
Di tengah arus teknologi yang terus berubah, bagaimana memanfaatkan kekuatan AI sambil tetap menjaga semangat humanis profesi medis adalah pertanyaan bagi pelajar dan guru.
Belajar berteman dengan teknologi
Bukan hal asing lagi bagi generasi pelajar saat ini, AI telah merambah setiap aspek kehidupan sekolah. Hanya dengan beberapa operasi, siswa dapat memanfaatkan segudang pengetahuan, sehingga mempersingkat waktu penelitian.
Bahkan di bidang kedokteran—bidang yang menuntut presisi mutlak—AI menjadi "mitra" para mahasiswa. Menurut Master, Dokter Tran Dinh Trung, dosen di Universitas Teknologi Medis dan Farmasi, Da Nang , tren ini sebenarnya telah terlihat jelas dalam dua tahun terakhir.
Banyak mahasiswa, ketika mengerjakan studi kasus atau mendiskusikan kasus pasien, beralih ke ChatGPT atau platform AI lainnya sebagai referensi cepat. Mereka dapat mengetik beberapa baris yang menjelaskan gejala mereka dan menerima daftar diagnosis banding, bahkan saran pengobatan.
“Hal ini menunjukkan bahwa AI telah merambah ke dalam proses pembelajaran, mirip dengan bagaimana Google mengubah kebiasaan pencarian dokumen mahasiswa kedokteran lebih dari satu dekade lalu,” kata Dr. Trung.
Dr. Trung mengatakan bahwa ini merupakan peluang sekaligus risiko potensial. Di sisi positifnya, AI membantu siswa mengakses sejumlah besar pengetahuan, memperbarui informasi dengan cepat, dan menghemat waktu. Mengajukan pertanyaan kepada AI juga mendorong rasa ingin tahu akademis.
Namun, ada risiko besar bahwa siswa mungkin menjadi tergantung pada AI, melewatkan proses analisis dan perbandingan dokumen, atau tidak dapat memverifikasi keandalan informasi.
"Dalam profesi medis, keputusan yang salah tidak hanya memengaruhi skor, tetapi juga kehidupan manusia. Oleh karena itu, AI perlu dilihat sebagai alat pendukung, bukan "kompas" yang menggantikan landasan ilmiah dan pemikiran kritis," tegas Dr. Trung.
Tanggung jawab guru dan siswa
AI tidak hanya mengubah cara belajar, tetapi juga berdampak besar pada pengajaran dan praktik klinis, sehingga memaksa guru untuk mengubah cara mereka berkomunikasi dan mengevaluasi. Menurut Dr. Trung, sekolah kedokteran dapat memanfaatkan AI sebagai asisten pengajar virtual: menyarankan skenario kasus, mensimulasikan pencitraan diagnostik, atau mendukung penelitian.

Namun, agar AI benar-benar efektif, menetapkan standar penggunaan yang jelas sangatlah penting.
"Dosen harus meminta mahasiswa untuk menyatakan dengan jelas kapan mereka berkonsultasi dengan AI, dan membandingkan jawaban mereka dengan pedoman klinis resmi dari WHO, Kementerian Kesehatan , atau NICE… Lebih penting lagi, program pelatihan harus berfokus pada pelatihan keterampilan berpikir kritis, kapasitas praktik klinis, dan etika profesional. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya tahu cara "bertanya kepada AI" tetapi juga tahu cara mengevaluasi, berdebat, dan membuat keputusan akhir berdasarkan bukti," saran Bapak Trung.
Seakurat apa pun AI dalam analisis dan prediksinya, ia masih kekurangan elemen inti yang mendefinisikan hakikat kedokteran – elemen manusia. "Kedokteran bukan hanya ilmu, tetapi juga seni.
Keputusan pengobatan harus didasarkan pada kondisi individu, faktor psikososial, dan kepatuhan pasien, bukan hanya pada gejala atau gambaran klinis. Dokter juga harus mendengarkan, berempati, dan membuat pilihan yang sesuai dengan budaya, keyakinan, dan kondisi kehidupan setiap pasien.
AI dapat mendukung perhitungan, sintesis data, dan bahkan prediksi prognostik, tetapi tidak dapat menggantikan hubungan dokter-pasien yang merupakan fondasi kedokteran,” ungkap Dr. Trung.
Kemunculan AI tak terelakkan dan membawa peluang besar bagi dunia kedokteran modern. Pertanyaannya bukanlah "haruskah kita menggunakannya atau tidak?", melainkan bagaimana menggunakannya dengan benar dan bertanggung jawab.
"Tanggung jawab guru sekolah kedokteran adalah membimbing generasi dokter masa depan untuk menggunakan AI secara cerdas dan selektif; sekaligus memupuk kapasitas riset, pemikiran kritis, dan rasa welas asih. Jika kita dapat melakukannya, AI akan menjadi perpanjangan tangan para dokter, membantu mereka merawat pasien dengan lebih baik, bukan "pengganti" mereka," tegas Dr. Trung.
Meskipun teknologi dapat mengubah cara kita mengobati penyakit, yang membuat seorang dokter berharga adalah hati yang tahu cara mendengarkan dan berempati - sesuatu yang tidak dapat diprogram oleh algoritma apa pun.
Tak hanya di ruang kelas, AI juga memengaruhi cara orang mengakses informasi medis. Saat ini, banyak orang menggunakan ChatGPT atau platform AI untuk mendiagnosis penyakit secara mandiri. Dokter Tran Dinh Trung berpendapat bahwa hal ini mencerminkan kebutuhan yang wajar untuk mengakses informasi medis, keinginan untuk memahami status kesehatan mereka sebelum berkonsultasi dengan dokter. Namun, jika disalahgunakan, konsekuensinya dapat berupa kecemasan yang tidak perlu atau pengobatan mandiri yang keliru.
"Saat ini, AI belum cukup akurat untuk menggantikan diagnosis klinis. AI hanya mencerminkan probabilitas berdasarkan data pelatihan. Masyarakat perlu diarahkan untuk menganggap AI sebagai "panduan referensi utama", dan peran dokter masih penting dalam menentukan diagnosis, menyusun rejimen pengobatan, dan pemantauan," ujar Dr. Trung.
Ia percaya bahwa dalam jangka panjang, ini juga merupakan kesempatan bagi sektor kesehatan untuk mempromosikan pendidikan kesehatan masyarakat, membimbing orang untuk menggunakan alat AI secara lebih tepat, aman, dan efektif.
Sumber: https://baodanang.vn/khi-ai-buoc-vao-giang-duong-y-khoa-3306694.html
Komentar (0)