Dien Bien di bulan Agustus, tanah masih retak-retak setelah banjir. Jalan menuju desa bagaikan benang rapuh yang menggantung di lereng gunung, tinggal satu hujan lagi dan batu-batu akan runtuh lagi. Namun di tengah pemandangan berbahaya itu, sepeda motor tua masih berjuang mendaki lereng, di atas sadelnya terdapat sosok-sosok guru taman kanak-kanak – mereka yang menyebarkan ilmu, mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyeberangi banjir demi sampai ke sekolah.

Ibu Ca Thi Ha, seorang guru di Sekolah Huoi Nu 2 (TK Nam Nhu, Kelurahan Na Hy), baru saja kembali bersekolah setelah cuti. Jarak dari pusat kelurahan ke desa hanya sekitar 10 km, tetapi baginya itu merupakan perjalanan yang sulit.
Suatu hari, saya sedang berjalan dari sekolah ke daerah terpencil ketika saya terjatuh. Wajah saya berlumuran lumpur, dan saya terjatuh lagi beberapa saat kemudian. Tapi mungkin Tuhan berbelas kasih, untungnya saya tidak patah tulang... Saya sudah terbiasa terjatuh, itu terjadi setiap tahun. Jalan desa itu disebut 'jalan legendaris', tetapi jalannya penuh batu dan berlubang. Jika rodanya selip, saya akan terjerembab ke jurang,” ungkap Ibu Ha.

Tak hanya Ibu Ha, Ibu Quàng Thị Thắm juga "merasakan" bahaya. Dalam perjalanan menuju Desa Nam Nhu 3, ia terjatuh dari sepeda, lututnya bengkak, mengalami efusi sendi, dan harus digendong ke kelas oleh seorang rekan.
Atau seperti Ibu Lo Thi Thoa, Kepala Sekolah TK Nam Nhu, dulu ia membutuhkan waktu lebih dari 3 jam untuk sampai ke rumah sepulang sekolah, meskipun jaraknya hanya lebih dari 10 km.
"Jaraknya cuma 10 km, tapi rasanya seperti ratusan kilometer. Jalannya berlumpur dan sulit dilalui, gelap, hutannya sunyi senyap. Terkadang, yang bisa kami lakukan hanyalah menyalakan mesin untuk menambah tenaga dan terus melaju. Tak seorang pun bisa menghitung goresan di tangan para guru. Tapi setiap goresan adalah sebuah janji. Sebuah janji untuk desa. Sebuah janji untuk anak-anak tak berdosa yang menunggunya di ruang kelas beratap jerami. Sebuah janji untuk diri sendiri bahwa kami tak akan menyerah," lanjut Ibu Thoa.

Di jalan tanah merah menuju desa Hang Lia A, guru Lo Thi Thao, TK Hoa Ban (kelurahan Tia Dinh), yang baru saja mengalami banjir bandang bersejarah, berjuang keras memperbaiki sepedanya yang jatuh di tengah hujan. Di dalam tas ransel merahnya terdapat buku dan hadiah untuk murid-muridnya. “Banjir akhir Juli tidak hanya merusak perlengkapan mengajar tetapi juga membuat jalan menuju sekolah licin seperti disiram minyak. Saya terjatuh, buku dan buku catatan saya basah kuyup, tetapi saya tetap harus pergi ke kelas karena anak-anak saya sedang menunggu. Tidak ada yang berpikir untuk libur sekolah,” ungkap Ibu Thao sambil terisak.

Sumber: https://vietnamnet.vn/duong-den-truong-vua-di-vua-nga-cua-giao-vien-cam-ban-o-dien-bien-2437906.html
Komentar (0)