ke Phu Tan, pengunjung tidak hanya dapat melihat proses menenun tikar, tetapi juga dapat merasakan langsung beberapa tahapan seperti membelah alang, menguji tenunan, dan mewarnainya dengan tangan.
Seiring dengan pengembangan pariwisata, pelestarian kerajinan tradisional juga menjadi perhatian.

Museum Dak Lak telah mengoleksi dan memamerkan seperangkat alat tenun tikar alang-alang tradisional yang disumbangkan oleh Tn. Nguyen Hoang Quan, Direktur Koperasi An Cu, termasuk alat tenun, alat tenun, dan banyak barang terkait.
Membawa artefak kerajinan ini ke ruang museum tidak hanya membantu melestarikan memori profesi tersebut, tetapi juga membantu generasi muda dan masyarakat umum memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai budaya tenun tikar.
Terlepas dari berbagai kesulitan dan tantangan, kerajinan anyaman tikar rumput rawa Phu Tan telah dilestarikan berkat dedikasi para perajin dan dukungan dari pemerintah setempat.
Berdirinya koperasi, berkembangnya wisata desa kerajinan, dan terjalinnya hubungan dunia usaha secara bertahap membuka jalur baru pembangunan, yang selaras dengan pelestarian dan pemanfaatan nilai-nilai budaya.
Dari serat alang-alang sederhana, melalui tangan terampil para perajin, tikar dibuat setiap hari, membawa esensi Laguna O Loan, sinar matahari dan angin Vietnam Tengah, serta cinta abadi terhadap tanah air mereka.
Suara ritmis alat tenun masih bergema di rumah-rumah kecil Phu Tan, seperti detak jantung waktu, mengingatkan kita bahwa di tengah kehidupan modern, "semangat kerajinan" masih diam-diam dilestarikan, dilanjutkan, dan disebarkan.
Sumber: https://www.vietnamplus.vn/lang-det-chieu-coi-phu-tan-hon-nghe-tram-nam-ben-dam-o-loan-post1074576.vnp










Komentar (0)