Sebagai salah satu negara penghasil pertanian terkemuka di Asia Tenggara, Vietnam menghadapi masalah besar berupa limbah sampingan pertanian.
Vietnam membuang hingga 8,8 juta ton makanan setiap tahunnya, menyebabkan kerugian sebesar US$3,9 miliar, setara dengan 2% PDB, menurut laporan CEL Consulting. Dari jumlah tersebut, buah-buahan dan sayur-sayuran menyumbang 7,3 juta ton, terutama akibat pengawetan yang buruk, penanganan pascapanen yang tidak tepat, dan pemanfaatan hasil samping pertanian yang tidak efektif.
Dari kulit buah yang dibuang hingga sayuran yang dibuang, sebagian besar produk sampingan ini sering dianggap sebagai limbah. Namun, Dr. Truong Thuc Tuyen, Kepala Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Sains , Teknik, dan Teknologi, Universitas RMIT Vietnam, melihatnya dari perspektif yang berbeda.
"Produk sampingan pertanian bukanlah limbah, melainkan sumber daya yang belum dimanfaatkan," ujar Dr. Tuyen. Misalnya, kulit jeruk bali dan jeruk, yang kaya akan senyawa biologis, minyak esensial, serat, dan nutrisi berharga, telah lama dikenal karena beragam aplikasi industrinya.
Berkat penelitian inovatif, produk sampingan ini kini diolah menjadi solusi seperti bubuk penyerap minyak yang diekstrak dari kulit jeruk bali, yang menggantikan lemak padat. Pendekatan perintis ini tidak hanya menambah nilai tambah pada produk sampingan pertanian, tetapi juga membuka jalan bagi produksi pangan yang lebih sehat dan berkelanjutan, yang menunjukkan potensi pertanian sirkular.
Dengan memanfaatkan inovasi ini, inisiatif Dr. Tuyen dan rekan-rekannya membentuk arah baru bagi industri makanan Vietnam, dengan fokus pada keberlanjutan dan efisiensi.
Kulit jeruk bali, yang sering dibuang sebagai limbah, sekarang dapat diubah menjadi aerogel - bahan ultra-ringan yang dapat menyerap minyak dan menggantikan lemak dalam produk daging, memberikan solusi yang lebih berkelanjutan dan lebih sehat.
Limbah hasil samping pertanian masih menjadi masalah yang belum terpecahkan.
Sebagai salah satu negara penghasil pertanian terkemuka di Asia Tenggara, Vietnam menghadapi masalah besar terkait limbah pertanian. Produk sampingan seperti kulit jeruk bali atau kulit jeruk sering dibuang dan tidak dimanfaatkan secara efektif.
Menanggapi tantangan yang semakin besar ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan solusi inovatif bagi pemanfaatan produk sampingan. Pemanfaatan kulit jeruk bali dan jeruk di Vietnam untuk aplikasi di sektor pangan, kosmetik, pertanian, dan lingkungan merupakan contoh utama praktik baik dalam mengurangi limbah dan meningkatkan nilai. Namun, upaya ini masih menghadapi tantangan seperti kualitas yang tidak konsisten, skalabilitas yang terbatas, dan perlunya penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam untuk memaksimalkan potensinya.
Contoh spesifik dari masalah ini adalah dalam proses produksi makanan dari jeruk bali, di mana sebagian besar produk sampingan dari buah ini seringkali terbuang sia-sia. Dr. Tuyen mengatakan: "Kulit jeruk bali mencapai 30% dari berat buah, tetapi sebagian besar dibuang atau hanya digunakan sebagai pakan ternak." Seiring meningkatnya produksi jeruk bali untuk memenuhi konsumsi domestik dan permintaan ekspor, jumlah limbah juga meningkat, sehingga meningkatkan tekanan pada lingkungan dan sistem pengelolaan limbah. Tantangan ini tidak hanya terjadi pada jeruk bali, tetapi juga umum terjadi pada sebagian besar produk pertanian.
Selain masalah lingkungan, masalah ini mengurangi efisiensi seluruh rantai pasokan. Penyimpanan yang tidak memadai dan transportasi yang tidak efisien meningkatkan kehilangan pangan. Akibatnya, petani menderita kerugian finansial, bisnis berjuang melawan inefisiensi, dan konsumen menanggung harga yang lebih tinggi serta pasokan yang terbatas.
