Lebih dari separuh mahasiswa internasional yang belajar di universitas-universitas Korea Selatan tidak memiliki kemampuan bahasa Korea atau Inggris yang dibutuhkan untuk melanjutkan studi mereka, sehingga muncul kekhawatiran mengenai kualitas pendidikan, terutama karena negara tersebut berupaya untuk menarik lebih banyak mahasiswa internasional tetapi tidak memiliki sistem pendukung yang memadai.

Mahasiswa internasional mempersiapkan resume dan melihat brosur perusahaan di Pameran Karier Mahasiswa Internasional 2025, yang diadakan pada tanggal 19 Agustus di BEXCO di Busan, Korea Selatan (Foto: Newsis).
Menurut data yang dirilis Kementerian Pendidikan Korea pada 29 November, hanya 34% mahasiswa internasional tingkat sarjana dan pascasarjana pada tahun 2024 yang mencapai TOPIK (Tes Kecakapan Bahasa Korea) level 4 atau lebih tinggi. Padahal, ini merupakan level minimum untuk membaca koran atau dokumen akademik dasar. Tingkat kecakapan bahasa Inggris bahkan lebih rendah, dengan hanya 11% kandidat yang mencapai skor TOEFL iBT (Tes Kecakapan Bahasa Inggris Internasional) 59 atau lebih tinggi, setara dengan kecakapan bahasa Inggris dasar.
Diperkirakan hampir 80.000 pelajar, atau lebih dari separuh total 145.757 pelajar internasional, mungkin tidak memiliki keterampilan berbahasa untuk melanjutkan studi mereka di Korea.
Meskipun Kementerian Pendidikan merekomendasikan persyaratan TOPIK level 3 saat masuk dan level 4 saat lulus, hal ini tidak wajib. Hal ini memungkinkan banyak sekolah menerima siswa tanpa menguji kemampuan bahasa Korea atau bahasa Inggris mereka.
Seorang pejabat Kementerian Pendidikan mengatakan universitas memiliki otonomi dalam merekrut mahasiswa, tetapi pemerintah masih memberlakukan pembatasan visa pada sekolah yang menerima siswa tidak memenuhi syarat secara berlebihan.
Pelonggaran kriteria penerimaan ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan finansial terhadap universitas-universitas di Korea Selatan. Pada Agustus 2023, Kementerian Pendidikan meluncurkan strategi "Study Korea 300K", yang bertujuan untuk menarik 300.000 mahasiswa internasional pada tahun 2027. Pada saat yang sama, persyaratan masuk bahasa Korea juga semakin dipermudah, sehingga pelamar dapat menyerahkan sertifikat dari lembaga pelatihan bahasa Korea, alih-alih nilai tes standar.
Berkat kebijakan ini, jumlah mahasiswa internasional meningkat hampir tiga kali lipat dalam satu dekade, dari sekitar 53.000 pada tahun 2014 menjadi lebih dari 145.000 pada tahun 2024. Namun, banyak dosen mengatakan kualitas pelatihan sedang terdampak. Seorang dosen di Seoul mengatakan bahwa di banyak mata kuliah, mereka terpaksa meninggalkan tugas kelompok karena mahasiswa Korea takut berkolaborasi dengan teman sekelas asing yang tidak memiliki kemampuan bahasa yang memadai.
Para ahli memperingatkan bahwa situasi penerimaan yang "longgar" ini dapat merusak reputasi sistem pendidikan tinggi Korea. Sebuah studi yang diterbitkan pada September 2024 oleh Ibu Han Ji-eun, Pusat Migrasi dan Integrasi Sosial (Universitas Konkuk), menyatakan bahwa rencana "Study Korea 300K" hanyalah solusi sementara untuk mengatasi tekanan finansial, tanpa disertai kebijakan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan integrasi mahasiswa asing.
Sementara itu, data dari Statistik Korea pada tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 35% mahasiswa internasional yang berencana mencari pekerjaan di Korea setelah lulus dan 40% tidak berniat untuk tinggal.
Anggota Kongres Jin Sun-mi mengatakan angka-angka tersebut menunjukkan urgensi penyesuaian kebijakan.
“Perlu memperketat kriteria penerimaan dan memperluas dukungan agar mahasiswa asing benar-benar dapat berhasil,” tegasnya.
Sumber: https://dantri.com.vn/giao-duc/hon-50-du-hoc-sinh-tai-han-quoc-yeu-ky-nang-tieng-anh-20251202175607819.htm






Komentar (0)