" Kita tidak bisa terus-menerus mempertahankan pola pikir 'produksi - konsumsi - buang' . Sebaliknya, kita perlu beralih ke model 'produksi - daur ulang - gunakan kembali' untuk mengoptimalkan seluruh rantai nilai," ujar Dr. Tuyen, menekankan urgensi penerapan solusi berkelanjutan.
Solusi inovatif: Daur ulang produk sampingan dan pengawetan cerdas
Untuk mengatasi masalah sampah makanan, proyek-proyek yang berfokus pada daur ulang produk sampingan telah dilaksanakan di Universitas RMIT Vietnam. Dengan pendekatan baru, Dr. Tuyen dan mahasiswa PhD-nya telah mengembangkan teknologi untuk mendaur ulang kulit jeruk bali menjadi bubuk penyerap minyak dan air.
Kulit jeruk bali, jika didaur ulang, dapat menjadi bubuk penyerap minyak, mengurangi hingga 90% lemak dalam makanan olahan.
Bubuk ini mampu menyerap hingga 90% minyak dan air, membantu menggantikan lemak dalam makanan olahan seperti bakso, mengurangi kalori sekaligus mempertahankan rasa dan tekstur. "Inovasi ini tidak hanya mengurangi kandungan lemak tetapi juga menjaga kualitas makanan," jelas Dr. Tuyen.
Saat ini, teknologi ini sedang diuji coba di Universitas RMIT di Melbourne (Australia) dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Setelah uji coba berhasil, solusi ini akan siap untuk produksi skala besar, membuka peluang bagi bisnis makanan Vietnam untuk menciptakan produk yang sehat dan ramah lingkungan.
Selain daur ulang, tim peneliti Teknologi Pangan dan Gizi RMIT Vietnam juga meneliti teknologi kemasan pintar untuk memperpanjang umur simpan dan mengurangi kerusakan selama transportasi dan penyimpanan. Salah satu fokus penelitian tim ini adalah memanfaatkan rumput laut di Vietnam untuk mengembangkan material kemasan inovatif yang berkontribusi pada peningkatan keberlanjutan dan efisiensi dalam rantai pasok.
Upaya RMIT tidak hanya mengatasi masalah sampah makanan, tetapi juga menciptakan keunggulan kompetitif bagi eksportir makanan Vietnam, dengan memberikan nilai tambah di pasar yang semakin berfokus pada keberlanjutan.
Membangun ekosistem pangan sirkular
Dr. Tuyen percaya bahwa daur ulang produk sampingan dan penerapan solusi pengawetan cerdas akan menciptakan ekosistem pangan sirkular - di mana semua produk sampingan didaur ulang dan digunakan kembali secara efektif.
"Jika kita berhasil mengubah produk sampingan menjadi sumber daya, industri makanan Vietnam akan memiliki peluang untuk meningkatkan nilai produk, mengurangi limbah, dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan," ujar Dr. Tuyen.
Untuk mewujudkan tujuan ini, Dr. Tuyen menyerukan kerja sama antara pelaku bisnis, pemerintah, dan lembaga penelitian untuk memperluas penerapan teknologi daur ulang dan pengawetan. Dengan konsensus para pemangku kepentingan, solusi ini dapat direplikasi, menciptakan rantai nilai pangan yang berkelanjutan.
Menurut survei Nielsen, 73% konsumen Vietnam bersedia membayar lebih untuk produk ramah lingkungan. Hal ini membuka peluang besar bagi bisnis untuk menyelaraskan upaya keberlanjutan dengan kebutuhan konsumen, sekaligus meningkatkan nilai merek.
“Kita perlu merombak seluruh rantai pasokan dan mengubah limbah sampingan menjadi sumber daya yang berharga,” ujar Dr. Tuyen.
Dengan visi dan kepemimpinannya yang inovatif, Dr. Tuyen membantu mentransformasi industri makanan Vietnam menuju ekonomi sirkular. Bersama timnya, beliau menerapkan inisiatif untuk mendaur ulang kulit jeruk bali, mengembangkan kemasan cerdas, dan meningkatkan kualitas pengawetan makanan – upaya yang tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menciptakan peluang bagi bisnis untuk meningkatkan nilai produk mereka.
“Masa depan pangan yang berkelanjutan bukan sekadar tujuan, melainkan syarat penting bagi keberadaan dan pembangunan kita,” tegas Dr. Tuyen.
[iklan_2]
Sumber: https://phunuvietnam.vn/nu-tien-si-bien-phu-pham-nong-nghiep-thanh-tai-nguyen-20250119171837985.htm
Komentar (0)